Faidah Setyaningsih

Teruslah menulis meskipun tidak ada orang yang membacanya....

Selengkapnya
Navigasi Web
Asesmen dalam Kurikulum Merdeka, Bukan Sekedar Penilaian
Budi Hartono, M.Pd., narasumber dalam kegiatan Pendampingan IKM

Asesmen dalam Kurikulum Merdeka, Bukan Sekedar Penilaian

"Penilaian sering dimaknai sebagai pengukuran hasil belajar siswa di akhir yang berujung pada justifikasi bahwa seorang siswa cerdas, pandai, sedang, kurang, dsb," kata Budi Hartono, M.Pd., pada acara pendampingan Implementasi Kurikulum Merdeka tahap 3 di SMA Negeri 1 Kebumen, baru-baru ini.

Menurut Budi, pada kurikulum merdeka mulai dibiasakan istilah asesmen. Asesmen dapat dimaknai sebagai proses yang berkelanjutan untuk memastikan para siswa mencapai kinerja belajar yang terbaik. "Asesmen bukan untuk menjustifikasi siswa, melainkan untuk merekam kebutuhan agar dapat memberikan layanan pembelajaran atau tindak lanjut yang tepat," imbuh kepala SMA Negeri 1 Candiroto, Temanggung itu.

Lebih lanjut Budi menjelaskan bahwa asesmen dapat meliputi assessment as learning, assessment for learning dan assessment of learning. Asesmen as sebagai refleksi proses pembelajaran, asesmen for untuk perbaikan proses pembelajaran, dan asesmen of sebagai evaluasi di akhir proses pembelajaran.

Asesmen, terang Budi, dapat dilakukan secara tertulis maupun tidak tertulis. Bentuk yang tertulis meliputi refleksi, jurnal, esai, poster dan tes tertulis. Sedangkan bentuk yang tidak tertulis berupa diskusi kelas, produk, drama, presentasi dan tes lisan. "Refleksi menjadikan siswa mau belajar dan mengetahui kekurangan diri sehingga menjadikannya pembelajar sepanjang hayat," tutur alumni S2 pada Pendidikan Fisika UNNES itu.

Budi menambahkan, salah satu asesmen yang perlu dilakukan sebelum pembelajaran yaitu asesmen diagnostik. Asesmen ini bertujuan untuk mengetahui kondisi awal siswa. Asesmen diagnostik terbagi menjadi asesmen kognitif maupun non kognitif. Asesmen kognitif berupa level capaian belajar sebelumnya. Sedangkan asesmen non kognitif berupa gaya belajar, kondisi kesehatan, kebahagiaan psikologis, dan dukungan belajar seperti keluarga dan lingkungan pergaulan. "Tugas guru adalah mengenali karakteristik dan kebutuhan belajar siswa sehingga dapat mengembangkan potensinya," ujarnya.

Setelah mengetahui karakteristik siswa yang beragam, lanjut Budi, guru dituntut untuk dapat menciptakan pembelajaran berdiferensiasi di dalam kelas. Pembelajaran berdiferensiasi merupakan pembelajaran yang mengakomodir, melayani, dan mengakui keberagaman siswa dalam belajar sesuai dengan kesiapan, minat dan preferensi belajar siswa. "Mengukur perkembangan dan pertumbuhan siswa dilihat dari kondisi sebelumnya pada siswa tersebut, bukan dibandingkan dengan siswa yang lain," pungkas pria yang beberapa kali menjadi delegasi Indonesia dalam forum internasional di bidang pendidikan itu.

(FS)

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Mantap ulasanmya

11 Sep
Balas



search

New Post