Ety Rusyanti

Keinginan menjadi penulis begitu kuat setelah aku mengikuti kegiatan Sagu Sabu. Mengikuti tantangan menulis dan lomba yang diadakan media guru menjadi sarana ba...

Selengkapnya
Navigasi Web
Putriku Ternyata Seorang Penulis bagian 2 (tantangan Menulis hari ke 79)

Putriku Ternyata Seorang Penulis bagian 2 (tantangan Menulis hari ke 79)

(Tantangan menulis hari ke 79)

Putriku Ternyata Seorang Penulis bagian 2

Jujur aku masih belum percaya kalau putriku bisa menulis dengan gaya bahasa yang ringan dan mengalir indah. Caranya memilh kata-kata untuk dituliskan membuatku bedecak kagum. Putriku yang selama ini aku kenal dengan gadis pendiam dan pemalu ternyata cukup piawai dalam merangkai kata. Kalimat demi kalimat dalam cerita yang dituliskan begitu indah, setidaknya buatku.

Berikut adalah lanjutan cerita yang ditulis putriku..

Berbeda

bagian 2

Sebuah tepukan lembut menyadarkanku dari lamunan panjang. Ku tolehkan kepalaku dan ku dapati senyum menawan dari wanita paruh baya yang sudah melahirkanku. Ibu.

"Kenapa Bu?" Ibu tersenyum mendengar pertanyaanku.

"Seharusnya ibu yang nanya, kamu kenapa ko ngelamun aja seharian ini? Lagi banyak fikiran?" ku balas pertanyaan ibu dengan senyuman.

"Ko malah senyum? Ibu tanya bukannya di jawab eh malah senyum-senyum"

"Hehe, aku ga papa ko Bu, cuma lagi ada yang di fikirin aja, tapi bukan masalah serius ko, Ibu ga usah khawatir aku baik-baik aja ko" ku rasakan genggaman hangat di telapak tanganku, ku tatap wajah ibu yang masih menampilkan senyum hangatnya.

"Kalo kamu ada masalah kamu bisa cerita sama Ibu, biarpun itu cuma masalah kecil. Kali aja dengan cerita sama Ibu hati kamu menjadi lebih lega. Lagian Ibu ini Ibu kandung kamu, kalau kamu ada apa-apa cerita aja sama Ibu, dengan senang hati Ibu akan mendengarkan dan siapa tau sehabis kamu cerita ibu bisa bantu menyelesaikan masalah kecilmu itu" lagi, aku hanya tersenyum mendengar ucapan Ibu.

"Tuh kan senyum-senyum lagi, Ibu jadi curiga. Jangan-jangan masalah kecil yang kamu maksud itu, masalah cinta ya?" Aku tertawa mendengar Ibu mengatakannya, seolah dia sedang menggodaku.

"Loh ko malah ketawa? Tadi senyum-senyum sekarang ketawa, emang pertanyaan Ibu lucu ya?"

Aku masih tertawa melihat ekspresi Ibu yang tampak kebingungan. "Jeremy, kamu kenapa sih?"

Ku hentikan aksi tertawaku setelah melihat Ibu merajuk. Begitulah Ibuku, dia akan menggunakan bahasa ayahku saat ia sedang merajuk.

"Habisnya Ibu lucu sih. Hehehe. Iya deh iya aku cerita" ku tarik hafas dalam-dalam sebelum cerita. sebab ini akan menjadi cerita terpanjang yang akan aku ceritakan kepada Ibu, cerita tentang kisah cinta pertamaku

***

"Jadi begitu ceritanya, semenjak itu aku tidak pernah sekalipun tidak memikirkannya. Dia seperti magnet yang menarikku untuk memikirkannya walau hanya semenit. Bahkan akhir-akhir ini dia lebih sering hadir di mimpiku. Itu semakin membuatku memikirkannya dan... merindukannya"

"Jeremy ..."

ku tatap wajah Ibu yang masih setia menampilkan senyum hangatnya.

"Jatuh cinta indah bukan? Memikirkannya, memimpikannya, bahkan merindukannya adalah suatu kegiatan 'manis' yang akan kamu jalani saat sedang jatuh cinta. Dan itu bukanlah beban, itu adalah hadiah kecil yang kamu terima saat kamu sedang jatuh cinta. Terima itu dengan senang hati, sebab manusia hanya sekali seumur hidupnya merasakan jatuh cinta yang sesungguhnya. Jadi nikmatilah."

Nikmati? Bahkan aku lebih dari menikmatinya. Memikirkannya, memimpikannya dan merindukannya sudah menjadi seperti kegiatan pokok untukku. Tapi masih ada satu hal yang mengganjal di hatiku..

"Tapi Bu, kami berbeda..." ada rasa sesak saat mengetahui ada jurang pembatas di antara kami.

"Bukankah Tuhan menciptakan manusia berbeda-beda agar manusia bisa saling memahami dan menerima perbedaan di antara mereka"

Aku tersenyum pahit mendengar ucapan Ibu "Lalu apakah Ibu akan menerima jika mempunyai menantu yang memiliki keyakinan yang berbeda denganmu?"

Hening. Tidak ada satupun dari kami yang mencoba untuk berbicara.

"Jeremy, kamu tau? Semua yang ada di dunia itu terjadi karena sudah ada yang mengatur, termasuk kamu yang jatuh cinta dengan gadis itu, itu terjadi bukan karena kebetulan semata tapi karena sudah kehendak takdir. Takdir yang mempertemukan kalian."

"Ibu percaya itu?"

"Tentu."

"Tapi bukankah pada akhirnya aku dan dia tidak akan bisa bersatu? Bukankah takdir kami sudah jelas, kalau aku dan dia tidak akan bersatu?"

Sesak. Kenapa rasanya sungguh sesak?

"Pada akhirnya nanti aku dan dia tidak akan bisa menjalin cinta seperti yang ku harapkan. kami hanya bertemu lima menit dan itu terjadi setahun yang lalu dan bahkan dia tidak mengenalku, jadi bagaimana bisa dua orang yang berbeda dan tidak saling mengenal bisa bersatu? Itu mustahil. Bila akhirnya akan seperti itu kenapa perasaanku padanya semakin kuat Bu? Kenapa setiap menit aku memikirkannya, aku semakin menginginkannya? Apakah aku salah kalau mencintainya? Dosakah aku kalau menginginkannya Bu?" Rasa sesak itu kini meledak menjadi tangis, entah sejak kapan aku menangis yang jelas saat ini rasanya aku ingin meledak saat mengetahui perbedaan di anatara kami.

Ku rasakan pelukan hangat Ibu. "Semua akan berakhir sesuai dengan skenario takdir yang telah di tentukan. Yang harus kamu lakukan hanya percaya. Percaya bahwa akan ada akhir yang bahagia untuk kisah cintamu. Jadi sekarang nikmati saja perasaanmu ini, karena jatuh cinta yang sesungguhnya itu hanya sekali. Dia cinta pertamamu bukan?"

Ku anggukan kepalaku. Ibu benar, aku hanya harus percaya bahwa semua ini terjadi karena sudah takdir dan aku hanya harus menerima dan menjalaninya.

Dan untukmu, gadis yang ku cintai... entah bagaimana aku mengatakannya tapi aku percaya kalau suatu saat kisah kita akan berakhir dengan indah. Lalu apakah saat kita bertemu suatu saat nanti, kamu akan membiarkan aku mencintaimu? Atau bahkan kamu bersedia menerima cintaku? Untuk pertanyaan terakhir mungkin kamu akan menjawab tidak, tapi bolehkah aku berharap kamu akan menjawab 'iya'. Bukankah semua terjadi atas kehendak takdir, bila takdir mempertemukan kita kembali maukah kamu menerimaku? Dan bila kita -mungkin- bertemu kembali bersediakah kamu mengizinkanku mencintaimu? Untukmu, gadis yang ku cintai... jika akhirnya kita tidak bisa bersatu, mau kah kamu mengizinkanku untuk melihatmu sekali saja, untuk terakhir kalinya, hanya untuk melepas rinduku.. mau kah kamu mengizinkannya?

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Mantap...perlu disupport lagi...sampai terbit bukunya. Semoga sukses

01 Jun
Balas

Baik bu Terima kasih supportnya

04 Jun



search

New Post