"Meskipun kita tak jadi orang kaya raya, setidaknya kita hidup cukup Nduk," ujar Mamak sore itu. "Masih ingat tak, dulu kita tak punya sajadah yang cukup"

Kalimat Mamak sontak membuat aku dan kakak bereaksi.

"Oh iya, sajadahnya cuma satu milik bapak", Mbak Aya megingat-ingat.

"Itupun sudah sangat usang, tepos bagian kening dan kaki", dalam ingatanku juga masih sangat lekat momen 25 tahun yang lalu. Aih bahkan Mamak pakai handuk untuk alas sujud.

Waktu terus bergulir, beberapa kerabat yang bekerja sebagai TKW di Arab Saudi memberikan kami sajadah. Kami tak kekurangan sajadah lagi. Bahkan kini setelah aku berprofesi sebagai guru, tak jarang menerima hadiah sajadah dari wali peserta didik. Alhamdulillah, sajadah benar-benar tak lagi menjadi barang mewah di rumah kami. Pun mungkin di rumah-rumah lain yang seprofesi denganku. Tapi ternyata anggapanku terpatahkan ketika teman mengajarku bercerita,

"Aku ingin beli sajadah", curhatnya di parkiran.

"Apa bu? Sajadah?", tanyaku memastikan.

"Iya, sajadah"

"Oh, tidak punya sajadah?"

"Sajadah di rumah masih kurang"

Aku semakin sadar bahwa banyak sekali nikmat Allah yanh sering kulupakan. Ketika kekurangan, aku mengeluh. Ketika berkecukupan, lupa untuk bersyukur. Astaghfirullah, semoga Allah memampukanku untuk selalu bersyukur.

10 Dzulhijjah 1442 H