eva suzana

Cikgu ini lahir di Payakumbuh pada tanggal 20 April 1969. Saat ini bertugas sebagai guru IPA di SMP Negeri 2 Kec.Harau Kab.Lima Puluh Kota Sumbar...

Selengkapnya
Navigasi Web
Campur Tangan Ibu

Campur Tangan Ibu

Rangga melangkah pelan menyusuri gang yang lebarnya masih seperti dulu. Gang yang terasa sempit ketika dia dan kedua adiknya berebut duluan sampai di rumah. Hanya rumah-rumah di sepanjang gang yang agak berbeda tampilannya karena sudah mendapat sentuhan sesuai dengan meningkatnya taraf ekonomi si penghuni, sehingga rumahnya yang terletak di ujung gang , yang dulu  tergolong paling keren sekarang sudah kalah pamor. Enam tahun merantau, atau lebih tepatnya  meninggalkan kampung halaman membuat kerinduannya pada keluarga dan seseorang yang spesial sudah menggunung. Keputusannya kali ini untuk pulang seakan melanggar sumpahnya sendiri. Ibu adalah satu satunya orang yang bisa melunakkan hatinya. Selama enam tahun ini ibunya seakan mengerti isi hatinya sehingga tak sekalipun ia memaksanya untuk pulang. Bahkan tahun lalu ibunya yang mengunjunginay di Jakarta. Pesan di WA seminggu yang lalu adalah paksaan pertama ibunya. 

Di sinilah Rangga sekarang, disambut pelukan hangat ibu dan kedua adiknya, Rama dan Rani. Walaupun sering video call namun Rangga kaget juga melihat tongkrongan kedua adiknya yang sudah mengalahkan dirinya. Foto Ayahnya di ruangan tengah membuat hatinya sedikit perih. Kepergian ayahnya tepat sehari sebelum hari wisudanya membuat rencana studinya ke S2 harus ia lupakan. Rasa kecewa dan posisi sebagai anak tertua yang bertanggung jawabnya membantu perekonomian keluarga, membantu ibunya yang bekerja sebagai staf TU di sebuah sekolah menengah, membuatnya bertekad takkan pulang sebelum kedua keinginannya itu tercapai. Ibu kota adalah peluang terbesarnya mendapat pekerjaan dengan penghasilan yang lumayan. Setelah berjuang memasukkan lamaran ke beberapa perusahaan dan instansi akhirnya di bulan keempat marantau Rangga mendapatkan pekerjaan tetap pertamanya dengan gajinya setara UMR, cukuplah untuk kehidupannya di Jakarta. Selama empat bulan Rangga hanya membantu toko kelontong Paman Arya, saudara jauh ibunya, tempat ia dititpkan ibunya. Rangga berusaha berhemat sehingga masih bisa mengirim sedikit uang kepada ibunya. Syukurlah kedua adiknya waktu itu masih SMP dan SMA sehingga belum butuh biaya banyak. Seiring berjalannya waktu sekarang pendapatannya sudah lumayan. Ia pun di sela kesibukannya tinggal selangkah lagi akan  menyelesaikan S2nya.

"Bisa kamu ambil cuti, Nak? Jika Alya berarti bagimu, saatnya kamu pulang. Jangan sampai terlambat dan kamu menyesal, Nak" tulis ibunya. Ah..Ibu memang tahu segalanya, tanpa pernah mengatakan pada Ibunya ternyata beliau tahu bagaimana perasaannya terhadap Alya. Rangga tahu walaupun ia jarang berkirim kabar kepada Alya, namun ia selalu tahu kabar tentang gadis itu dari ibunya. Gadis itu memang begitu dekat dengan ibunya. Kedekatan yang tak disengaja. Bermula saat gadis itu tak bisa melunasi uang komite tepat pada waktunya, ibunya yang mengetahui hal itu menjadi kasihan dan membantu si gadis. Sejak itu Alya sesekali datang ke rumah mengobrol dan membantu Ibu di rumah. Rangga pertama kali kenal saat pulang liburan kuliah.  Pembawaannya yang luwes membuat Alya dengan mudah diterima oleh keluarga Rangga. Apalagi saat Ayah berpulang, Alya semakin sering main ke rumah. Rangga berusaha menganggap Alya sebagai adiknya namun perasaan tak bisa didustai. Gengsi dan ego membuat ia tak berani mengungkapkan, bahkan saat meninggalkan rumah untuk merantau ia tak punya pesan khusus untuk Alya. Mereka hanya saling manatap dalam lalu tersenyum canggung berusaha menepis rasa yang ada di hati. 

"Kamu tahukan bagaimana keluarga Alya. Posisi gadis itu anak tiri. Ayah kandungnya sudah tiada.  Mungkin keluarga ibu tirinya ingin menuntaskan tanggunga jawabnya terhadap Alya dengan menikahkan gadis itu. Mama dengar ada seorang Duda yang berminat terhadap Alya. Kamu sendiri bagaimana?" ujar ibunya panjang lebar. Rangga menatap Mama, tanpa berkata beberapa saat. Ada sesuatu yang harus tanyakan kepada Mama, apapun reaksi mama.

"Apakah pantas aku menolak tawaran Paman Arya untuk menikahi Sintia putrinya karena aku telah berhutang budi kepada beliau?" ucap Rangga hati hati khawatir ibunya terkejut. Selama ia tak pernah bercerita perihal desakan pamannya itu. Diluar dugaannya ternyata reaksinya ibunya hanya tersenyum. Rangga menautkan alisnya bingung dengan respon ibunya.

"Menikah itu bukan masalah balas budi semata. Menikah itu tentang dua hati yang harus saling terikat satu sama lain. Pamanmu sudah menghubungi Mama, karena kamu tak kunjung merespon tawaran beliau. Dan Mama sudah menjelaskan semuanya," ucap ibunya sambil mengacak rambut ikalnya yang sudah sepatutnya disentuh tukang pangkas. Rangga menggaruk kepalanya sehingga rambutnya semakin berantakan. Mama selalu tahu apa yang aku inginkan, pikir Rangga sambil senyum senyum sendiri. Pantas saja Paman Arya tak banyak tanya saat ia pamit pulang kemarin. Ia saja yang khawatir berlebihan. Tiba tiba saja ia berharap Alya segera muncul di hadapannya. Atau jangan jangan si Duda itu telah bergerak lebih cepat. Rangga sedikit panik. Selama ini ia begitu gengsi untuk mengakui perasaannya, sekarang paerasaan takut kehilangan menyelimuti dirinya. Syukurlah ibunya selalu menjaga Alya untuknya.

"Bang Rangga!" sebuah sapaan lembut mampir di telinganya. Rangga cepat berbalik. Gadis berkerudung dengan tatapan dan senyuman yang masih sama seperti dalam bayangannya berdiri di hadapannya.

"Duda itu?" ucap Rangga spontan dan tak urung ia malu sendiri. 

"Akan aku antar Abang ke sana, mau kenal kan?" ucap Alya dengan wajah pura pura serius mengabaikan paras merah Rangga

"Hah? Emang siapa dia?" tanya Rangga penasaran.

"Mas Hadi, tukang pangkas rambut di gang sebelah. Rambut Abang sudah gondrong tuh. Yuk..!!" ucap Alya sambil menarik lengan baju Rangga. Ibu Rangga hanya geleng geleng kepala melihat ulah mereka berdua. Rangga menurut saja ditarik Alya karena rasa penasarannya dengan sosok sang Duda. gantengan mana ia dibanding si tukang pangkas rambut. 

"Ya ganteng dikit Bang Rangga, ganteng banyak Mas Hadi," goda Alya. Rangga tersenyum kecut namun hatinya lega. Kegalauannya saat berangkat lenyap sudah. Ternyata bukan hanya dia yang tak pindah ke lain hati. Alya juga tetap setia meski tak ada janji terucap di antara mereka. Kita yang sekarang, masih kita yang dulu. Semua tak lepas dari campur tangan Ibu.

*

Payakumbuh, 22 Desember 2022

 

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post