Esti Munafifah

Esti Munafifah. Mengajar IPA di MTsN 1Kota Blitar sejak tahun 1999 hingga sekarang....

Selengkapnya
Navigasi Web
Panorama Asing

Panorama Asing

Panorama Asing

Pertama kali menginjakkan kaki di Jedah, sungguh ada rasa gemetar di hati hingga seluruh tubuh. Seperti sebuah mimpi panjang yang menyenangkan. Dan ternyata ini nyata.

Di bandara KAA semua jamaah diperiksa satu-persatu. Mulai dari paspor, sidik jari, dan pemotretan wajah. Jadi memerlukan waktu cukup lama. Apalagi sebagian besar dari kelompok kami sudah usia lanjut. Terkadang untuk sidik jari perlu beberapa kali penyemprotan jari-jari tangan. Harus sabar dengan antrian

Sementara bis untuk menuju Madinah sudah menunggu di depan bandara. Kami pun segera masuk dan tentu tidak lupa berdoa.

Perjalanan dari Jedah ke Madinah memakan waktu kurang lebih 5-6jam. Waktu yang sangat saya sayangkan jika saya harus tertidur di bis. Euforia hati serasa berjejal-jejak. Ingin menyaksikan panorama yang mungkin tak biasa. Dan benar sekali saya menyaksikan pemandangan yang sangat berbeda dengan negeriku.

Sering menjadi pertanyaan, ketika ke Saudi Arabia, apakah kamu bertemu unta? Berikut ini yang bisa saya ceritakan sepanjang perjalanan dari Jedah ke Madinah yang saya amati dari dalam bis.

Padang pasir. Hal menarik yang pertama kali saya lihat adalah padang pasir yang panjang dan luas. Sejauh mata memandang tak ada yang lain kecuali padang pasir, tanpa ada sebatang pohon. Namun, terkadang padang pasir yang sesekali tumbuh tumbuhan perdu dan pohon kurma. Ada juga padang pasir yang tampak berkabut. Mata hanya bisa memandang remang-remang. Jarak pandang sangat pendek. Ternyata itu bukan kabut, tapi debu-debu yg beterbangan sangat liar.

Bangunan. Saya tidak menemui perkampungan yang ramai, tidak juga orang-orang yang berjalan. Sepi. Jika ada bangunan, tidak bergerombol dan jaraknya berjauhan. Bangunan-bangunannya khas, tanpa genting. Hanya bangunan dengan bentuk balok dengan satu atau dua pintu dan jendela kecil. Bangunan itu tampak tak berpenghuni. Beberapa tempat juga ada SPBU, tapi tak pernah ramai seperti di negeriku. Hanya beberapa pekerja saja. Saya heran, pada di mana penduduknya? Ataukah memang pada siang hari mereka jarang keluar rumah? Entahlah. Aku terus memandangi panorama eksotis yang mencengangkan di pandangan pertamaku.

Saya menemukan juga hamparan pasir yg cukup luas yang ketika ku amati dari dalam bis, di permukaannya ada lukisan yang tertata rapi dan berpola sama. Saya yakin itu ulah jemari angin yang menyisakan lukisan alam begitu natural. Sementara di atas padang pasir itu ada beberapa burung beterbangan. Hanya sedikit. Warnanya hitam, sebesar merpati, tampak riang beterbangan meski udara terasa panas. Ah, mungkin itu sudah kebiasaannya.

Unta. Nah, ini yang saya tunggu-tunggu, yaitu unta. Tapi hanya satu ekor saja. Ia berjalan pelan-pelan, seperti sedang menikmati panasnya siang.

Setelah seekor unta, saya melihat daerah bukan padang pasir lagi. Tapi daerah yang hanya terdiri dari batu-batuan. Lembah yang terlapisi hamparan batu dan gunung-gunung yang berupa gundukan batu-batu. Ukurannya campur, ada kecil, besar, dan besar sekali. Ada rasa takut di hati saya, jika tiba-tiba gunung itu longsor. Tapi ternyata semua gunung yang berjajar-jajar seperti itu. Ada juga lembah penuh dengan batu-batu kecil dengan ukuran yang tampak seragam. Dalam hati saya bertanya, sebenarnya pemandangan ini alami atau buatan manusia. Ah, entahlah. Padang batu itu sangat panjang. Sejauh mata memandang hanya batu-batu bertumpuk dan berserakan. Pemandangan yang menggambarkan betapa keras kehidupan di dalamnya. Sungguh, panorama yanh mengingatkan akan keAgungan Penciptanya.

Wouw! Akhirnya saya melihat unta dalam jumlah sangat banyak, sepertinya sedang digembala. Tapi, unta itu makan apa ya? Di tempat itu tampak gersang, padang pasir dan sedikit bebatuan. Kalau pun ada tumbuhan hanya beberapa pohon perdu, yang jumlahnya tak sebanding dengan banyaknya unta. Beberapa kilo meter kemudian kulihat unta lebih banyak lagi. Sepertinya peternakan unta. Tempatnya dikelilingi tumbuhan perdu berjajar-jajar rapi, sepertinya berfungsi sebagai tembok peternakan. Tapi entahlah. Ataukah mungkin tumbuhan perdu itu makanan unta? Lagi-lagi pertanyaan itu muncul di benakku.

Domba. Saya juga melihat sekelompok domba yang menurutku gemuk-gemuk. Mengapa domba-domba itu digembala di padang pasir tanpa tumbuhan, atau rerumputan? Untuk apa? Lalu apa yang mereka makan? Pertanyaan-pertanyaan itu muncul tanpa aku tahu jawabannya.

Keledai. Saya juga melihat beberapa ekor keledai. Beberapa saja. Tak lebih banyak dari jemari tangan. Pertanyaan-pertanyaan yang sama pun muncul. Mengapa domba-domba itu di padang pasir, apa makanannya? Dan aku juga tak tahu jawabannya. Mungkinkah aku perlu searching di google, agar penasaranku terjawab.

Kera. Saya melihat beberapa ekor kera. Lebih banyak dari keledai. Mereka berada di tepi jalan beraspal, dengan latar belakang padang pasir juga. Kali ini aku tidak penasaran monyet itu makan apa. Karena saya melihat sebuah mobil sedan sedang berhenti di antara monyet. Apakah itu pengendara yang sengaja berhenti ataukah memang petugas pemberi makan monyet. Yang jelas monyet-monyet itu tengah asyik makan pemberian tuan yang berkendara mobil sedan.

Akhirnya saya juga melihat padang pasir yang banyak ditumbuhi pohon-pohon perdu. Pohon itu di tanam ataukah tumbuh secara alami? Lagi-lagi aku butuh searching agar tahu jawabannya.

Pada beberapa kilometer berikutnya, tampak pohon-pohon perdu yang menurut penglihatan ku dari jauh dihinggapi banyak burung. Setelah dekat, eh ternyata bukan burung, melainkan lambaian sampah-sampah plastik yang tersangkut di pohon-pohon perdu tersebut. Kenapa sampah plastik hanya banyak di sekelompok pohon perdu itu saja ya? Padahal yang lainnya bersih. Mungkin, belum dibersihkan petugasnya. Ups, ini hanya mungkin.

Ada lagi pemandangan yang sungguh menawan hati. Ada gunung-gunung yang permukaannya seperti diiris-iris atau diserkel. Irisan-irisan itu seperti bentuk kayu-kayu lapuk yang berwarna abu-abu kehijau-hijauan. Tapi benarkah itu hasil sisa irisan atau serkel? Entahlah. Gunung, lembah, dan datarannya semua berwarna sama. Abu-abu kehijau-hijauan atau hijau keabu-abuan. Indah nian. Pemandangan aneh ini sama panjangnya dengan padang-padang pasir atau padang batu yang lainnya.

Belum selesai pemandangan lain saya perhatikan, ada yang mengganggu mata. Mata yang beberapa jam dimanjakan dengan pemandangan indah nan eksotis ternyata punya keterbatasan. Lap hilang. Mataku terpejam.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Ulasan yang keren, salam literasi

20 Apr
Balas



search

New Post