Erza Surya

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Pakis Pembawa Petaka

Setiap hari emak memasak sayur sebagai pelengkap sambal untuk makan. Jika sayurnya tidak dimasak, maka akan diganti dengan lalapan. Pokoknya setiap makan nasi, harus ada sayuran.

Nah, berhubung Imah masih libur, maka emak memintanya untuk menyediakan sayuran yang dimasak. Emak hanya memasak sambal goreng saja. Sehabis itu, mak tinggal duduk santai di teras atas menikmati angin sore.

Imah yang menyanggupi permintaan emak, segera membuka kulkas, melihat apakah masih ada cadangan sayur atau tidaknya. Ternyata sudah tak ada cadangan sayuran sama sekali. Berarti sayuran pagi tadi adalah stok terakhir. Mau beli ke kedai, sudah barang pasti habis, karena kedai itu setiap jam sebelas siang sudah habis sayurannya diborong ibu-ibu.

"Maaak, sayuran di kulkas sudah habis. Gimana ini?" teriak Imah dari lantai bawah ke emak yang lagi asyik berangin-angin.

"Kau carilah sayuran yang tumbuh di sekitar rumah. Jangan pusing pula tak ada sayur di kulkas!" teriak emak dari lantai atas tak kalah kencang.

"Ya deh, Mak!" jawab Imah. Ia kemudian bergegas menuju parit sebelah rumah yang berbatasan dengan sawah.

Di samping parit itu biasanya ditumbuhi tanaman pakis. Imah sering melihat pakis-pakis itu tumbuh hijau dan segar—telihat sangat menghoda bila diolah jadi masakan.

Tak salah Imah ke parit itu, pucuk-pucuk pakis muda mulai menampakkan diri. Seakan-akan ia sudah memanggil-manggil untuk segera dipetik. Imah merasa kegirangan melihat apa yang dicari didapatkannya. Rupanya pakis-pakis itu sangat banyak—ada tiga ikatan yang bisa Imah ambil, dan bisa dijadikan cadangan sayuran besok.

Setelah menyelesaikan tugasnya mengambil sayur. Imah segera mencuci dan memotong-motong pakis tersebut. Bawang merah, bawang putih, satu buah cabe merah diiris-iris dan satu buah tomat merah berukuran kecil disiapkan sebagai bumbu yang akan ditumis terlebih dahulu.

Aroma bumbu yang ditumis mengusik hidung emak di teras lantai atas, "Maaaahh, enak betul bau masakan Kau. Cepatlah Kau masak, Emak sudah lapar. Nanti magrib pula lagi!" perintah emak dari atas lewat teriakan supernya.

"Ya, Maaak. Sabar. Ini juga lagi menumis, hampir selesai. Kita makan siap Imah mandi." Imah pun tak mau kalah berteriak membalas perintah emaknya.

Akhirnya, masakan itu pun selesai. Sebelum bersantap, Imah mandi dulu. Mereka tetap dinner sebelum jam enam. Kata emak hal itu menghindari penumpukan lemak di tubuh. Karena malam hari tubuh tidak banyak beraktivitas.

Emak segera turun dari lantai atas untuk makan bersama gadisnya. "Hmmmm, enak sekali sayurmu, ini. Tak suka Mak rasanya makan sambal goreng. Cukup ini sajalah." Emak memuji dengan tulus. Tangannya tak berhenti menyuap nasi dengan bersemangat.

"Ah, Emak bisa saja. Padahal masakan Emaklah yang lebih enak. Sampai-sampai Imah malas makan kalau tidak dengan masakan Emak." Imah merasa tersanjung dengan pujian emak. Walau yang dibuat hanyalah tumisan pakis.

Selesai makan, waktu masih bersisa satu jam lagi sebelum magrib datang. Maka anak dan emak itu pun menurunkan kenyangnya dengan duduk santai di teras lantai bawah. Setengah jam kemudian emak berdiri, beliau berniat mau menutup jendela.

Tiba-tiba saja, "Awwww! Astagfirullah, Mah. Bantu Emak. Ini lutut Mak sakit sekali!" Imah cepat-cepat memegangi tangan dan tubuh emak yang seperti mau jatuh.

"Hati-hati, Mak!" Imah mendudukkan emak kembali dengan hati-hati.

"Mah, nampaknya asam urat Mak kambuh lagi. Gara-gara perut ini, keenakkan dia menerima masakan sayurmu tadi." Mak menyeka peluhnya.

"Mak, sih. Makannya tidak mengatur porsi. Sudah tau Mak pantang makan pakis, tapi masih dimakan sebanyak-banyaknya tanpa sambal pula lagi." Imah mengingatkan emaknya yang masih meringis.

"Ya ampuun. Ini anak. Sudah tau kalau Emak tak boleh makan pakis, dan tau pula itu kesukaan Mak. Kenapa itu yang Kau olah tadi. Padahal rimbang juga ada di sebelah rumah!" Emak menunjuk ke pohon rimbang yang sedang berbuah.

"Lha, Emak gimana sih. Salah Emak sendiri, kenapa juga Emak makan seenak perut begitu. Sekarang malah Imah yang disalahkan."

"Udah-udah. Sekarang cepat Kau ambilkan pil seledri yang di atas nakas, di kamar Mak. Cepetan, ini sudah tak tahan!" Emak mengibas-ngibaskan tangannya menyuruh gadisnya cepat berlalu mengambil obat.

Setelah minum obat, dan magrib pun segera datang, mak dan Imah segera beranjak ke dalam. Mereka mengambil wudhu' kemudian shalat berjamaah, walau pun masih meringis merasakan ngilu di lututnya.

Aihhh, mak. Beliau memang tak bisa mengontrol selera makan kalau sudah soal sayuran. Imah pula yang jadi sasaran. Imah juga salah, sudah tau emak pantang makan pakis, dan si emak juga penyuka pakis, masih saja membuat sayuran itu. Ah, emak dan anak selalu begitu. Sama-sama tak mau kalah. Entah apalagi yang besok mau mereka olah, sedangkan cadangan pakis di kulkas masih tersisa dua ikat lagi.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Ha..ha..lucu mak anak ini.Sama karakternya.

22 Mar
Balas

Imah sama emak banar2 akut

22 Mar
Balas



search

New Post