Hanumku yang Ranum
Hanumku yang Ranum
Hujan mengucur begitu deras pagi ini. Hingga aku tak berangkat ke lokasi proyek bangunan.
Duduk ditemani Hanum, Menyeruput teh yang kalau tak salah sudah tiga kali diisi ulang Hanum. Tentu saja hanya airnya. Gulanya sudah tak ada. Hambar memang. Tapi aku merasa amat menikmati suguhan teh hambar ini.
Begitulah rumah tangga sederhana kami. Kadang kami pernah makan mie instans yang dicampur sayur kangkung yang tumbuh di pekarangan. Tambahkan air yang banyak. Rasa tak perlu ditanyakan. Tak ada lezatnya tapi melihat tawa Hanum yang begitu renyah dan binar bahagia yang dia pancarkan. Aku teramat menikmati merajut kisah bersamanya.
Jika kalian pernah mendengar lirik lagu dangdut "Baju satu kering dibadan..." mungkin jadi nyata di keluarga kecil kami.
"Dari awal ayah sudah menasehati mu, Hanum, Rio hanya laki-laki miskin, kau menderita sekarang kan?" Nada ayahnya kala itu membuat wajahku memanas.
Tapi apadaya, memang demikian adanya, aku memang sangat mencintai Hanum, gadis cantik dengan bola mata indah, kulitnya putih bersih dan rambut hitam legam. Ya, aku sangat mencintainya, tapi apa daya hanya cinta, seluas lautan saja yang aku punya.
Aku tak mengukur diri, akan kepantasan bersanding bersamanya.
"Tapi Hanum sangat mencintai Mas Rio, Yah" dengan nada tegas penuh keyakinan Hanumku membelaku. Ada rasa bahagia dan tersanjung disudut hati. Atas pembelaan yang Hanum berikan untuk ku.
Demikianlah hari-hari kami, sesekali kami makan enak ke tempat makan yang tengah hits di kota ini, saat aku dapat banyak lemburan sebagai kuli.
Dan sering terjadi kami hanya makan sepiring berdua dengan kecap berlauk kerupuk. Tatkala tak ada borongan kerja apapun hari itu, kami hanya bercerita lucu, yang sebenarny sudah seringkali kami dengar bersama. Namun lagi-lagi tawa renyah Hanum seolah tiada beban, membuat binar bahagia selalu menyapa hariku.
Sampai suatu senja, halaman terlihat lembab karena hujan yang mengguyur baru saja reda. Tepat satu setengah tahun usia pernikahan kami.
"Mas, Hanum sudah tidak tahan dengan pernikahan kita"
Akhirnya Hanum mengikrarkan pengakuan ia menyerah. Iya, aku sadar di satu setengah tahun pernikahan kami, belum sekalipun aku membelikan perhiasan, ataupun baju baru untuk Hanum. Padahal Hanum berasal dari keluarga yang selama ini selalu mencukupi kebutuhannya dengan layak. Kala ia belum menerima pinangan ku.
Aku hanya punya cinta, yang luas tak berbatas saja. Tapi apadaya. Kenyataan selama ini aku malah membawa Hanum dalam kesusahan yang belum jua usai. Aku menghampirinya yang berdiri satu meter dariku. Kupeluk dia, dengan air mata yang tak mampu ku tahan. Ku usap sudut matanya yg basah.
"Baiklah dik, Mulai hari ini Hanum Pramudya bukan istrikuku lagi"
Kemudian aku keluar dari kontrakan kami yang kecil itu. Aku tak akan pernah kuat melihat dia meninggalkan ku. Saat aku menceraikan Hanum, sedikitpum rasa cintaku tak menemukan rasa pudar.
****
Tahun-tahun berikutnya. Kulalui hari dengan kesepian dan perih mendera. Tapi rasa cintaku terhadap Hanum tak pernah menuai usai. Semakin bertambah malah. Aku semakin giat mencari peluang. apa saja kulakukan. Kuli bangunan dari siang hingga sore. Malampun kadang aku menyambi jadi pelayan cafe.
Ingin kubuktikan pada Ayah Hanum, jika aku bisa menjadi orang yang layak untuk putri cantiknya. Dalam hatiku ingin sekali suatu saat aku kembali pada Hanum. Dengan membawakan setumpuk barang-barang mewah. Hanya itu pikiranku setelah tahun-tahun kesendirian ini.
****
7 Tahun berlalu.
Aku memasuki butik langgananku. Pemandangan sangat istimewa kutemukan satu meter dari tempat aku berdiri.
Gadis, cantik dengan mata bulat dan rambut hitam legam. Ia memandangiku terpaku. Ada bulir yang ingin jatuh dari sudut matanya. Dress hitam selutut, dengan sepatu brand ternama, senada dengan pakaiannya.
Degub jantungku tak beraturan. Mata ini ingin rasanya aku hentikan berkedip, agar aku tak kehilangan sepersekian detikpun untuk berhenti memandangnya. Cantik ! Hanumku seketika saja membuatku seperti kembali hidup. Benar-benar hidup. dari sepi dan perih sekian lama.
Sekarang aku merasa pantas bersamanya. Kini jas mahalku. sudah sangat sepadan dengan dress mahalnya. Dan masih banyak dirumah. Bahkan ada yang lebih mahal dari ini. Aku membathin. Bukan sombong tapi rasa bangga aku telah seperti yang ayahnya impikan.
"Mah, Warna ini cocok untuk papa?" Seorang pria bertanya lembut merangkulnya.
"Iya bagus Pah" tanpa sedikitpun pandangannya bergeming dariku
"Eh ada pak Rio"
Laki-laki disamping Hanum memghampiriku. Sembari menggandeng Hanum mesra.
"Kenalkan, ini Hanum Istri saya Pak"
ujarnya penuh Bangga.
"Ini bos papa mah, yang sering memberikan arahan dan motivasi buat Papa, Pak Rio ini pekerja keras Ma"
Gemuruh didadaku kian nyata. Hanumku yang Ranum. oh... seperih inikah ternyata.
******
TAMAT.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar