fadillah tri aulia

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Ular di Mulut Kardi
Mungkin tanpa sengaja kita telah memelihara ular dalam mulut kita

Ular di Mulut Kardi

Ini Ramadan ke tiga ia datang ke kampung ini. Selalu di bulan ini dia datang. Dan seperti yang lalu-lalu ia menempati rumah yang dulu dimiliki keluarga Pak Sasmita. Konon, ia masih kerabat Pak Sasmita tapi ada pula yang mengatakan lelaki itu membelinya dari Pak Anwar, putra Pak Sasmita. Entah mana yang benar karena angin dan waktu mengaburkan semuanya dan menguapkan tentang masalah itu dari benak penduduk. Toh, masih banyak hal yang harus mereka pikirkan selain hal itu. Terlebih lagi bulan ini, Ramadan, saat semua orang di kampung sibuk menyambutnya dan begitu gugup, khawatir Ramadan kali ini tak lebih baik dari kemarin. Tentu saja itu lebih penting daripada memikirkan penghuni rumah yang terletak di ujung kampung itu.

Warga kampung, khususnya aku dan keluargaku, sudah tahu bahwa ia akan datang. Seperti sebelumnya jika ia akan datang, Mang Ujang, orang yang diminta Si Pemilik Rumah untuk merawat rumah itu, sibuk bersama istrinya membersihkan dan merapihkan rumah itu. Cat yang kusam dicat lagi walau dengan warna yang sama. Rumput-rumput dipotong dan dirapihkan. Pendeknya, tak ada yang tak luput dari perhatian Mang Ujang dan istrinya. Bahkan persediaan makanan untuk satu bulan pun sudah dipersiapkan.

Rumah itu sebenarnya memang tidak terlalu mencolok hingga nampak tidak penting untuk dibicarakan. Sama seperti rumah penduduk lain pada umumnya: berlantai tegel hitam, beratapkan genteng merah bata, dan tembok berwarna putih. Pun halamannya, hanya ditumbuhi sebuah pohon jambu air dan sebuah pohon bougenville yang bila berbunga akan berwarna merah muda. Selebihnya ditutupi rumput biasa.

Seperti yang kujelaskan tadi, warga di kampung ini tak begitu peduli dengan “orang asing” itu. Jadi pantas jika mereka sama sekali tidak tahu nama lelaki yang kira-kira berusia 40-50 tahunan itu. Begitupun aku walaupun aku tinggal tepat di depan rumahnya. Di sela-sela Mang Ujang dan istrinya bekerja, istriku pernah iseng menanyakan nama pemilik rumah itu dan berharap mereka tahu. Namun ternyata sama, mereka tidak tahu namanya. Mereka hanya menjawab bahwa mereka biasa memanggilnya dengan sebutan “Aden”. Pun ketika istriku meminta informasi lainnya, mereka hanya mengangkat bahu sambil menggelengkan kepala.

“Yang pasti dia orang kaya, mungkin pengusaha besar di ibu kota,” kata istriku suatu hari. “Ujang dan istrinya dibayar besar sekali untuk membersihkan rumah itu.”.

Pak Aden pun bukan orang yang patut dicurigai. Menurut Mang Ujang, dandanannya tidak terlalu mencolok, sama dengan penduduk lainnya hanya saja ia lebih rapih dan bersih. Sehingga saat tivi-tivi menayangkan berita agar berhati-hati dengan orang asing karena dikhawatirkan seorang teroris Kami bersikap biasa saja. Pak Aden tak nampak dan tak pantas pula jika dicurigai sebagai seorang teroris. Kalaupun ia jarang, bahkan tidak pernah, berinteraksi dengan penduduk sekitar mungkin ia punya alasan kuat untuk itu yang sementara ini hanya dia yang tahu. Lagipula seperti yang kukatakan sebelumnya, ia datang pada Bulan Ramadan ketika penduduk jauh lebih menyibukan diri mereka sendiri dengan urusannya masing-masing untuk mengisi bulan yang amat mulia ini. Jadi, warga tak merasa keberatan sedikitpun.

“Mungkin dia bosan dengan urusan bisnisnya, ingin mencari ketenangan. Toh sudah zamannya, orang-orang kaya dari kota berlibur ke desa-desa. Mereka bosan dengan hiruk pikuk kota,” kata istriku lagi suatu hari.

Kali ini dia datang malam-malam. Ketika ku hendak menutup pintu rumah selepas salat tarawih di masjid, mobil sedan hitam itu berhenti dan parkir di halaman rumahnya. Aku hanya mampu menatap dirinya dari belakang. Dan seperti biasa, aku tak terlalu tertarik memperhatikannya hingga lantas masuk rumah dan menutup pintu.

“Pak Aden sudah datang?” Tanya istriku menyambut kepulanganku.

Aku hanya mengangguk malas. Istriku malah menanyakan hal yang sama dengan nada sedikit dinaikkan.

“Jika memang dia sudah datang apa urusanmu?” Tanyaku balik.

Ia malah menaikkan kembali nada suaranya dan menuduhku cemburu pada lelaki itu. Konyol! Itu hal terkonyol yang pernah ada. Aku tidak terima!

Dan malam itu, selepas tarawih, selepas kedatangan lelaki itu, aku dan istriku bertengkar karena alasan yang paling tidak masuk akal. Pertengkaran yang sudah lama tidak terjadi dalam rumah mungilku justru hadir saat Ramadan. Tapi untunglah, pertengkaran itu tak berlangsung lama. Kami mendadak berhenti ribut saat Hania, putra kami, melangkah keluar dari kamarnya dan merengek minta minum. Lantas kulempar sajadah yang kubawa ke atas kursi, melangkah ke luar rumah dan duduk di serambi rumah.

Malam berikutnya kami bertengkar lagi. Awalnya kami membicarakan apakah kami akan mudik ke kampung atau tidak lebaran ini. Sebuah obrolan lumrah di bulan puasa bagi para perantau. Tapi lagi-lagi lelaki itu mengacaukan semuanya. Istriku bilang tentu akan lebih enak jika bisa mudik dengan mobil sendiri, mobil seperti milik lelaki asing itu.

“Ya sudah, kawin saja dengan lelaki itu!”

Istriku mendelik. Dan lagi-lagi ia menuduhku cemburu. Cemburu?

Mungkinkah aku cemburu? Ah bodoh, itu hal yang konyol! Mana mungkin aku cemburu kepada lelaki aneh itu. Kalaupun ia memang orang kaya sedangkan aku hanya pekerja serabutan kurasa itu tak lantas membuat istri yang telah kunikahi selama hampir sepuluh tahun bisa berpaling dariku. Tapi kenapa aku bisa seperti ini dan mengapa pula istriku menanggapi pertanyaanku dengan nada yang tak enak? Ataukah ini gara-gara lelaki itu?

Nah, Ia mengincar istriku! Ia menyukai istriku dan melakukan hal-hal aneh untuk mendapatkannya. Pasti. Pasti istriku diguna-guna oleh lelaki asing itu. Istriku tipe istri penurut tak pernah sekalipun berontak.

Kutatap rumah di depanku. Lampunya masih menyala terang. Timbul ide dalam pikirku. Bergegas masuk, mengambil upluk dan jaket, kembali ke luar dan berjalan cepat ke warung kopi di pertigaan jalan.

Ia datang pada saat yang sangat tepat. Saat musibah muncul beruntun di desa ini. Istri Kang Tono meninggal gantung diri di rumahnya. Anak gadis Kang Maman sering kejang-kejang. Laras, si kembang desa, buncit perutnya dan tak pernah mau mengaku karena siapa. Ia benar-benar datang pada saat yang tepat. Tuhan mendukung rencanaku.

Dengan mudah kusebarkan berita tentang siapa Pak Aden itu. Tentu mereka mudah percaya karena aku tetangga tepat depan rumahnya. Orang yang paling sering mengamatinya. Ditambah rentetan-rentetan musibah yang kuanggap anugerah dari Tuhan.

Seperti yang telah kurencanakan. Selepas tarawih, aku dan penduduk kampung bergerak menuju rumah si dukun sesat itu. Ya, lelaki asing itu adalah dukun sesat yang membawa kesengsaraan di kampung ini. Orang yang harus bertanggung jawab atas deretan peristiwa naas yang terjadi. Orang yang membuat istriku menjadi pemberontak agar bisa ia miliki. Itu kesimpulanku yang kusebarkan kepada yang lainnya.

Tentu aku berada di barisan terdepan. Memimpin penduduk sambil berteriak-teriak membuka kedok lelaki asing yang ternyata dukun sesat itu.

Di depan rumahnya. Aku memaksa dukun sesat itu keluar. Lama tak keluar, batu-batu mulai dilemparkan ke rumahnya. Kaca-kaca pecah. Mobil sedan yang diparkir di halaman pun tak luput dari sasaran. Tak kunjung keluar, obor-obor dilemparkan. Beberapa berhasil masuk rumah. Aku tersenyum gembira dan yakin lelaki itu pasti sebentar lagi akan keluar. Dan tepat dugaanku. Lelaki itu berlari keluar sambil menutupi mukanya dengan kain sarung. Sontak warga menyerbunya tanpa butuh komando dariku. Menyerbunya dengan penuh nafsu menumpahkan kekesalan dan kedengkian yang mereka rasakan.

Namun, semua orang mendadak berhenti memukul dan menendang. Termasuk aku. Tak ada lagi teriakan buas. Berganti bisikan-bisikan keganjilan. Semua orang mulai menjauh dari Pak Aden yang beberapa menit lalu menjadi pusatnya.

Pantas jika lelaki kurus itu tak mengerang, mengaduh, atau bersuara sedikit pun. Pantas pula ia tidak pernah berinteraksi dengan penduduk. Mulut lelaki itu. Kedua bibirnya mengatup rapat, rapat sekali. Beberapa helai benang melintang di antara bibirnya yang kini basah karena darah.

“Aden!” Mang Ujang bergerak berlawanan dengan orang lain. Ia mendekati lelaki yang ia panggil namanya. Mulutnya tak henti-henti mengucapkan istigfar yang tanpa sadar diikuti semua orang kecuali aku.

“Aden bukan orang jahat. Kalian pikir, siapa yang mendanai perbaikan jalan kampung ini?”

Semua orang terhenyak lalu terdiam. Jadi perbaikan jalan kampung ini bukan program daerah? Bukan karena pemilihan bupati kemarin kami memilih seratus persen bupati terpilih?

“Kau Kardi! Kamu pikir siapa yang menyuruhku diam-diam memasukan surat panggilan kerja ke dalam rumahmu?”

Ah ya! Pekerjaan itu. Mendengar kata-kata Mang Ujang membuatku lunglai. Bukan karena fakta yang ia bongkar tapi karena seharusnya hari ini aku pergi memenuhi panggilan kerja itu. Sial!

“Aden datang kemari bukan untuk membuat masalah di kampung ini. Justru Aden ingin mencari ketenangan di sini selama Ramadan. Aden hanya ingin menghabiskan Ramadan-nya dengan tenang. Sengaja Aden tidak keluar dan bergaul dengan kita karena Aden paham orang-orang di kampung ini pun sibuk dengan ibadah-ibadah mereka. Tak ingin melewatkan bulan suci ini begitu saja. Dan seperti yang kalian lihat, Aden sampai menjahit mulutnya. Ia membuka jahitan itu hanya untuk makan, minum, dan salat lalu menjahitnya kembali saat selesai. Ia ingin agar lidahnya tidak digunakan untuk hal-hal yang tidak penting bahkan membahayakan orang lain seperti yang kalian lakukan sekarang ini.” Di kata-kata terakhir Mang Ujang menatapku tajam.

Pak Aden menarik-narik lengan Mang Ujang. Mungkin ia meminta Mang Ujang untuk berhenti bicara. Mang Ujang paham. Ia memapah Pak Aden menuju rumah Mang Ujang.

Semua orang perlahan pergi setelah sebelumnya menatap dan mencaciku tajam. Aku lantas pulang.

Besok Idul Fitri. Ramadan telah usai dan berarti Pak Aden akan meninggalkan kampung ini. Di tengah keramaian pekik takbir malam ini aku mematut diri. Kudekatkan wajahku ke cermin besar di lemari. Beberapa helai benang melintangi bibirku. Beberapa masih basah karena darah. Mendadak keheningan menghinggapi duniaku dan desisan itu muncul dari dalam mulutku.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Keren cerpennya pak Fadillah. Top dah.

12 Jun
Balas

Terima kasih Pak :)

14 Jun



search

New Post