Menjalani profesi di daerah perkebunan memiliki sensasi tersendiri. Perjalanan 4 jam setiap hari pulang dan pergi seperti layaknya pergi piknik saja. Mungkin sudah terbiasa, sehingga semua terkendali dan berjalan lancar. Tak merasa sedih sebab bukan hanya sendiri.

Sering mendapat pertanyaan dari teman dan keluarga. Apakah tidak menginginkan pindah tugas?. Pertanyaan ini selalu dijawab dengan senyum. Siapa yang tak ingin tempat tugas hanya hitungan menit dari rumah. Ini adalah karunia dari Nya. Sejak SK Pengangkatan PNS diberikan sampai sekarang. Masih setia mengabdikan diri di daerah yang dikelilingi perkebunan sawit dan karet ini.

Keputusan tetap mengajar di sini sering kali dianggap bodoh dan sok idealis oleh beberapa orang. Tak perlu marah. Sebab mereka tak merasakan kebahagiaan dan kepuasan mengajar. Ada lagi yang mencoba menghitung-hitung jumlah gaji dan pengeluaran harian untuk transportasi dan lainnya. Menurut mereka tak cukup bahkan kurang. Tapi semua tak membuat hati bergeming. Penghasilan masih bisa ditabung dan biaya liburan. Ada keyakinan bahwa Allah yang mencukupkan semuanya.

Entah apa yang merasuki beberapa peluang untuk pindah diabaikan. Pemenuhan jam bagi guru yang sertifikasi menjadi salah satu alasan. Hal lain adalah tingginya rupiah yang harus dikeluarkan untuk proses perpindahan. Kaget jika mendengar teman-teman yang harus mengurus mutasi dengan jumlah rupiah yang dua bahkan ada yang tiga digit. Lebih baik rupiah sebanyak itu diputarkan bisnis. Celetuk hati mencari alasan untuk berdamai dengan keinginan. Hati tak nyaman jika harus melakukan praktek seperti itu.

Suatu saat seorang sahabat memberikan tawaran pengurusan pindah tanpa rupiah katanya. Yakin tak yakin kesempatan ini pun diabaikan. Terbayang harus meninggalkan “anak-anak kebon” yang haus motivasi dan inspirasi. Hati mulai didera kegalauan. Antara dekatnya tempat kerja yang ditempuh atau idealisme sebagai guru. Belum lagi guru mata pelajaran Sosiologi yang hanya diampu oleh satu guru. Sudah beberapa hampir lima tahun belakangan ini mengampu sendiri dari kelas X,XI dan XII.

Sulitnya mencari guru yang linier untuk MAPEL ini membuat peran single fighter harus dilakukan dengan full power. Walau sesekali merasa lelah dan jenuh. Akhirnya keputusan tetap bertahan bertugas di SMAN I Galang menjadi pilihan. Keluarga merupakan sumber kekuatan dalam menjalankan tugas. Tidak ada tuntutan yang kuat dari keluarga agar segera pindah. Semua pekerjaan domestik dilakukan bersama dan saling bantu. Berkumpul di malam hari dan hari libur menjadi quality time yang tak tergantikan.

Prinsipnya selalu bersyukur, menjalani dan menikmati semua proses ini. Mengajar adalah amanah yang harus dijalankan dengan sekuat tenaga dan sebaik mungkin. Walau terkadang ada kelalaian misalnya keterlambatan kehadiran. Bukanlah hal yang disengaja. Keterbatasan angkutan umum dan lalu lintas yang padat sering menjadi alasan keterlambatan. Saat orang lain baru bangkit dari peraduan kaki ini sudah berada di jalan menembus dingin pagi. Di sini rasa syukur itu hadir. Badan ini sudah bergerak sebelum mentari menebar cahayanya. Semoga cahaya mentari dapat menjadi energi yang menguatkan tulang punggung ini hingga dapat menjalankan amanah mendidik dengan baik. Keberkahan dan Ridho Nya menjadi cita.

#Tantangan Menulis gurusiana

#Hari ke-24