fadillah tri aulia

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Gambar Cinta
Tak selalu cinta terungkap saat ia datang karena ada hati yang perlu dijaga

Gambar Cinta

Percayakah kau? Malaikat-malaikat mungil di sekelilingku berubah menjadi setan kecil, mengarakku pada pintu abu-abu bernamakan cinta.

Kuawali gambarku dengan garis bergerigi mencuat-cuat seperti gergaji usang. Untuk coretan ini kugunakan yellow green, oil pastel nomor tujuh belas. Sengaja kusapukan tak rata. Beberapa garis vertikal kubuat beberapa dengan warna sama. Tak banyak warna bisa kugunakan, memang. Oil pastel yang kupunya hanya berjumlah 25 batang. Itupun dengan panjang yang timpang. Tak rata. Hanya warna putih yang nampak masih utuh walaupun warnanya tak lagi bersih. Pulasan warna lain mengotorinya.

Aku masih ingat, sangat ingat bahkan. Oil pastel yang kugunakan sekarang adalah hasil jerihku. Aku selalu ingin mendapatkan sesuatu yang amat kuinginkan dan kusukai dengan jerihku sendiri. Termasuk oil pastel itu. Itu hasil jerih payahku mengajar privat selama satu kali pertemuan. Gaji pertamaku!

Sudah lama memang. Itu terjadi saat semester satu yang artinya hampir empat tahun lalu. Oil pastel itu jarang kugunakan. Hanya beberapa kali untuk beberapa gambar. Gambar – gambar spesial. Dan gambarku kali ini, spesial. Kurasa begitu. Sebuah hadiah dari anak – anak lucu yang sangat mencintai gurunya. Romantis bukan?

Kutegakkan sebentar badanku. Kaku. Tulang punggungku berderak. Kumemutar dan sadari hari mulai senja. Warna kuning keemasan menyemburat, mengintip, di sela-sela jendela kayu asrama. Membuat barisan semut di tepi jendela terlihat besar dan hitam di tembok. Bergerak, beriringan, menggerak – gerakan kaki dan antenanya dengan padu. Sesekali, beberapa ‘menengok’ dan ‘mengobrol’, antena mereka beradu. Guratkan senyum di wajahku, entah seberapa lebar.

Ini adalah senja yang kesekian kalinya kurasakan di dalam kamar ini. Kurasa sudah senja ke enam puluh-an. Atau sekitar dua bulan. Di Al – Banna aku baru masuk. Baru berpetualang selama itu. Banyak hal yang belum dan harus aku jelajahi dan bagi. Waktu yang belum cukup bagiku untuk memahami setiap isi kepala dan hati seluruh penduduk SMP IT ini. Apalagi untuk menghapal nama. Aku lemah dalam hal itu. Entahlah seolah memori otakku telah dipenuhi oleh jejalan informasi yang kadang aku sendiri lupa.

Anak-anak asrama putra berlarian di depan kamarku. Efek sandal jepit mereka membuat suaranya begitu nyaring. Keteplak, keteplak! Ingatkanku akan langkah – langkah mungilku saat berlari mengejar layang – layang. Berlarian di antara debu lapangan, sawah, jalanan, atau kebun saat musim panas belasan tahun lalu. Kudengar mereka mulai berhitung satu hingga sepuluh dan kaki-kaki pun semakin ramai mendekat, berkumpul.

Hompimpah alaium gambreng! Seorang anak bersorai lalu pergi.

Ga...mbreng! Seorang anak bersorai.

Begitu hingga akhirnya seorang anak terdengar merutuk mendapatkan giliran mandi paling buncit.

Setiap kamar memang hanya memiliki satu buah kamar mandi. Satu kamar untuk delapan anak. Walaupun ada pancuran untuk tempat mencuci baju, mereka tidak akan berani mandi di sana. Malu. Walaupun belum semuanya sudah baligh – mereka suka bercerita tentang segala hal termasuk apakah mereka sudah pernah mimpi atau belum.

Pintu kamar diketuk saat kuambil nomor 21. “Ya sebentar!” kurapihkan sarungku.

“Sudah makan, Pak?” Sosok anak gemuk berdiri mendongak, menatapku dengan matanya yang sipit. Sosok yang mengingatkanku kepada tokoh kartun – kartun chibi Jepang.

“Belum tuh Do,” kuacak-acak rambutnya yang ikal dan lengket. Bulir keringat sisa bermain bola di lapangan sekolah masih merayapi keningnya.

Tangannya menyorongkan misting bundar berwarna merah dengan tutup berwarna putih. Jatah makan malam. Terkadang anak-anak mengambilkan jatah untukku sehingga aku tak perlu melangkah ke dapur umum. Dan salah satu anak yang paling rajin membawakan misting untukku adalah Aldo.

“Sedang apa, Pak?” Matanya liar menembus ke kamarku. Menyelip lewat pintu yang tak mungkin tertutup badan kurusku. Seorang anak lain muncul di belakangnya. Seorang anak yang badannya kurus. Persis seperti aku saat masih seusianya.

“Ada aja!” Kumelangkah ke luar dan menutup pintu. Riak mukanya berubah, bibirnya meruncing. Lucu.

“Oh ya, Pak! Besok Bu Cinta mau pergi. Bapak sudah tahu?” Tanya Aldo

“Betul Pak. Tadi Bu Cinta masuk kelas dan perpisahan sama anak-anak.” Kini Imam, anak satunya lagi, yang angkat bicara.

Guru tahfidzh itu memang akan pergi besok. Hari ini hari terakhirnya mengajar di sini. Perannya sudah usai di sini. Bu Maria sudah pulang dari haji dan akan mulai mengajar kembali. Lagipula, guru muda itu akan melanjutkan studinya ke LIPIA Jakarta.

“Ya tahu. Anak-anak akhawat yang bilang ke bapak.”

“Terus?” Ia menunggu.

“Terus kenapa?”

“Bapak enggak sedih?”

Ah pertanyaan menjebak! Aku tahu hilirnya akan ke mana.

“Sedih enggak sedih!” Dahi basah Aldo berkerut. “Sedih karena kalian sedih dan tidak sedihnya karena saingan bapak untuk jadi guru favorit kalian berkurang satu!” Kuakhiri dengan senyum.

“Ah bapak mah.”

“Kenapa? Kecewa?”

“Ya, memang bapak enggak sedih ditinggal Bu Cinta? ‘Kan nanti enggak bisa ketemu lagi?”

“Memangnya kenapa? Kalau ada apa-apa kan bisa telepon atau SMS-an.”

“Seperti waktu itu ya? Bapak SMS-an sama Bu Cinta. Malam-malam lagi! Ciee...!.”

Yah, kena deh!

“Itu kan cuma mau ngambil laptop yayasan. Jangan mikir macam-macam ya! Nanti bapak kasih poin di buku hitam lho!”

“Ah bapak mah, gitu aja marah. Bercanda Pak, bercanda.”

Malam itu memang aku SMS dia untuk mengambil laptop yayasan yang sedang dipinjamnya karena akan kugunakan malam itu juga. Dia tinggal di samping asrama putri yang berada tak jauh di belakang asrama putra. Dan aku sengaja membawa anak-anak supaya tidak ada fitnah. Tapi bagimanalah, fitnah itu akhirnya datang dari saksi-saksi yang kubawa. Payah!

“Sudah Pak, jangan dipikirin. Bada Maghrib kan masih bisa ketemu di masjid! Witwiw!” Ia berlari setelah kuacungkan kepalan tanganku. Tubuh gempal itu berlari seperti jeli yang meloncat lucu. Dasar anak jahil!

Banyak orang mengatakan bahwa anak-anak memang peka. Kepolosan mereka membuatnya bisa merasakan hal-hal yang terkadang sulit dirasakan orang dewasa. Bahkan hal gaib sekalipun katanya bisa mereka rasakan. Walaupun aku sendiri masih ragu. Tapi, ia nampaknya bisa merasakan apa yang bisa kurasakan. Rasa. Sebuah hal abstrak yang terkadang aku sendiripun sulit bisa merasakannya. Apalagi: Cinta.

Aku memang bukan orang yang belum pernah merasakannya. Aku pernah. Beberapa kali malah. Namun, sayangnya aku salah menafsirkan apa yang kurasakan. Cinta yang kurasakan ternyata tak sepenuhnya cinta. Terkadang rasa itu menipu dengan sebatas sebuah sosok kekaguman atau kasihan. Hingga akhirnya, aku tak berani menafsirkan sendiri perasaan ini dan mengambil kesimpulan bahwa itu cinta.

Cinta akan pergi. Untuk itulah oil pastel kugoreskan di sana. Cinta?

Adakah senyum Rakib di sana? Ataukah Atid?

Kutunda gambarku. Hari hampir Maghrib dan kuharus sudah bersiap menyambutnya. Mengajak anak-anak untuk segera melangkah ke masjid.

Sebuah lonceng bergemerincing nakal dan bertanya, akankah kutemukan ia di sana?

Kuhanya jawab dengan istighfar. Namun semerbak wangi malah merambahi hatiku. Ya Allah.... Alunan simfoni klasik terdengar mengiringi ayunan langkahku. Biola mendesah lirih seiring daun yang bergoyang di atasku. Membuat langkah ini menjadi begitu...indah. Seketika senja pun berwarna merah jambu.

“Tuh kan Pak, ada!” Aldo menarik ujung bajuku. Tangan satunya menunjuk sosok yang berjalan menuju masjid diikuti anak-anak bermukena dominan putih bersih.

“Sssst!” Kutambah dengan delikan. Anak kelas tujuh itu malah tersenyum menang.

Sosoknya yang tak begitu tinggi membuatnya menyatu dengan murid-murid putri. Yang berbeda hanyalah jilbabnya yang menjulur lebih panjang dibandingkan siswa-siswanya.

Tundukan pandanganmu! Suara itu menghentak pikirku. Tersadar.

Jujur. Aku tidak hapal seperti apa raut wajahnya. Hanya nama dan sosok kasarnya saja yang ku kenal. Suaranya saja aku tidak begitu hapal. Ruang guru lelaki dan perempuan dibatasi lemari buku besar. Yang aku tahu, dia baru saja menamatkan pendidikan di sebuah lembaga tahfidzhul qur’an beberapa bulan lalu. Di Al Banna dia hanya sementara menggantikan Bu Maria yang berangkat naik haji. Bahkan terkadang sosoknya masih tertukar dengan Bu Syiffa guru hadits.

Malam ini begitu tak nyaman. Bukan karena udara Subang yang memang sedang tak bersahabat. Tapi, sosok itu. Tiba-tiba sosoknya begitu penuh menyesakkan pikirku. Walaupun hanya sosok tanpa wajah. Walaupun ia hanya berdiri mematung tanpa kata. Walaupun dia hanya nampak sebagai siluet di ujung senja berwarna jingga. Sosok-sosok tak jelas itu berjejalan. Sosok yang tak berani kuterka wajahnya.

Kuselesaikan gambarku tepat saat jam mejaku menunjukan pukul sepuluh. Sebuah gambar sosok wanita dengan jilbab lebar berwarna biru muda yang tertiup angin. Membelakangiku. Berdiri di atas lapangan berumput tinggi. Menghadap sebuah gedung sekolah berlantai dua dengan anak-anak menatapnya penuh cinta.

Hanya ini yang mungkin bisa “aku” berikan.

Cinta diarak saaat Hawa beranjak pergi....

Tapi lancang jika kuakui ini cinta.

Mungkin hanya goda dan canda yang menjadi prasangka.

Pintu kamarku diketuk cepat. Kuberanjak dari kasur busaku. Aku hampir memejamkan mata. Maklum, ini sudah hampir pukul sebelas malam.

“Assalamu’alaikum, Pak!”

“Wa’alaikumussalam. Enggak bisa tidur lagi, Do?”

Bocah berkulit bersih itu mengangguk pelan. Matanya menunduk.

“Yuk masuk!”

“Bapak belum tidur kan Pak?”

“Belum.” Kututup pintu kamarku. “Ingat kebakaran lagi?”

Ia mengangguk pelan, “Takut, Pak.”

Kutatap bekas luka bakar di punggung tangannya. Beberapa minggu lalu rumahnya habis di lalap api. Saat itu ia sedang pulang karena sekolah libur semesteran. Semua penghuninya selamat termasuk neneknya yang sudah sangat sepuh. Justru beliaulah yang pertama kali menyadari ada api berkobar di dapur. Beliau hendak tahajud saat itu.

Dan ini adalah kali kesekian dia mengetuk pintu kamarku. Berdiri di depan pintu dengan wajah sembab dan memeluk erat guling berwarna biru. Kamarku yang tepat berada di sebelah kamarnya memang paling mudah untuk dijangkaunya.

Aku maklum. Tak mudah memang melupakan sebuah peristiwa yang begitu hebat. Pahit. Bahkan hampir merenggut apa yang dimilikinya, yang dicintainya.

“Mau susu? Sekalian bapak juga mau bikin.”

Ia tersenyum, “Boleh.”

“Mau ikut ke dapur atau nunggu?”

“Ikut ah, takut!”

Jika ingin air panas atau menyeduh air panas kami memang harus ke dapur umum. Letaknya hanya beberapa meter dari asrama putra. Tepatnya di antara asrama putra dan putri.

Hampir saja kumenabraknya saat ia keluar dari dapur umum.

“Eh Bu Cinta. Assalamu’alaikum Bu!” Sapa Aldo sambil melirik kepadaku.

Oh jadi ini? Sempat kulihat segurat wajahnya dalam temaram.

“Wa’alaikumussalam. Kok belum tidur Do?”

“Mau bikin susu dulu. Bu Cinta ngapain?”

“Habis mengembalikan pisau. Tadi pinjam untuk memotong rapia untuk ngepak barang.”

Aldo ber-o ria. Dan tersenyum “manis” sekali kepadaku. “Besok Ibu jadi berangkat ya?” Kuperhatikan raut mukanya. Sedih.

“Insya Allah.”

“Pasti pada kehilangan Ibu deh. Ibu kan baik banget. Cantik lagi! Ya kan Pak Adam?”

Untuk dua kata terakhir Aldo mengatakannya dengan penuh penekanan dan ekspresi ditambah lirikan ke arahku. Aku melotot.

“Kan ada guru-guru yang lain.”

“Justru itu Bu. Guru-guru yang lain pasti juga merasa kehilangan.”

Hening. Jangkrik, binatang malam lainnya, desir angin dan desah napas berorkestra dipimpin Sang Pemiliknya.

“Sudah malam, ibu pulang dulu ya. Assalamu’alaikum!”

Suara tapak kaki terdengar menjauh. Hanya bisa kutatap kakiku sendiri yang tak bisa bergeming dari tadi. Kaku.

“Pak Adam!” Aldo menarik ujung kaosku. “Jadi ‘gak bikin susunya?”

Bernafaslah dengan cinta dan sebongkah dzikir dalam gumammu.

Pertemuan semalam semakin timbulkan banyak tanya dalam hatiku. Adakah rasa? Cintakah? Atau hanya rasa selepas lalu? Ayolah.

“Pak Adam, gambar untuk Bu Cinta-nya mana?” Beberapa siswa putri mencegatku saat melangkah ke ruang guru keesokan harinya.

“Ya Pak. Mau diberikan sekarang. Nanti Bu Cinta keburu pergi nih!” Sabila, ketua kelas tujuh akhawat, bicara tak sabar. Matanya menatap gedung asrama putri dengan cemas.

Ah, maafkan aku ya Allah.... Tak mungkin gambar itu kuberikan. Atau, fitnah akan semakin meraja.

“Eh, maaf ya. Gambarnya tidak sempat bapak buatkan.”

Ya Allah wajah-wajah kecewa itu.... wajah yang sangat aku benci.

“Kalian kan sudah buat kenang-kenangan kumpulan puisi karya kalian. Jadi...enggak apa-apa kan?”

“Tapi kan Bapak sudah janji mau bantu bikin gambar untuk Bu Cinta.”

“Ya, maaf. Semalam ada rapat asrama jadi tidak sempat untuk itu.”

Anak-anak di hadapanku saling berpandangan. Beberapa menunduk.

“Kumpulan puisi kalian juga bagus kok. Bu Cinta pasti suka!” kucoba menghibur dan kuharap berhasil.

“Ya sudah deh. Maaf ya Pak sudah ngerepotin. Wasssalamu’alaikum Pak!” Fuh, nampaknya usahaku tidak begitu berhasil. Tapi setidaknya gambar itu tak jadi ada di tangan mungil mereka. Lalu berpindah ke tangan itu.

“Lho, kalian mau ke mana? Sebentar lagi masuk lho.” Tanyaku demi melihat mereka justru melangkah menjauhi gedung sekolah.

“Mau perpisahan sekaligus ngasih kenang-kenangan sama Bu Cinta.”

“Terus mau nyanyi di depan kamar Bu Cinta.”

“Pak Adam mau ikut?”

Hendak saja kujawab. “ikut”, namun kubatalkan. “Eh, kayaknya enggak bisa. Mau bikin laporan dulu buat Pak Asep. Salam aja ya.”

“Salam?! Ceile....!” Respon anak-anak kompak.

“Salam apa nih?”

“Salam apa sala....m?”

Yah, salah lagi!

Cepetan berangkat! Nanti Bu Cinta keburu berangkat.”

Anak-anak serempak setengah berlari melintasi lapang yang rumputnya tak bisa disebut rapih. Tingkah mereka mengingatkanku kepada masa SMP-ku dulu.

Cinta diarak saaat Hawa beranjak pergi....

Seminggu sudah semenjak kepergian Bu Cinta. Namun anak-anak masih sering menyebut namanya. Sepertinya ia sosok yang terlalu baik untuk bisa dilupakan begitu saja. Kurasa begitu....

“Pak, boleh pinjam buku paketnya? Punya Mia ketinggalan.” Kusorongkan buku paket milikku.

“Ini siapa? Kakak ya?” Terkaku saat melihat selembar foto di atas mejanya.

“Masa ‘gak kenal sih Pak? Ini kan Bu Cinta.”

Oh jadi ini? Raut itu begitu jelas tanpa temaram kini. Ada senyum di sana. Manis. Haruskan aku menunduk?

“Cantik ya, Pak?”

Terdiam. Mengaku. Berpaling.

“Ya tentu, kan perempuan.”

“Yah, terserah Bapak deh.” Anak berkerudung hijau muda di depanku cemberut.

“Baik, silahkan buka bukunya. Halaman 136!”

Saat ujung spidolku hampir menyentuh papan tulis….

“Wah bapak hebat ih! Gambarnya bagus banget.”

Gam-bar?

“Tapi, kok ada tulisan: To Bu Cinta-nya?”

A-p-a?

Semua mata memandang gambar itu. Sebuah gambar sosok wanita dengan jilbab lebar berwarna biru muda yang tertiup angin. Tampak dari belakang. Berdiri di atas lapangan berumput tinggi. Menghadap sebuah gedung sekolah berlantai dua dengan anak-anak menatapnya penuh cinta.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Bernafaslah dengan cinta dan sebongkah dzikir dalam gumammu....aq suka kalimat ini..cieee bapak...terpana sama bu Cinta..wuihhh kerennya cerpen itu ada unsur agamanya, suka bangets..teruslah berkarya pak, asah instinkmu jadi sebuah tulisan yang penuh arti dan bermakna, tulisannya berkelas..

17 Jun
Balas

Terima kasih bu.... ini kisah fiksi tak nyata he... saya banyak belajar dari tulisan ibu.

17 Jun

Luar biasa. Keren mengikuti kata demi katanya.

17 Jun
Balas

Masha Allah. Tulisannya bagus. Saya membacanya sambil merinding karena pilihan diksi dan struktur kalimat yang bagus sekali. Seperti membaca novel karya penulis ternama. Padahal saya kurang menyukai cerpen. Tapi dua tulisan Bapak yang sudah saya baca, nuansanya berbeda. Bukan seperti cerpen pada umumnya. Ditunggu tulisan selanjutnya. Saya ngefans sama tulisan-tulisan Bapak.

17 Jun
Balas

Terima kasih sudah bersedi membaca tulisan saya Bu Diana... ah, rasanya masih banyak yang harus saya pelajari. Saya bersyukur gurusiana sudi menampung tulisan-tulisan saya ini.

17 Jun

Jika sempat, mohon kiranya untuk singgah di tulisan saya yang lainnya dan menulis kritik dan sarannya.. :-)

17 Jun

Sedikit koreksi ya Pak. "Hanya bisa kutatap kakiku sendiri yang tak bisa bergeming dari tadi. Kaku." Bila yang dimaksud dalam konteks kalimat ini adalah berdiri kaku atau diam, "tak bisa bergeming" tidak tepat. Banyak yang salah pemahaman terhadap kata bergeming. Bergeming artinya menurut KBBI adalah tidak bergerak. Jadi lebih tepatnya seperti ini: 'Hanya bisa kutatap kakiku sendiri yang bergeming dari tadi." Kemudian "Hanya warna putih yang nampak...". Menurut KBBI, yang benar adalah kata tampak, bukan nampak. Maafkan saya karena mengoreksi sedikit, ya Pak.

17 Jun

Terima kasih atas masukannya...:)

17 Jun

2 cerpennya saya baca... Keren kata-katanya. di awal sempat tidak mau lanjut baca, tapi kok tambah romantis ceritanya, tak teruskan saja... hehe... ada kesamaan pengalaman: tentang fitnah. Terjadi juga ya...? Atau itu hanya dalam cerpen ini saja? hehe... baca juga, Pak. Agak mirip, cerpen "Cinta Bersemi di Pesantren Tempat ku Ditugaskan" http://www.ladangcerita.com/2016/11/cinta-bersemi-di-pesantren-tempat-ku.html

17 Jun
Balas



search

New Post