Merumput di Tempat Angker
Judul asli: Ngarit ning Panggon Wingit
(Bagian 1 )
Oleh: Faidah Setyaningsih
Parno duduk termenung di bangku depan rumahnya. Pikirannya berkelana tak tentu arah. Sejak seminggu lalu laki-laki beranak satu itu di-PHK dari tempat kerjanya.
Kopi yang tinggal setengahnya diteguk penuh penghayatan. Kopi tanpa gula. Pahitnya tak sepahit hidupnya.
Matahari mulai meninggi saat Parno mengambil sabit dan karung dari kandang kayu di samping rumah. Merumput menjadi rutinitas baru setelah tidak bekerja di pabrik kompor minyak. Bukan untuk mengisi waktu luang. Tapi, sebagai pemasukan untuk menghidupi istri dan anaknya. Rumput yang diperolehnya sepanjang pagi hingga menjelang siang akan diantar ke rumah Kang Hamid. Juragan kaya yang memiliki peternakan sapi dan kambing di desanya.
Kakinya melangkah menuju lapangan belakang SD. Di sana biasanya Parno dan beberapa teman seprofesi menjalani aktivitasnya. Menyabit rumput untuk dijual sebagai pakan ternak.
Rusdi sudah lebih dulu di sana. Kantongnya sudah berisi rumput setengahnya. Laki-laki tetangga Parno itu sudah berangkat sejak matahari belum muncul. Wajahnya yang mengkilap terpapar mentari itu tersenyum pada Parno. Tanpa berucap sepatah kata pun, lelaki itu terus menyabiti rumput dengan kecepatan tinggi. Sesekali sabitnya digosokkan pada wungkal yang ada di sakunya.
Parno segera jongkok beberapa meter dari lelaki itu. Sedikit demi sedikit laki-laki itu mengisi kantong yang dibawanya dengan rumput hasil sabitnya. Kemampuan menyabitnya memang tidak setara dengan laki-laki di dekatnya itu yang sudah bertahun-tahun menekuni usaha ternak kecil-kecilan dari kambing bantuan Pak Camat. Hingga Rusdi berpamitan pada Parno, kantong Parno baru berisi sedikit. Tidak ada seperempatnya.
Parno mencoba pindah lokasi di lapangan sebelah selatan. Rumput di sana pun sudah menipis. Setiap hari Parno dan beberapa tetangga sudah mengambilnya. Pertumbuhan rumput memang lebih lambat dibanding kecepatan orang-orang mengambilnya.
Parno mengangkat kantong rumputnya. Menimbang beratnya. Masih belum seberapa. Matanya menyapu lapangan yang sudah tidak menghijau lagi. Berharap menemukan seonggok rumput yang bisa memenuhi kantongnya. Sia-sia saja, tinggal batang rumput bekas potongan yang nampak kecoklatan.
Parno memutuskan untuk berpindah ke samping makam. Rumput di sana tebal. Jarang orang mau mengambil rumput di tempat itu. Lebih tepatnya tidak berani. Tapi kali ini, kebutuhannya untuk menghidupi keluarganya mengalahkan rasa takut. Sebentar saja Parno sudah dapat mengisi kantong setengahnya.
Sambil menyabiti rumput, pikirannya subuk memikirkan hidupnya. Tadi malam istrinya mengeluh beras sudah habis. Biaya sekolah anaknya pun belum dicicil. Hasil dari menyabit rumput setiap hari ternyata belum cukup untuk hidup selayaknya. Istrinya itu meminta izin untuk bekerja sekedar membantu perekonomian keluarga. Parno melarang dengan tegas. Jiwa kelelakiannya justru tersinggung dengan usulan istrinya. "Apa kau kira aku sudah tidak bisa menghidupi kalian?" katanya malam itu. Istrinya hanya diam. Sejak menikah dengan laki-laki yang dikenalnya saat nyantri di pondok kyai Lutfi, dia cukup mengurusi rumah dan anak. Urusan nafkah sudah menjadi tanggung jawab suaminya. Meskipun tidak seberapa laki-laki sholeh yang menjadi belahan jiwanya itu selalu memberikan uang belanja dan nafkah semampunya.
"Kenapa Kang, wajahmu kok kelihatan sedih begitu." sebuah suara tiba-tiba mengagetkan lamunan Parno.
Wajah Parno mendongak mencoba mengingat-ingat sosok yang berdiri di dekatnya. Seorang laki-laki dengan usia sedikit di atasnya. Parno merasa belum pernah bertemu dengan laki-laki asing itu sebelumnya.
"Ikut kerja denganku mau tidak? Dijamin hidup enak." lanjut laki-laki itu seperti tahu saja kegalauan Parno karena setelah di-PHK belum mendapatkan pekerjaan yang cukup untuk menghidupi keluarga.
"Ayo, ikut!" ajaknya.
Mata Parno menatap kosong ke arah laki-laki yang menawarinya hidup enak itu. Tanpa berkata sedikit pun
Parno mengikuti jejak kaki laki-laki itu. Rumput dan semak diterobosnya tanpa peduli duri-duri tajam mengenai kulitnya. Sabit dan kantong rumputnya tergeletak begitu saja. Menjadi saksi bisu kepergian Parno.
Matahari semakin terik. Orang-orang di sawah sudah kembali ke rumah untuk istirahat sejenak sembari menjalankan ibadah shalat Dzuhur. Mereka akan kembali bekerja setelah menghabiskan sebatang cerutu dan menikmati sensasi asapnya.
(Bersambung)
Tantangan Hari ke-49
#TantanganGurusiana
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Wah penasarannya...ditunggu ya bu
Terimakasih ibu Karyani..
Ditunggu kelanjutannya
Siap Bu Nopi, terima kasih..