Sedih mengenangnya, keraguan mereka padaku dan keluargaku, bahkan menurut mereka akan memberikan mudharat padaku jika dipaksakan. Namun dengan segala dorongan dari keluarga dekatku, terutama Mak uo dan Abak akhirnya kudapatkan gelar itu. Gelar yang membawaku mendekati takdirku.

Indah terasa saat itu, tapi jauh di lubuk hati aku menangis, Pahlawanku tak bisa menyaksikan kemenanganku. Allah lebih sayang beliau, Allah jemput beliau lebih cepat. Kata-kata terakhirku dengan beliau malam itu "Mak uo harus sehat supaya bisa hadir di acara wisudaku" beliau hanya bisa mengangguk. Pagi-pagi buta kutinggalkan beliau untuk kembali ke kampus, waktu itu ada ujian. Besoknya kudapatkan berita beliau telah pergi, langit terasa mau runtuh, bergegas aku pulang kampung, berharap aku salah menerima berita, ternyata tidak, kulihat kursi-kursi sudah berjejer di teras rumah. ternyata aku tidak salah. Ternyata satu Pahlawanku telah gugur. masa itu aku masih tahun ke tiga.

Perjuanganku masih panjang dengan Pahlawan keduaku, beliau hantarkan aku hingga wisuda baju merah (menikah) belum sempat ku membahagiakan beliau, beliau pergi menemui kekasihnya, kami makamkan beliau berdampingan. Abak pejuang tangguhku, cinta pertamaku, sampai saat ini pun butiran-butiran bening disudut mataku selalu hadir ketika aku mengenang pengorbanan dan perjuanganmu. Aku belum mampu mengantarkanmu ke tanah suci seperti yang kita cita-citakan.

Abak dan Mak uo sekarang aku telah bahagia dengan warisan tak ternilai yang Engkau tinggalkan untukku. Secarik kertas yang kata orang-orang aku dan keluarga kita tidak akan mungkin mampu mendapatkannya. Abak dan Mak uo semoga tenang disisi-Nya. Semoga Allah jadikan kubur Abak dan Mak uo seperti taman-taman surga. Aamiiiiiin.