Mamak membuka jendela kayu dengan senyum lebar, menyaingi sinar hangat surya pagi itu. Ia menghimpun tirai ke kanan dan kekiri, begitu seterusnya hingga pasangan jendela keempat. Hari ini jumat! ia berteriak dalam hati. Mumpung putranya masih tidur, Mamak segera menyiapkan gamis putihnya, juga gamis dan peci putih Hakim, putranya. Tiada lupa jilbab putih, demikianlah seragam pengajian setiap jumat itu.

Mamak sudah sangat menantikan hari ini, ikut kegiatan rutin mengaji bersama ibu-ibu di kampungnya. Pondok tempat Mamak mengajar sedang libur, jumat pekan lalu hujan lebat sehingga pengajian diliburkan, maka inilah waktu yang tepat. Pondok dan pengajian bukan lah pilihan untuk dipilih salah satu bagi Mamak, dua-duanya penting. Mamak sudah mengajukan pemindahan jam mengajar, tapi belum pula dikabulkan oleh pengasuh pondok. Mengapa harus menunggu, mengapa tak ciptakan momentum itu sendiri? Demikianlah alasan Mamak yang sanagt bersemangat sedari fajar hari ini.

Hakim bangun kesiangan, jadilah mogok tidak mau tidur siang. Tak apa! Mamak segera mengajak Hakim mandi, memakaikan gamis putih lebaran kemarin. "MasyaAllah cakepnya kau Nak! Sudah macam mbah Yai saja!", Mamak memuji putranya. Mamak segera meraih jilbabnya, memasukkan buku Yasin, dan bersiap berangkat. Lalu tetiba Hakim merengek, "Mamak, Babuk.. babuk..!". Mamak menelan ludah, "Hakim mau babuk?". Hakim menjawab pertanyaan Mamak dengan tangisan. ia mengucek matanya hingga memerah, bergulung-gulung di lantai. Setelah menarik napas tiga kali, Mamak meraih Hakim dan mengajaknya tidur. Mamak harus legowo ketika kembali harus memendam keinginan mengikuti pengajian.