JANGAN GUNCANG AKU, IBU
Jangan Kau Guncang Aku, Ibu
Oleh: *Eva Kartika N.
Aku sangat menyukai anak kecil. Anak kecil itu lucu dan menggemaskan. Anak kecil itu imut. Dan matanya, dengan pupil yang pasti lebih dominan besar memancarkan kepolosan asli tanpa dibuat-buat. Tambahan lagi, aroma badannya segar alami. Anak siapa pun yang aku kenal pasti tidak bisa lepas dari gendonganku plus ciumanku.
Makanya, aku terus mencuri pandang seorang ibu yang sedang menggendong bayinya dalam bis yang kutumpangi. Si ibu yang duduk di bangku seberangku dapat sedikit membuang bosanku menempuh perjalanan ini. Bayi yang digendongnya dibungkus selimut tebal dan lembut, warna biru tua. Mataku tak bisa lepas memperhatikan si bayi.Tangan kiri si bayi keluar dari selimutnya. Aku memegangnya beberapa kali karena gemas. Dan tangan itu lunglai.
Keanehan semakin nampak. Si bayi dengan ukuran yang cukup besar, mestinya tidak akan betah dalam gendongan dengan posisi seperti itu. Tidur menengadah menghadap langit-langit bis tak bergerak. Iseng kutanya, berapa usia si bayi. Si ibu menjawab 13 bulan. Ah! Pertanyaanku terjawab. Si bayi memiliki kelainan dan itu tidak perlu dikonfirmasi dengan pertanyaan. Takut menyinggung perasaan si ibu.
Tiga jam mata si bayi hanya menatap ke atas, berputar melihat sekeliling. Tak lama kemudian si bayi mulai mengeluarkan suara tangis yang sedikit ganjil. Dikatakan menangis tapi tidak seperti bayi lainnya, lirih dan pendek-pendek seperti suara anak harimau. Si ibu segera menggoyang-goyang bayi yang digendongnya sambil mendesis menenangkan si bayi. “ssshhh...shhh...shhh” si bayi tenang kembali.
Lima menit kemudian si bayi mulai mengeluarkan suara lagi. Si ibu kembali mengoyang-goyang si bayi. Kali ini agak sedikit keras. Si bayi diam kembali. Aku tidak berani lagi melihat bayi dan ibunya. Tidak enak hati. Takut dia merasa bingung, malu, atau apalah. Teringat ketika anakku masih seusia itu, naik angkutan umum, terus rewel. Rasanya agak canggung ketika semua mata melihat usaha kita menenangkan anak.
Belum sampai 1 menit kembali si bayi bersuara. Kali ini si ibu mengguncang-guncang si bayi, bukan menggoyang lagi. Diam sebentar, rewel lagi. Diguncang lagi. Diam sebentar. Rewel lagi, diguncang lagi. Kali ini sambil mengeluarkan ancaman “Ssst!!! Diamm!!! Tak cubit lho!, tak cubit lho!” matanya memelototi si bayi. MasyaAllah.
Aku terkejut melihat perilaku si ibu. Ternyata dugaanku salah. Simpatiku berubah menjadi rasa tak suka. Semula aku berpikir si ibu adalah orang yang luar biasa. Memiliki anak berkebutuhan khusus, menggendongnya selama sekian jam. Pasti tangannya sangat pegal. Sementara si suami hanya tidur mengorok di sampingnya, tak peduli.
Aku menoleh ke kanan melihatnya dengan alis yang kukernyitkan dan mulut mengatup keras. Sengaja aku tunjukkan rasa tidak sukaku. Si ibu melihatku sekilas. “Haus barangkali, Bu?” kataku sambil terus mengernyit mencoba membantu. “Nggak apa-apa, Bu. Cuma ngantuk...” jawab si ibu kikuk. Aku nggak habis pikir, sudah empat jam dalam perjalanan, si bayi tidak diberi minum atau camilan sama sekali. Cuma ngantuk katanya?
Aku mencoba berprasangka baik. Seorang ibu yang memiliki anak berkebutuhan khusus tentu harus memiliki kesabaran ekstra. Mungkin dia sedang lepas kontrol karena lelah. Mungkin itu penyebabnya. Atau mungkin si ibu memiliki kemampuan terbatas tentang cara merawat anak. Kemampuan dipengaruhi tingkat pendidikan. Ibu dengan tingkat pendidikan yang baik tentu akan mengetahui atau mencari tahu bagaimana merawat dan mendidik anak dengan baik. Dengan pendidikan, seorang ibu akan mampu mengatasi persoalan yang muncul ketika memiliki anak.
Yang jelas, seandainya si ibu di bis tadi memiliki pendidikan yang baik, dia tidak akan mengguncang-guncang bayinya dengan keras. Dia tidak akan mengeluarkan ancaman pada bayinya. Dia juga tidak akan melotot pada si bayi.
Seandainya si ibu tadi memiliki tingkat pendidikan yang baik, otaknya akan bekerja terlebih dahulu menemukan penyebab mengapa si bayi menangis. Ketika penyebab diketahui, dia akan mencari solusi. Sehingga emosi tidak sempat mengambil alih. Kesimpulannya, menjadi seorang ibu harus terus belajar banyak hal tanpa henti.
*Penulis adalah Guru SMPN 2 Giligenting Sumenep
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar