Evy Sumiati, MPd

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Anak Lanang dan Motor Gede

Anak Lanang dan Motor Gede

Telah beberapa hari ini aku kucing-kucingan dengan anak lanangku yang mulai naik remaja. Usia yang menurut para ahli usia mencari jati diri. Dua bulan lalu suamiku telah membelikannya motor Yamaha besar yang terus terang hingga saat ini aku tak pernah ingat mereknya. Pembelian motor itupun bukan tanpa sebab, karena sebelumnya ada beberapa insiden yang membuat kami berdua sebagai orangtua harus mengalah pada kehendak sang buah hati. Salah satu insidennya adalah motor kesayanganku pemberian gubernur atas prestasi yang kuraih sebagai guru prestasi tahun 2008 dimasukannya ke dalam anak sungai yang mengalir menuju danau dekat rumah kami, dan sejak saat itu motor tersebut tinggal menjadi barang musium terletak manis di sudut garasi rumah. Karena alasan tak ada motor insiden selanjutnya adalah anak lanangku mogok sekolah dan kembali menuntut dibelikan motor besar tersebut. Berulang kali aku mencoba membujuk untuk mngganti motor besar dengan motor biasa saja tetapi dengan semangat yang membara anak lanangku tetap kokoh pada pendiriannya.

Namun ceritanya tak selesai sampai disana karena sudah beberapa hari ini anak lanangku mengajukan proposal untuk motornya impiannya. Dan tentu saja proposal itu diajukannya kepadaku untuk dilanjutkan ke papanya. Sebab itulah aku jadi kucing-kucingan dengan dia.

“oooaaalaa le...le... kok yo nyiksa mama, kenapa nggak cukup motor yang sudah ada. Nggak perlu motor gede segala”.

Jawabanya “ma... soalnya dalam klub dedek cuma motor dedek yang idak keren ma... coba mama lihat Reyhan aja yang mamanya tidak kerja dibelikan motor gede oleh gaeknya (istilah orang tua dalam bahasa gaul remaja di Bengkulu) masa dedek yang gaeknya kerja dua-dua dak bisa membeli motor gede gengsi la ma...”

Deg jantungku serasa berdetak, apa yang ada dalam pikiran anak lanangku ini. Jadi selama ini dia menganggap bahwa kehidupannya diatas temannya dikarenakan orang tuanya bekerja keduanya sedangkan temannya hanya papanya yang bekerja. Dalam benakku bergejolak apa yang harus aku katakan pada anak lanangku ini. Dia saat ini bukan lagi anak kecil manis yang bisa aku bujuk dengan mengalihkan permintaannya namun aku juga harus meluruskan pemikirannya tentang kehidupan yang hanya dipandangnya dari materi. Pada hal selama ini kami sebagai orang tua selalu menanamkan sikap sederhana dan menghargai orang bukan dari materi. Saat aku cerita ke suamiku bahwa aku jadi takut ketemu anak lanang gara-gara proposal itu suamiku yang bijak hanya tersenyum dan berkomentar “wah kirain mama hanya takut keriput diwajah ternyata ngadapin proposal dedek aja mama ngeper”. Sebel bukannya bantu memecahkan masalah proposal anaknya malahan ngeledek. Melihat aku cemberut suamiku akhirnya berkata “begini sayang kita buat kesepakatan dengan dedek jika keinginannya dipenuhi maka ada konsekwensi yang harus disepakati bersama antara kita dan dedek”. Mendengar kata-kata suamiku hatiku agak lega mudah-mudahan ini jalan keluar terbaik untuk kami sekeluarga. Aku juga menyadari sebenarnya persoalan motor ini bukan hanya dipicu oleh anak tetangga yang dibelikan oleh orang tuanya sebab keinginan memiliki motor itu dicetuskannya sudah beberapa bulan sebelum insiden motor yang dimasukan ke dalam anak sungai. Namun makin gencarnya permintaan itu sejak anak temannya dibelikan motor besar itu. Tontonan pada televisi juga menjadi pemicu keinginan anak lanangku pada motor besar itu.

Sore itu anak lanangku pulang saat adzan magrib dikumandangkan. Aku mencoba menegur “hai boy bagaimana harimu ? kok barengan dengan adzan magrib”. Dia hanya membisu tak menjawab sapaanku yang biasanya disambutnya dengan mencium tanganku. Tanpa menoleh padaku dedek langsung masuk kamarnya. Tapi tak lama kemudian dedek keluar kamarnya “mama...... kok mama negur-negur dedek kemaren kemana mama....”.

Waduh aku lupa jika kemarin-kemarin aku menghindari darinya. Mau tak mau aku harus menghadapi persoalan ini.

“gini dek nanti malam mama dan papa mau bicara dengan dedek soal permintaan dedek, nah sekarang dedek cepat mandi terus sholat”.

Setelah sholat Isya suamiku pulang dari mesjid anak lanangku langsung menagih janji rapat kecil kami sekeluarga. Mbak nya yang sedang sibuk di depan leptop mengerjakan tugas sekolah dipaksa oleh dedek untuk menghadiri rapat kecil itu. Setelah berkumpul suamiku mulai membuka percakapan dengan ilustrasi-ilustrasi tentang kehidupan. Kedua anakku nampak bosan dengan uraian-uraian yang diberikan papanya. Dan pada akhirnya tibalah pada point soal permintaan motor besar yang diminta oleh dedek. Pada dasarnya kami sebagai orang tua tidak keberatan membelikan motor untuknya namun tentu dengan syarat-syarat yang harus disepakati bersama salah satunya lebih mengutamakan sekolah. Sebab sekolah itu merupakan tugas yang harus dilaksanakannya saat ini. Setelah melalui perdebatan yang cukup alot akhirnya didapati kesepakatan yang disetuju oleh kedua belah pihak.

Penulis adalah peserta Bimtek Literasi Penulisan Buku Tahun 2017 di Batam.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Cakep selamat bu akhirnya ada juga cerita dari Mu tidak hanya puisi.Sempurna Salam literasi!

21 Apr
Balas

Terima kasih teman, mudah-mudah kita akan semakin bersemangat dalam menulis.

21 Apr



search

New Post