Esdi Pangganti

Guru SMAN 4 Muara Teweh Mengajar Mata Pelajaran Kimia dan Mapel. Prakarya...

Selengkapnya
Navigasi Web
FOKUS

FOKUS

Stigma terhadap profesi guru saat ini sudah mulai berubah, beda jika hal ini kita putar mundur 20 sampai 30 tahun yang lalu, profesi ini masih tidak begitu dilirik apalagi untuk diminati. Pemerintah kesulitan mencari guru, sehingga tamatan apapun bisa dijadikan guru. Era tahun 70an, Indonesia tercatat pernah mengekspor guru ke luar negeri, tepatnya ke Malaysia. Sekarang di negeri itu, pendidikannya jauh lebih maju ketimbang di negara kita, bahkan sekolahnya lebih ternama ketimbang sekolah-sekolah di negara kita, Indonesia. Dulu orang belajar dari negara kita, sekarang kita yang belajar ke negeri orang.

Menteri Riset Teknologi Pendidikan Tinggi, M. Nasir pernah memaparkan data jumlah mahasiswa Indonesia yang belajar di luar negeri lebih banyak ketimbang mahasiswa asing yang belajar di Indonesia. Jumlah mahasiswa asing ke Indonesia sekitar 5.700 orang, sedangkan mahasiswa Indonesia yang belajar di luar negeri hampir 29.000 orang. Anehkan? Kondisi pendidikan kita menjadi tanda tanya besar, apa tidak berkualitas atau bagaimana? Dokter, sarjana hukum, sarjana ekonomi, sarjana teknik sipil setiap saat lahir di bumi Indonesia tercinta, namun kita tetap berobat ke luar negeri, tetap meminta pengacara dari luar negeri, tetap memilih ahli ekonomi dan teknik sipil dari luar negeri untuk mengaudit serta membangun inprastruktur di Indonesia. Lantas apa yang sesungguhnya terjadi? Kemana benih cendikiawan muda yang telah ditaburkan oleh guru-guru? Kita sepertinya kehilangan fokus, kita bekerja untuk membangun dan mensejahterakan bangsa ini. Ini ladang kita, ini lahan kita, ini adalah kesempatan kita untuk sejajar dengan negara-negara yang telah maju. Atau jangan-jangan negara lain itu maju karena anak-anak muda Indonesia yang memajukannya! Who knows?

Fokus guru sebenarnya adalah mengajar sesuai bidang keilmuan yang dikuasainya. Tidak perlu memikirkan 21 item perangkat mengajar, mulai dari silabus, prosem, prota, atau apalah. Karena untuk mengajarlah guru dibayar sangat mahal, guna suatu perubahan. Mempersiapkan perangkat sebenarnya bagus saja bagi seorang guru, namun pembagian waktu untuk mempersiapkan persentasenya masih terlalu banyak sehingga tugas pokoknya dilupakan yaitu mengajar.

Apalagi urusan tetek bengek kenaikan pangkat, seminar penelitian tindakan kelas, penataran, PK guru, SKP dan lain sebagainya, kalau bukan guru itu sendiri yang menyusun, jangan harap segala sesuatunya akan ada yang membantu dan berubah sendiri.

Ditambah lagi kewajiban mengajar 24 jam bagi guru yang sudah sertifikasi. Justru guru sibuk mengurus kelengkapan berkas agar pembayaran tunjangan profesinya bisa segera dicairkan, dan tidak peduli dengan siswa yang selalu merindukan kehadirannya. Idealnya ini tidak terjadi, karena ada Tata Usaha yang tugasnya sudah khusus. Namun kenyataannya, semua tetap dikerjakan oleh guru itu sendiri, agar tunjangan, kenaikan gaji, dan lain sebagainya tetap bisa berjalan lancar.

Pernah aku suatu waktu bercerita kepada sahabatku Julianto -teman seangkatanku yang kini jadi guru di Kabupaten Barito Timur-, idealnya juga guru diberikan fasilitas first class, tidak perlu memikirkan bagaimana masa depan putra putrinya, karena pemerintah sudah jamin sampai lulus perguruan tinggi, begitu juga dengan jaminan kesehatan, diberikan perlindungan asuransi, diberikan sandang, pangan, rumah yang bagus, serta alat transportasi yang layak dan baik, tidak perlu dipusingkan dengan bagaimana membayar cicilan dan tagihan bank karena meminjam sampai 15 tahun ke atas. Mengapa? Karena gurulah yang akan mencetak calon dokter, calon insinyur, calon auditor, calon pengacara, dan segala profesi yang tidak akan pernah bisa jadi, jika tidak pernah mengecap pendidikan di sebuah institusi formal.

Sepertinya fokus guru sudah mulai berubah. Guru terlalu sibuk menjaga perasaan siswanya, agar tidak tersinggung dalam mode pembelajaran di kelas, agar tidak ada kasus pemukulan terhadap seorang guru oleh seorang siswanya yang marah ketika ditegur, hingga ia sendiri kehilangan nyawanya. Tragis bukan? Atau bagaimana caranya seorang guru dapat mendapatkan penghasilan tambahan karena anak-anaknya semua memasuki masa kuliah, seperti waktu aku dan adik-adikku dulu pada masa kami menempuh pendidikan.

Tidak ada lagi waktu bagi guru untuk melakukan analisis ketercapaian kompetensi siswanya, melakukan analisis ketuntasan siswanya, tidak ada lagi pujian dan hadiah istimewa. Semuanya mati karena batasan aturan-aturan yang memenjarakan guru untuk berkarya dan berekspresi.

Contoh lain pendidikan yang mulai kehilangan fokusnya adalah saat adikku yang bungsu -Era- bercerita padaku, kalau semasa menempuh pendidikan DIII di STIKES jurusan keperawatan, ia dijejali tentang bagaimana menguasai statistika melalui aplikasi komputer SPSS. Apa tidak salah arahan hal yang seperti ini? Nampaknya benar, namun perlu disadari oleh guru yang mengajarkan itu, bahwa seseorang yang menempuh pendidikan D.III adalah seseorang yang dipersiapkan skill atau kemampuannya dalam menangani kasus, bukan justru berhitung dengan ilmu statistik melalui mode data univariat, atau untuk menentukan simpangan baku, bahkan kevalidan datanya. Untuk apa? Terlalu membuang energi. Kalau bekerja di swasta, pasti sudah kena resign orang yang tidak bisa foskus pada pekerjaannya, ataupun yang tidak mempunyai skill yang baik.

Ketika menjadi seorang guru dan berdiri di depan kelas, guru adalalah pribadi yang sempurna. Sosok yang berwibawa, Berpenampilan menarik dengan pengetahuan dan wawasan yang luas. Harus dapat menjadi idola. Tidak perduli apa status kepegawaiannya. Tidak ada perbedaan. Guru adalah guru, yang tugas fokusnya adalah mengajar. Guru harus dekat dengan siswa, bukan karena apa-apanya, tetapi karena guru itu memang harus mengembangkan kompetensi sosial dan kepribadiannya.

Persaingan untuk menjadi guru saat sekarang ini sangat luar biasa. Pekerjaan primadona sekarang kalau tidak menjadi tenaga kesehatan, pastinya menjadi seorang guru. Karena selain statusnya yang negeri, guru mendapat semacam tunjangan khusus untuk profesi dan kinerjanya. Namun seperti yang aku kemukakan di atas, negeri kita belum maju-majunya biarpun jumlah guru bersertifikat sudah ribuan, tidak signifikan dengan kualitas output peserta didiknya.

Pemberian tunjangan profesi oleh pemerintah juga kesannya sudah alakadarnya, maklumlah jumlah guru di Indonesia kini sudah mencapai ratusan juta orang –mungkin merupakan pegawai terbanyak di Republik ini-. Aturan pemberiannya juga sudah sangat ketat dan selektif. Hal ini terjadi karena dirasakan bahwa pemberian tunjangan yang dimaksudkan untuk peningkatan kualitas pembelajaran oleh guru teryata tidak ampuh alias tidak memberikan efek yang signifikan. -Bisa jadi pembelajaran yang sudah kurancang juga tidak bisa jadi modal pengetahuan yang baru bagi siswa-siswaku-.

Apa yang ditaburkan guru memang tidak secara langsung dapat dilihat. Nanti setelah 10 sampai 15 tahun ke depan akan terlihat pada mantan siswanya. Apakah bisa menciptakan peluang kerja? Apakah mempunyai skill yang baik? Atau hanya menceritakan berapa jumlah anak yang sudah dipunyainya.

Dalam kurun waktu 16 tahun, aku sudah 4 kali pindah unit kerja. Semua tempat itu mempunyai kenangan dan kesan tersendiri. Di sekolahku yang baru sekarang ini, aku senang karena bisa berpartner dengan guru idolaku waktu SMA yaitu pak Lelo Nahson, guru matematikaku serta pak Alkatri, guru yang mengajar Bahasa Inggrisku. Disekolah lain aku juga bermitra dengan guru favorit di zamanku yaitu pak Christopel yang sudah menamatkan pendidikan Strata Dua. Ada juga ibu Kasum, guru kimiaku yang selalu ramah dan tersenyum manis, dan akhirnya menginspirasiku memilih jurusan kimia. Aku sangat bangga karena beliau juga akhirnya kuketahui bisa fokus dan lulus dari program pascasarjana. Kesemuanya telah menaburkan bibit pengetahuan dan attitude yang luar biasa bagiku. Semuanya karena fokus pada hasil pekerjaannya.

Malu rasanya aku jika sampai tidak setara dengan mereka guru-guruku itu, atau sekalian membanggakan mereka dengan prestasiku. Ya..., aku sadar bahwa ukuran keberhasilan guru dalam mengajar salah satunya adalah keberhasilan mantan siswa-siswanya di kelak kemudian hari, dimana belum tentu guru itu sendiri bisa menyaksikannya karena mungkin sudah tutup usia. –Semoga nama beliau-beliau yang kutulis di sini, selalu sehat dan penuh dengan berkat serta keimpahan-

Guru memang harus bisa fokus dalam bekerja. Jangan suka gonta-ganti kurikulum lah,... berat beban guru karena katanya menyesuaikan dengan tuntutan perkembangan zaman. Tambah tidak fokus nantinya, karena harus mengubah pakem RPPnya. Mungkin dampak dari kunjungan kerja menteri ke suatu negara yang terlihat pendidikannya melaju pesat dan banyak melahirkan ilmuan, lalu buru-buru ingin segera ada perubahan seperti hal itu di negara kita yang mahaluas ini. Tentunya tidak mudah, tidak seperti membalik telapak tangan, apalagi di sekolah yang papan tulisnya saja masih berwarna hitam, tidak safety untuk mata anak muda, dan menulisnya masih pakai kapur tulis.

Fokus saja pada apa yang kita yakini benar. Kurikulum zaman now, namun perangkat dan cara belajar masih zaman old, atau alat bantu mengajar yang modern semisalnya LCD, Netbook, namun pendekatan atau metode mengajarnya masih ketinggalan, tidak ada inovasi,... ya, sama tuanya dengan menhir, dolmen atau sarkofagus pada zaman megalitikum.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Hehe... Betul banget Pak. Sukses slalu buat Bapak

24 Mar
Balas

Terimakasih Bu Meyna,... sukses juga buat Ibu

25 Mar



search

New Post