Tak sengaja, kutemukan diary berwarna hijau biru lembut dengan gambar boneka beruang di lemari buku ketika aku sedang memberesi isi lemari buku. Ku kira, diary itu telah hilang. Pelan kubuka diary itu. Irama jantungku terdengar hingga di kedua telingaku. Ada coretan khas dari sebuah tangan yang sangat aku kenal; tanganku sendiri. Terselip dua buah surat dengan amplop merah jambu. Nama si pengirim di surat itupun masih sangat aku ingat meski tanggal yang tertulis di surat itu sudah sangat ‘old’. Ya, diary dan surat-surat itu sebentar lagi berusia 16 tahun. Namun tulisannya masih jelas terbaca meski sudah sedikit mblobor tintanya karena dimakan waktu.

Mungkin, kisah yang tertulis di diary itu tak sedahsyat kisah cinta Cleopatra. Mungkin romantika yang mengharu biru dalam diary itu tak sesyahdu kisah Romeo-Julietnya Shakespeare. Mungkin perjuangan akan penantian yang tergambar dalam diary itu tak sehebat penantian Veer-Zaara.

Beberapa tahun setelah dia menemukan mutiaranya dan aku merasa yakin jika dia telah bahagia, barulah aku memberanikan diri untuk move on. Terlalu lama memang. Mungkin bagi sebagian orang, apa yang aku lakukan ini hanya sebuah kesia-siaan belaka. Boros waktu. Tak produktif. Tapi bagiku tak begitu. Dia yang pertama. Dia pula yang terakhir. Begitulah harapku saat itu.

Kenangan masa itu masih saja terasa baru kemarin. Beberapa kali kucoba mengurai kembali kenangan itu agar enak dibaca. Namun belum juga kesampaian. Tahun ini, kisah dalam diary itu baru aku tulis dalam sebuah cerpen dengan sedikit bumbu dan cuting disana-sini. Kadang pikiranku jauh mengembara. Mengandaikan jika kisah dalam diary itu kutulis menjadi sebuah novel. Lalu diterbitkan oleh penerbit besar dan ternama. Lalu diadaptasi menjadi sebuah film layar lebar. Hehehe….mimpi kali yee! Tapi kata orang, semua berawal dari mimpi. Mimpi ketika kita sepenuhnya sadar akan mimpi itu. Semoga mimpi itu, di tahun depan dapat kuwujudkan. Amin. My first novel.

Babakan, 31 Desember 2017