ETTY YUSRIKA FITRI

Bekerja di Dinas Pendidikan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang ditugaakan sebagai pendidik di SMAN 1 Namang...

Selengkapnya
Navigasi Web

Sense Of Place

Belaian lembut sang angin menyapa wajahku. Kubuka masker dan kupejamkan mata seolah aku tak tahu, biarkan angin membelai bebas seluruh permukaan wajahku. Ku cium udara segar pagi ini yang masuk melalui jendela mobil angkutan umum. Aku menikmatinya. Menikmati perjalanan pagi ini dari Kecamatan Riau Silip menuju Kota Pangkalpinang.

Sebelas tahun lalu, ketika pertama kali aku tiba di sini. Sungguh tidak pernah terbayangkan bahwa aku akan berada di sebuah pulau yang sangat terbatas fasilitasnya. Terbatasnya angkutan umum, tidak adanya angkot atau ojek, tidak lengkapnya fasilitas publik privat sector untuk pengembangkan skill, jauhnya jarak pasar dari tempatku, tidak ada ATM saat itu, bahkan penerangan yang hanya bisa dinikmati pada pukul 18.00 - 21.00, serta tempat yang sangat jarang penduduknya sehingga lahan hutan masih sangat luas. Jika dibandingkan dengan kampung halamanku, sungguh tempat ini masih sangat terasa sepi sekali, sangat kurang fasilitas dan aksesibilitasnya. Hanya ada satu hal yang menarik dari tempat ini yang tidak ada di kampung halamanku yaitu pantai.

Sebelas tahun yang lalu, ketika bepergian, di sepanjang jalan yang terlihat hanya deretan rumah dari beberapa desa dengan pemukiman membentuk pola linier di sepanjang tepi jalan. Ketika melihat satu desa, lalu mata berganti melihat hijaunya pepohonan dari hutan yang memisahkan dengan desa lainnya, lalu baru berikutnya bertemu desa lagi. Tak jarang juga yang dilihat adalah tanah yang terbalik posisinya akibat aktivitas tambang, dan kemudian dapat ditemui kebun sawit. Begitulah kemana-pun pergi di pulau ini, demikian suasana pemandangan yang dapat dilihat dari kaca mobil rumah penduduk, hutan, kebun sawit, dan kerusakan lingkungan akibat pertambangan. Ketika melewati jembatan, mata akan mendapatkan sungai yang dangkal dan air yang keruh sebagai efek dari pertambangan. Melakukan perjalanan di sini, tidak ada yang istimewa. Namun, bagi driver satu hal yang istimewa pastinya. Jalan di sini bebas macet krena masih rendahnya mobilitas penduduk.

Sebelas tahun berlalu dengan segala suka dan duka di tanah perantauan yang mungkin akan menjadi tanah kampung halaman bagi anak cucuku nanti. Ketika anak-anakku lahir di sini, tumbuh dan besar di sini hingga maka inilah tanah kelahirannya. Mereka akan berkembang beranak pinak di sini, dan kami-pun akan mati dikuburkan di tanah ini. Tempat ini menjadi kampung halman bagi keturunanku dan menjadi kampung halaman tempat kami disatukan dengan bumi di tanah liang lahat.

Tempat sederhana ini adalah rumah kami. Kesederhanaannya bernilai tinggi bagiku. Pepohonan tepi jalan mirip hutan itu masih sama dengan sebelas tahun lalu, yang membedakannya adalah nilai luhur dari sebuah budaya lokal yang membuat ia kupandang sebagai konsep 'bangunan' agung dari sebuah kecintaan terhadap anak cucu generasi masa yang akan datang.

Hutan ini bukan hutan semata. Hutan di atas sebidang tanah yang ditanami buah-buahan khas daerah ini memiliki nilai budaya dan mengandung ajaran yang luhur yang selayaknya dilestarikan baik itu ajarannya maupun penerapannya di berbagai bidang. Hutan dengan ciri khas adanya tanaman buah khas daerah ini dinamakan Kelekak.

Kelekak merupakan akronim dari bahasa daerah Bangka yakni Kelak Kek Ikak. Makna kelekak adalah sebuah upaya pelestarian lingkungan dengan penanaman berbagai jenis tanaman yang bermanfaat yang hasilnya dimanfaatkan untuk masyarakat yang menanam dan juga bermanfaat untuk generasi yang akan datang. Sampai dengan beberapa puluh tahun yang silam, lahan-lahan ini hanya dimanfaatkan untuk bercocoktanam, lalu kemudian diberikan kebebasan untuk memanfaatkan hasil tanamannya untuk memenuhi kebutuhan hidup. Betapa agungnya, masyarakat kala itu. Mereka tidak merusak alam, namun mengelola alam dengan tradisional yang berprinsip pada konsep pembangunan berkelanjutan atau tepatnya pertanian berkelanjutan.

Saat ini hutan yang ku lihat betapa indah di mataku. Sungguh aku menikmatinya. menikmati udaranya, Akupun rela sang angin menyapa wajahku dan mengacak-acak jilbabku dengan tiupannya yang kencang yang masuk dari jendela mobil. Mesranya tiupan angin ini menemaniku menikmati kearifan budaya masyarakat Bangka. Budaya yang semoga dapat juga dihargai oleh tiap orang agar kiranya dapat membatasi diri dalam mengeksploitasi kekayaan alam (timah) agar lingkungan tidak rusak. Agar angin nya tetap sejuk dengan udara yang segar. Agar tanahnya tetap dapat ditanami oleh anak cucu generasi yang akan datang.

Saat ini, dimanapun aku melihat hutan dalam perjalananku di setiap giatku, aku menikmatinya. Nikmat sebagai buah manis dari rasa cinta karena aku telah mengenalnya. Itulah pentingnya mengetahui asal-usul nama suatu tempat atau suatu fenomena. Dengan mengenalnya, maka akan menumbuhkan cinta dan rasa terhadap tempat (Sense Of place).

(Etty Yusrika Fitri : Tantangan menulis hari ke-1)

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Mantap tulisannya Bunda, tidak terasa pengabdian yang besar ,, salam sukses selalu

01 Mar
Balas



search

New Post