Erza Surya

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Tak Ada Lagi Teh

Tak Ada Lagi Teh

Kebiasaan yang tak akan tinggal setiap pagi adalah menyeruput segelas teh panas bersama camilan. Kadang sore hari pun kebiasaan ini masih dilakukan, walau tak serutin pagi.

Imah dan emaknya merasa kehangatan teh mampu meningkatkan semangat untuk memulai hari lebih baik. Perut terasa nyaman. Pencernaan jadi lancar—BAB dengan lancar setiap pagi itu sesuatu yang sangat disyukuri. Sebab, tanpa adanya pembuangan zat sisa pencernaan, maka tubuh akan keracunan—perut membengkak, usus terluka, parahnya sakit yang ditimbulkan merenggut nyawa.

Tapi ada yang beda dengan pagi ini. Kebiasaan menyeruput teh berganti dengan air putih suam-suam kuku, tanpa ditemani camilan apa pun. Ada kerinduan pada teh—tentu saja—ya, karena setiap pagi perut merasa kenyang karena glukosa yang terlarut di dalamnya.

Perubahan ini terjadi karena kemaren sepupu Imah mengingatkannya dan emak untuk mengubah kebiasaann ngeteh mereka. Daya tahan tubuh harus menjadi kuat selama pandemi wabah yang semakin lama semakin mengkhawatirkan. Hindari gula agar tidak diserang batuk, itu katanya kemaren.

Demi menjaga kesehatan tubuh, emak meminta anaknya itu untuk mematuhi. Maka pagi ini beliau mencoba. Walau ada rasa tak enak, rasa tak nyaman, dan rasa lainnya yng tak beres, namun mereka tetap menjalankan.

Selain anjuran untuk meninggalkan kebiasaan ngeteh dan mengonsumsi banyak gula seperti biasa, sepupu Imah yang namanya Alia juga menganjurkan untuk memakan makanan sehat. Contohnya memakan sayur yang dimasak haruslah dengan cara direbus, hindari menumisnya, sebab minyak yang lewat di kerongkongan juga bisa menyebabkan batuk. Bahkan lebih sehat bila memakan sayur lalapan saja.

"Mak, kata kak Alia kemaren, kita harus buat sayur yang direbus atau malah dilalap saja. Menurut Mak, kita bikin sayur apa untuk hari ini?" tanya putri emak.

"Kita cari di kedai sebelah, jamur tiram saja. Sudah lama juga kita mengolahnya. Nanti bisa kita campur dengan wortel dan brokoli," balas emak.

Jadi, selesai kegiatan minum air putih hangat, emak ke kedai bersama putrinya dengan jalan kaki saja. Apalagi jarak kedai itu dekat. Selain itu tentunya jalan kaki adalah pengganti olahraga yang biasanya dilakukan Imah di rumah.

Di kedai banyak ibu-ibu yang berebut sayur dan bahan sambal lainnya. Ada yang sibuk memilih-milih jengkol yang sudah ditakar sepuluh biji seplastik, ada yang menekan-nekan perut ikan gambolo untuk mengetahui teksturnya, dengan begitu mereka bisa mengetahui ikan tersebut masih baru atau sudah beberapa hari terletak, dan ada pula yang sibuk menciumi ikan sepat mentah untuk menguji ada tidaknya bau formalin.

"Eeh, Ida. Beli apa kau pagi ini?" sapa tek Ani.

"Ah, kau Ani. Ini mau membeli sayur. Sudah bosan dengan daun singkong setiap hari," jawab emak.

"Iya, benar. Agak bosan kita makan sayur dan sambal yang itu-itu saja setiap hari. Kalau ke pasar berbelanja, uang tak bisa pula sedikit di saku. Harus ratusan pula, agar kita bisa membeli ini itu. Sebab di pasar itu, mata selalu saja melihat banyak pilihan, sehingga keinginan banyak," jelas tek Ani dengan raut kesal.

"Selain itu kitakan dilarang pula sama pemerintah untuk menempuh keramaian seperti pasar. Jadi biar orang kedai saja yang berbelanja begitu," tek Maya menimpali pula.

"Ya, benar. Untuk kesehatan kita juga, sebaiknya diturut saja. Oh, ya saya lanjut dulu belanjanya. Sehabis ini mau ke ladang pula sebelum panas membakar." Emak berlalu dari hadapan kedua tetangganya yang masih sibuk memilih-milih.

Setelah mendapatkan sayur yang dicari, emak mengajak gadisnya pulang. Di jalan, Imah menghitung uang belanjaan yang dihabiskan pagi ini. Ada sekitar delapan puluh lima ribu rupiah. Sedangkan belanjaan yang mereka beli adalah sayuran empat macam, sabun cuci, cabe, tomat, minyak goreng satu liter, ada bawang daun, ada bawang merah, dan bawang putih.

"Mak, banyak juga ya uang yang habis pagi ini. Sementara isi sambal saja cuma sayur yang kebeli," Imah menyela kediaman emak.

"Begitulah zaman sekarang. Uang jadi tidak berharga. Apa-apa serba mahal. Maka dari itu, kita harus mampu menyediakan beberapa kebutuhan dapur di sekitar rumah untuk menghemat pengeluaran.

"Betul, Mak. Nanti kita pancing saja ikan nila yang di kolam belakang rumah. Empat ekor sudah sudah cukup rasanya itu buat kita berdua sampai esok hari. Nanti ikannya kita goreng saja."

"Baiklah, nanti kamu yang memasak sayur jamur tiram ini. Jangan kau habiskan pula seluruhnya untuk diolah. Besok kita bisa mengolahnya lagi tanpa diberi sayuran lain. Cukup rebus, kau mengerti?" perintah emak.

"Mengerti, Mak. Siap jalankan perintah!" jawab gadis itu dengan mengangkat tangannya seperti orang yang lagi hormat bendera.

Emak malah mencubit pinggang anak gadisnya itu yang becanda di tengah jalan.

"Aauuuwww! Sakit, Mak," aduhnya.

"Mau Emak tambah, haa?" Beliau berjalan cepat mengejar gadisnya yang mulai berlari pulang.

Duhhh, cemburunya melihat mereka berdua. Andaikan setiap orang tua memiliki kedekatan seperti itu dengan anak-anaknya tanpa memandang usia, tentulah kebahagiaan memenuhi dunia.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Senang ya buk masih punya emak....

07 Apr
Balas



search

New Post