Esti Munafifah

Esti Munafifah. Mengajar IPA di MTsN 1Kota Blitar sejak tahun 1999 hingga sekarang....

Selengkapnya
Navigasi Web

Nenek Berkutek Ungu Muda

Nenek Berkutek Ungu Muda

Tiket kereta api sudah habis meskipun sudah ku pesan 5 hari sebelumnya. Naik bus dari Malang ke Blitar jadi pilihanku.

Vespa anak lelakiku melaju cukup kencang, menuju bus yang berhenti di sebuah perempatan jalan. Begitu sampai tempat bus sudah mulai berjalan. Anak lelakiku lalu melambaikan tangannya sembari berkata " Blitar mas!" Sang kondektur membalas dengan lambaian tangannya,. Sopir bus menurunkan kelajuan. Aku bergegas turun dari Vespa lalu masuk ke dalam bus. Anakku berteriak, " Hati-hati Ma!" Aku membalas teriakannya dengan mengacungkan jempolku. Bis menaikkan kelajuannya, sehingga jalanku menuju tempat duduk sedikit sempoyongan.

Kuputar bola mataku ke seluruh tempat duduk mencari yang masih kosong. Aku merasa dipandang oleh seorang nenek berhijab coklat tua, dengan sorot mata meminta agar aku duduk di sebelahnya. Aku pun segera duduk di sisinya. Aku mengatur napas agar tenang. sementara aku masih merasa nenek itu memandangiku dari kaki hingga wajahku. Setelah tenang aku melirik ke wajah nenek itu. Kuberikan sedikit senyum namun dia tidak membalasnya. Ya sudahlah.

Kupejamkan mataku sembari menenangkan hati. Tiba-tiba aku merasa ada yang menyentuh pahaku. Setelah mata kubuka, wow aku melihat jari-jari nenek itu berkuku panjang dan berkutek warna ungu muda. Aku merasa aneh dan penasaran. Lalu mataku bergerilnya mengamati dari ujung kaki hingga wajahnya. Rupanya kuku kaki nenek itu juga panjang-panjang. Berkutek ungu muda juga. Aku jadi sedikit ngeri melihatnya. Lalu kuamati baju dan barang bawaannya. Bajunya lumayan bagus. Seperti baju mahal tapi bekas. Model bajunya bukan model baju sedusia ya,tapi baju anak muda. Dia membawa tiga tas kresek yang penuh berisi sesuatu. Lalu kupandang wajahnya. Hidung nenek itu mancung. Bibirnya ternyata bergincu merah dan tebal. Aku jadi membayangkan masa mudanya. Nenek itu pasti cantik, langsing, dan lincah, serta fashionable. Mata kami bertabrakan. Aku merinding dibuatnya. Nenek itu lalu lebih mendekat padaku. Bibirnya yang tremor berkata " sangu.' Awalnya aku kurang mendengar lantaran suaranya yang lemah. Lalu aku bertanya untuk memperjelas maksudnya. Nenek itu mengulangi perkataannya sambil menengadahkan tangan. Aku baru paham ternyata nenek itu meminta uang. Bersamaan dengan itu kondektur datang meminta uang pembayaran. Kuberikan uang lima puluh ribu. Kondektur itu memberiku kembalian sepuluh ribu. Tidak seperti biasanya, biasanya malang Blitar tiga puluh ribu. Ya sudahlah,mungkin tiketnya naik. Lalu nenek itu kembali mendekatiku dan berkata "sangu." Langsung uang sepuluh ribu itu kuberikan padanya. Tanpa berkata apa-spa nenek itu memasukkan uangnya ke plastik yang ketika kulirik hampir semua uangnya sepuluh ribuan. Lalu mengambil di dompetnya uang seratus ribu diberikan kondektur, katanya nenek itu turun terminal Blitar. Setelah itu uang kembaliannya dimasukkan di dompetnya. Nenek itu lalu berkata padaku. "Uang ini untuk nyaur utang." Aku menganggukkan kepalaku sembari memberikan senyuman. Tapi nenek itu tak juga membalas senyumanku.

Nenek itu beberapakali mencoba berdiri. Lagi-lagi dia terduduk kembali karena badannya tak mampu menahan kelembaban. Setelah bis tenang dan tidak terlalu kencang, dia berdiri. Tangannya berpegangan erat pada sandaran kursi di depannya. Kemudian dia berkata pada seorang perempuan yang duduk di kursi itu, "Sangu" Setelah itu nenek itu duduk kembali. Sebentar kemudian perempuan yang duduk di kursi depan memberikan selembar uang sepuluh ribuan.

Tidak berhenti di situ saja, nenek itu berusaha meminta uang pada orang-orang yang duduk di sekitarnya. Tak peduli pada siapa pun. Hampir semua yang diminta memberikan selembar uang sepuluh ribuan. Ketika pak kondektur sedang istirahat duduk di kursi seberang tempat dudukku, nenek itu terus memandangi sang kondektur dengan harapan ketika dibalas tatapan matanya dia meminta uang. Karena aku merasa risih dengan tingkah lakunya aku bilang ke nenek itu , Masa kondektur juga dimintai uang?" Mendengar apa yang kukatakan nenek itu tertawa terkekeh-kekeh cukup keras. Aku tidak mengerti arti dari tawanya. Tapi setelah itu nenek itu tidak lagi meminta pada siapapun sampai aku turun di pertigaan Herlingga.

Hingga aku menulis cerita ini, masih terbayang jelas wajah dan dandannya serta kuku kuku panjangnya yang berkutek ungu muda. Aku merasa aneh dan juga kasian saja. Aku sengaja tak memotretnya karena tak mau mengganggu privasinya.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

ODGJ kali ya Bu?

02 Dec
Balas



search

New Post