Hijrahku Perjuanganku
Hijrahku Perjuanganku
Lahir di sebuah kota metropolis, Palembang. Melewati masa kecil, SD, SMP, SMA sampai kuliah sampai bekerja sebagai guru honor pun di kota ini. Saya pun sempat berkhayal mati pun saya akan disini. Bekerja sebagai guru honor di SD swasta yang ada di lingkungan stasiun kereta, membuat saya tahu sisi lain kehidupan keras disana. Merangkap kerja di SD lain yang ada di pusat kota bukan untuk menambah penghasilan tapi “cari pengalaman” kata ayah saya. Berada di dua sekolah ini membuat saya seperti berada di dua dunia yang berbeda. Kontras dengan SD sebelumnya siswanya jauh lebih tertib, disiplin, tuturkata sopan, dan lebih mudah diatur. Tidak terbayang sebelumnya bahwa saya akan berada di Pulau Bangka
“Hijarah” itulah yang dilakukan nabi Muhammad. Tak disangka dengan sedikit terpaksa saya pun harus hijrah. Saya fikir setelah menngajar fase yang akan saya lalui adalah menikah, mengurus suami dan anak tetap di kota ini. Di usia 28 tahun saya harus meninggalkan kota ini. Tahun 2010 menjadi tahun yang banyak merubah pola fikir saya sebelumnya. Merubah takdir dan nasib yang saya tentukan sendiri endingnya. Saya lupa bahwa takdir bukan di tangan saya.
Penghujung 2009 adalah awalnya saya menginjakkan kaki ke pulau Bangka. “Pulau Mistis” katanya karena banyak orang yang tidak bisa kembali ke kampong halamannya jika sudah berada di pulau ini.
Mengikuti tes CPNS dan lulus tanpa “money” tentunya jadi satu hal yang sangat membanggakan. Ayah saya pun harus berulang kali meyakinkan orang-orang bahwa anaknya lulus murni. Maret 2010 diantar ole kedua orang tua dan adik saya menuju tempat baru yang bahkan dipeta pun tidak saya temukan.
Hijarah itu dimulai . Bukan hanya fisik dan jiwa yang pindah, tapi semua hal. Hijrah pertama saya adalah lepas dari orang tua yang sudah merawat, menjaga saya hingga usia 28 tahun. Berat sekali menerima kenyataan bahwa fisikly kami terpisah. Setelah sekian lama saya saya tidak memeluk beliau maka hari itu saya peluk beliau erat dan lama. Hal yang belum tentu saya lakukan jika tidak hijrah. Hijrah berikutnya adalah meningggalkan semua kemudahan kemudahan yang tersedia di sekitar saya. Mulai dari listrik, air, sampai telepon karena di desa ini tidak ada jaringan listrik. Terbayanglah semua pekerjaan dilakukan secara manual mulai menggerek air, masak, setrika baju. Saya harus memasak kembali menggunakan kompor minyak, yang dulunya pernah dipakai ibu saya, menimba air, masak nasi diliwet, sampai nyetrika baju pun setrikanya harus dipanaskan di atas kompor. Alat komunikasi yang bisa saya andalkan hanya HP itupun harus ke pinggir pantai untuk mencari sinyal yang bagus untuk sekedar melepas rindu.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Insyaallah hijrah yang bu guru lakukan akan berbuah manis dan indah. Salam sehat dan sukses selalu. Barakallah, bu guru.