Erza Surya

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Gulai Kepala Kambing Menyakitkan
Tantangan Kemaren Dihadang Sinyal

Gulai Kepala Kambing Menyakitkan

"Maah, Kau mau ke rumah tek Bayan, nggak?" teriakan kecil emak dari halaman rumah.

Imah yang asyik dengan gawainya tiba-tiba bangun dan segera berlari ke balkon, "Mengapa kesana, Mak?"

"Mengaji seratus hari meninggal kakaknya. Katanya Kau mau gulai kepala kambing. Beliau nyuruh Kau datang barusan." Emak masuk lagi ke rumah mengambil jilbab dan memakainya begitu saja, tanpa perlu dicerminkan lagi rapi tidaknya pemasangan jilbab itu.

"Asyeeekkk. Imah ikut, Mak. Tunggu bentar, ganti pakaian dan pasang jilbab dulu," sahut Imah. Ia buru-buru membuka pintu lemari dan memeriksa gamis yang pantas dipakainya.

Ia memakai gamis berwarna biru muda, dipadukan dengan jilbab instant warna senada, dipenuhi kembang kecil-kecil. Kemudian wajahnya dipoles make up tipis sederhana. Untuk bibir, Imah hanya menyapukan lipgloss secara tipis. Kesannya natural. Selesai dengan persiapannya, Imah segera turun menemui emak yang sudah menunggu di teras lantai bawah.

"Ayo, Mak. Nanti keburu habis gulainya!" ajaknya pada emak.

"Sudah Kau bilang ke abangmu, kalau kita mau pergi?" emak mengingatkan, "nanti bertanya-tanya pula ia kemana kita."

"Beres, Mak. Selagi ada gawai, aman-aman saja kok," sahut Imah.

Akhirnya mereka berangkat ke rumah tek Bayan dengan mengendarai motor matic. Jarak rumah tek Bayan dekat sebenarnya. Namun karena dibatasi persimpangan, dan di tanjakkan pula, emak dan anaknya memilih menggunakan matic agar lebih hemat energi, tidak ngos-ngosan macam anak sapi dikejar-kejar anjing.

Sesampai di sana, emak segera ke dapur membantu beberapa tetangga menyelesaikan masakan. Ada yang mengaduk-aduk gulai rebung, ada pula yang mengangkat nasi untuk dimasukan ke dalam wadahnya. Emak memilih mengaduk gulai kambing yang hampir matang. Apalagi di dalamnya ada kepala kambing yang jadi keinginan Imah.

Acara ini hanya dihadiri oleh keluarga besar , dan emak sebenarnya masih sepupu dari tek Bayan. Acara memang tidak seperti biasanya yang mengundang orang sekampung, mengingat himbauan pemerintah untuk meniadakan keramaian. Pagi hari sampai jam sebelas, acara dihadiri oleh ibu-ibu yang akan menyiapkan masakan untuk bapak-bapak yang siap dzuhur akan datang untuk berdo'a bersama. Ibu-ibu biasanya akan membawa beras di dalam bungkusan. Selesai memasak bersama, mereka akan makan, kemudian mencuci piring, istirahat sebentar, dan pulang.

Dzuhur berlalu, maka rombongan bapak-bapak yang masih kerabat tek Bayan mulai berdatangan. Setelah mereka berkumpul, acara makan pun dilakukan. Imah pun membantu menyiapkan nasi dan sambal yang dimasukkan ke piring-piring dan ditakar untuk satu porsi masing-masing tamu. Selanjutnya, salah seorang dari bapak-bapak itu akan mengedarkannya. Selesai makan, barulah mereka berdo'a bersama.

Sepulangnya bapak-bapak kerabat tek Bayan, Imah membantu mengumpulkan piring, mencuci dan mengeringkan kembali. Emak pun tak mau tinggal diam.

"Mah, ke sinilah Kau! Katanya mau gulai kepala kambing. Ayolah, etek sudah sediakan tadi," kata tek Bayan setelah selesai menyapu remah-remah yang berserakkan.

"Eeehh, Etek. Siap, Tek." Imah segera mencari pisau yang akan digunakan untuk memotong daging yang menempel di kepala kambing tersebut. Itu dilakukan setelah beberapa kali melihat kakak sepupunya melakukan hal tersebut. Meski begitu, Imah belum pernah mencoba langsung, karena seringnya tak kebagian.

Kali ini kebetulan orang yang dipanggil hanya sedikit, jadi Imah memiliki kesempatan. "Mak, kalau mengeluarkan otaknya gimana tu?" tanya Imah ke emak yang makan di sampingnya.

"Di belah pakai kapak, masa pakai pisau," jawab emak tanpa mengalihkan pandangan dari sambal jengkol goreng lado hijau di piringnya.

Imah manggut-manggut. Ia pun segera memasukan beberapa potong daging kambing yang sudah diiris-irisnya ke piring.

"Woww..., manis dagingnya Mak. Kenapa tak dari dulu dapat, ya," sesal Imah.

"Makannya harus Kau batasi, bisa-bisa nanti Kau demam, sakit kepala pula," peringatan emak.

"Siaaapp, Maak," jawab Imah. Jawaban itu malah dapat cubitan dari emak. Gadis itu hanya mengaduh.

Acara selesai, emak dan anak itu segera pulang, tak lupa pula bungkusan yang di dalamnya berisi beberapa sambal dibawa pulang, karena tek Bayan memaksa mereka membawanya.

Malamnya selesai shalat isya, Imah merasa ada yang tak beres dengan perutnya, rasa mual mulai menguasai. Ia cepat-cepat berlari ke toilet, dan mengeluarkan isi perutnya kembali. Setelah beberapa kali muntah, ia keluar dan menjatuhkan diri ke kursi dengan lesu.

"Nah, apa kata emak tadi. Disuruh makan sedikit saja daging kambing itu, Kau isi pula sekenyang-kenyangnya. Seakan-akan tak akan hidup lagi Kau," semprot emak sambil memberikan obat ke Imah.

"Ampuunn deh, Mak. Imah sakit, Mak marah-marah begitu," protes Imah.

"Karena memang Kau keras kepala." Emak segera berlalu meninggalkan anaknya.

Imah bangkit dan berjalan gontai ke kamar, ia berusaha istirahat setelah minum obat. Ahhh, lagi-lagi emak benar.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Mantap.Semangat terus nulisnya

28 Mar
Balas

Imaah... Imaah... Selalu ngeyel kalau dibilangin....

28 Mar
Balas



search

New Post