Fahriyah fahmawati

Man Jadda Wa Jadda...

Selengkapnya
Navigasi Web

Bidadari Surga

Allah sungguh Maha Tahu. Aku makhluk-Nya, yang kadang sok tahu. Hidup manusia seperti puzzle dari sekumpulan berhigga keadaan dan peralihannya. Seandainya masa depan itu terang benderang bagi indera dan nalar, maka aku bisa melukis takdir dengan aliran naturalis atau realis. Aku bisa memanjatkan doa agar takdir yang terlukis menjelma menjadi kenyataan yang dapat aku rasa. Sayangnya, kemampuanku jauh di bawah sana. Aku hanya bisa membuat lukisan abstrak tentang masa depan, sedikit realis untuk masa lalu. Terhadap lukisan takdir itu, aku bisa menginterpretasi sekehendak hati dan pikiran. Jika aku berfikir positif, maka interpretasi itu tentu membuahkan makna dalam kesadaran yang lebih utuh mengenai kehidupan dan kehadiran Tuhan.

Begitulah, aku kemudian menafsirkan tentang doa-doaku yang terkabul dan tidak terkabul. Pemaknaan itu datang setelah kehidupan mengajarkan aku pada banyak hal. Salah satunya tentang perasaan ini.

Namaku Raka Wibowo, usiaku saat ini 21 tahun dan ketika kalian membaca kisah ini semoga kalian bisa memahami apa yang aku rasakan dan tidak menyalahkan aku karena pengakuanku ini.

Aku mengenalnya ketika orientasi siswa baru, kali pertama aku menjadi salah satu dari 300 siswa baru di sekolah ini. Sebuah sekolah negeri di pelosok kabupaten. Kakak kelasku memanggil namanya Ibu Vanya, salah satu guru biologi di SMA ini. Kali pertama melihatnya ada kesan tidak ramah diwajahnya yang ternyata di kemudian hari aku harus mengakui bahwa aku telah salah memberikan penilaian.

Entah suatu keberuntungan atau bukan selama tiga tahun berturut-turut, pengajar untuk bidang studi biologi tidak pernah diganti. Selama tiga tahun berinteraksi dengan beliau, dan di tahun terakhir, ketika aku kelas xii, beliau menjadi wali kelasku. Kedekatanku dimulai ketika aku menjadi sekretaris dikelas itu.

“Besok kamu sibuk ga Raka?” Tanya Bu Vanya kepadaku.

“Ngga Bu, “jawabku. Hanya tiap selasa saja ada latihan di club olahraga, aku memberikan penjelasan lebih lanjut.

“Ok, besok sepulang sekolah Ibu minta tolong entry nilai raport teman-teman kamu ya,” Pinta Bu Vanya.

“Iya, siap Bu,” jawabku dengan semangat.

***

Keakraban itu dimulai, hampir satu bulan lamanya membantu pekerjaan beliau mengentry nilai raport teman-teman sekelas. Aku mulai banyak tahu tentang beliau, dan sejak saat itu aku tidak pernah menolak ketika beliau meminta bantuan bahkan aku merasa senang, meskipun waktuku jadi lebih panjang di sekolah.

Mungkin orang yang mendengar ceritaku akan mengatakan bahwa aku murid yang tidak tahu diri, tapi aku merasa bahwa beliaupun memiliki rasa yang sama seperti yang aku rasakan. Bahkan suatu hari karena aku tidak bisa memendam rasa ini sendiri, aku mencoba curhat ke sahabatku.

“Kayanya gue mulai suka dech sama Bu Vanya,” curhatku pada sahabatku tanpa basa-basi.

“Apa? Arif hampir berteriak ketika mendengar ucapanku. “Udah gila loe?” lanjutnya masih dengan nada yang cukup tinggi.

“Biasa aja ekspresi loe Rif,”Jawabku dengan santai.

“Gue juga udah mikir ratusan bahkan ribuan kali buat cerita ini ke loe,” dan gue harap loe bisa menjaga rahasia ini.

Biar bagaimanapun, beliau wali kelas kami, aku tidak ingin teman-temanku su’udzon ada skandal antara aku dan wali kelasku.

***

Bulan berganti dengan cepat meski tak secepat aku yang sampai detik ini tidak juga mampu menghapus jejak kebersamaan itu. Aku tidak mengerti karena tiba-tiba Bu Vanya seperti menghindar, tidak lagi meminta bantuan padahal aku tahu beliau sangat sibuk, selain mengajar beliau sedang kuliah di salah satu universitas di kota kami. Awalnya aku curiga sahabatku Arif bercerita tentang perasaanku ke Bu Vanya hingga beliau memilih menghindar dari aku. Dan lagi-lagi aku salah menduga…

***

Hari yang aku khawatirkan itu tiba. Kami semua berkumpul di salah satu hotel berbintang merayakan kelulusan dan sekaligus acara pelepasan siswa/siswi yang telah selesai menempuh ujian nasional. Hari itu begitu berbeda, Bu Vanya yang tidak pernah memakai make up selama mengajar, tampil dengan balutan kebaya modern dengan make up natural yang membuatnya semakin anggun. Ya Tuhan, apa yang aku pikirkan ini? Beliau guruku dan sepertinya aku sangat tidak pantas berharap seperti itu.

Acara ditutup dengan bersalaman kepada semua guru-guru dan karyawan tata usaha, hatiku mulai berdebar, jantungku berdetak melebihi batas normal, tapi ternyata seseorang yang membuatku salah tingkah tidak ada dibarisan itu dan aku mulai merasa kehilangan. Sambil tetap menyalami Bapak dan Ibu guru, mataku menerawang mencari sosok Bu Vanya. Hingga acara selesai aku tak menemukan beliau.

Sebelum pulang, karena waktu dzuhur hampir habis aku mampir ke musholla hotel untuk sholat. Keluar dari musholla aku melewati shaft perempuan dan ketika itu aku mendengar suara isak tangis. Sambil berjalan keluar aku memperhatikan ruangan itu dan seketika jantungku berdebar abnormal karena aku lihat disana seseorang yang sedang terisak itu adalah Bu Vanya. Kaki dan otakku mulai tidak sejalan, kakiku melangkah sementara otakku mengajak untuk berhenti, dan doaku terjawab, Bu Vanya selesai dan melangkah keluar dari musholla.

Aku yang masih terpana belum beranjak dari beranda musholla, hingga Bu Vanya menegurku.

“Kamu lagi apa disini Raka?” Tanya Bu Vanya.

“Eh, ngga Bu, baru selesai sholat,”jawabku spontan karena kaget tak menyangka Bu Vanya sudah ada dihadapanku.

“Pulang sama siapa?”Tanya Bu Vanya lagi.

“Sendiri Bu”jawabku.

“Mau pulang bareng?”Bu Vanya menawarkan.

“Ehm…nggak apa-apa Bu?”tanyaku ragu, takut merepotkan.

“Nggak apa-apa, rumah kita kan se arah,”jawab beliau kembali sambil tersenyum.

Hari itu, hari terakhir aku menyandang gelar siswa SMA dan hari terakhir pula aku memakai seragam abu-abu, aku mencoba memberanikan diri mengutarakan isi hatiku. Aku tidak peduli apa yang akan dikatakan dunia kepadaku, bahkan kalau harus di sumpah serapahi bahwa aku murid durhaka sekalipun aku akan terima. Bukan karena aku egois, aku ingin Bu Vanya tahu di dunia ini masih ada seseorang yang mencintainya dengan tulus meskipun aku masih dianggap anak-anak. Aku tahu kehidupan rumah tangga beliau, dan aku mencintainya bukan karena rasa kasihan, karena beliau sangat baik dan layak untuk mendapatkan cinta yang tulus .

Bu Vanya hanya tersenyum mendengar pengakuanku, beliau tidak marah dan mungkin beliau berpikir ini hanya cinta monyet dari seorang anak laki-laki yang baru menyelesaikan masa SMA-nya, bahkan ijazahpun belum didapatnya. Aku lega setelah mengakui semuanya meskipun hanya ditanggapi dengan senyum. Aku tetap bahagia dan senyum Bu Vanya ketika itu ku simpan rapih di amygdalaku sebagai kekuatan untuk mengejar cita-cita menjadi Tentara Nasional Indonesia.

***

Empat tahun kemudian…

Aku kembali lagi ke kota ini setelah menyelesaikan pendidikan, kota yang selalu membuatku rindu dengan satu nama yang tidak akan pernah terhapus di memori otakku, Bu Vanya.

Apa kabarnya ya sekarang? Aku hubungi sahabatku Arif, kami berbincang tentang banyak hal, termasuk salah satunya tentang Bu Vanya. Arif bercerita satu minggu yang lalu bertemu beliau di rumah sakit.

“Tubuhnya semakin kurus sekarang,’cerita Arif dimulai.

“Aku terhenyak.

Empat tahun yang lalu, sebelum prahara rumah tangganya terkuak beliau sudah cukup kekurangan berat badan, bahkan mungkin aku hapal ukuran baju yang dipakai beliau ketika itu.” aakkhh… Andai saja beliau juga memiliki perasaan yang sama denganku, aku ingin membahagiakannya dan menunjukkan padanya bahwa masih ada laki-laki setia di dunia ini.

***

Disinilah aku sekarang, berteman dengan kesunyian bersama dengan tanah merah yang masih basah sisa hujan semalam. Di sebuah pemakaman seseorang yang sangat aku hormati sekaligus aku cintai, seseorang yang aku impikan untuk menjadi pendamping hidupku kelak dan ternyata takdir berkata lain. Ganasnya virus AIDS yang memisahkan raga kami. Virus yang ditularkan melalui laki-laki yang berstatus sebagai suaminya. Laki-laki yang seharusnya melindunginya bukan menghadiahinya dengan sebuah penyakit yang mematikan.

Ya.. sekarang aku berada di sini. Di makam Bu Vanya bersama senja yang memerah, semerah luka dihatiku.

Tamara One, Maret 2018

Kerinduan yang abstrak

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post