Bapak Yang Kuat ya, Kakak Sedang Berusaha
Bapak Yang Kuat ya, Kakak Sedang Berusaha
“Bapak yang sabar ya, kita pasti dapat darah yang cukup buat Bapak. Rezi juga sudah keluar cari darah sama Adek, Bapak yang kuat ya.” Mata Rani makin sembab menahan air mata yang jatuh saat bicara dengan Bapak walau Bapak tak lagi menyahut apa yang diucap Rani, hanya terkulai lemah dengan selang-selang yang ditempel ditubuhnya. Bapak butuh darah yang cukup banyak, sedang persediaan darah di rumah sakit ini sudah tidak ada lagi, Rezi yang sedari tadi keluar bersama Adek pun tidak kunjung mendapat darah walau hanya sekantong. Rani memaksa untuk kembali donor, padahal dia sudah donor darah sebelumnya dan ditambah dia haid saat ini, walau dia memaksa dengan sedikit berteriak kepada petugas rumah sakit. Namun tetap saja sama, mereka tidak mau mengambil resiko. Hanya bisa bersandar ke dinding sambil duduk dengan kepala tertunduk. “Apalagi yang bisa aku dilakukan? Apa? Kenapa semua menjadi buntu begini? Dari mana aku harus dapat darah untuk Bapak? Ya Allah, jawab aku! Kemana aku harus cari darah? Aku rela semua darahku diambil asal jangan Bapak yang pergi, tapi lagi-lagi mereka tidak paham, mereka tak peduli apa yang aku rasa, kenapa mereka harus memikirkan aku? Jawab aku! Apa yang mesti aku lakukan lagi saat ini? Aku tak ingin Bapak kenapa-kenapa, Ya Allah, bukankah Kau Maha Segalanya? Coba tunjukkan padaku! Balikkan keadaannya, biar aku yang di kasur itu, bukan Bapak! Ayolah…..!!! Ganti posisiku dengan Bapak, aku tak ingin Bapak pergi, aku masih ingin bersama Bapak, Kau sudah membawa Ibu, untuk saat ini aku masih sangat butuh Bapak, jangan sekarang,tolong… Jangan sekarang ambil Bapak, aku belum kuat, sayapku sudah tinggal sebelah, jangan Kau ambil keduanya. Untuk kali ini, aku pinta dengan sangat.” Rani hanya bisa menangis, meminta hal yang tidak masuk akal sembari menantang, dan keadaan masih tetap sama.
Azan dzuhur berkumandang di mushola rumah sakit, bukan masuk waktu sholat yang teringat oleh Rani, tapi sebuah pesan yang membawa kekhawatiran yang sangat, kata dokter azan ashar adalah batas dimana darah sudah terkumpul, sedang saat ini satu kantongpun belum ada. Kembali menelpon Rezi dan Adek, semua seakan sia-sia, tak ada darah, semua seakan lenyap. Tak ada pendonor, tak ada darah yang tersimpan walau itu di markas darahnya PMI. Menangis adalah salah satu cara yang tersisa untuk meluapkan semua perasaan, “aku takut, aku takut Bapak kenapa-napa. Ya Allah, apa Kau tak mendengar pintaku? Tolong bantu aku kali ini, aku belum kuat untuk kehilangan Bapak, bekas luka lama saja belum sembuh, dan sekarang Bapak yang seperti ini. Ya Allah, Kau ingin apa agar Bapak bisa kembali sehat? Tolong jawab aku…!” Dunia benar-benar gelap, tak ada satu titik cahayapun saat ini, apa yang bisa dilakukan saat ini? Tak ada yang berani menegur Rani, orang-orang hanya menatap dari jauh, seakan paham kenapa dia seperti ini. Semuanya kusut, tak jelas, seperti hari ini, gelap.
Tiba-tiba hp Rani berbunyi, dia lansung mengangkat berharap ada kabar baik. “Kaakk, maaf, kami belum dapat apapun sampai siang ini, kak sabar dulu ya, kami lagi coba pergi ke tempat lain, semoga ada di sana .” Sayup-sayup terdengar suara Adek diatas motor diseberang sana dengan nada rendah. “Iyaa, kalian berdua hati-hati naik motor, berhentilah dulu untuk sholat, sudah azan juga.” Rani mencoba menjawab dengan nada tegar, agar adik-adiknya tidak begitu khawatir diujung sana, hanya ditutup salam dan telponpun terputus.
Rani mencoba tegar, beranjak dari tempat duduknya menuju mushola kecil di pojok ruangan, berjalan perlahan seperti tanpa tenaga, semua tentang Bapak berkelut dalam pikirannya. Selesai salam terakhir, rasa kantuk luar biasa menyerang Rani, mengangkat tangan untuk berdoapun sudah tidak kuat, dia hanya rebah kesebelah kiri, mencari sudut yang tidak akan membuat orang lain terganggu.
Selang beberapa saat Rani kembali terbangun, dia lansung bergegas menemui Bapak di ruangannya. Wajahnya kembali pucat melihat rekasi Bapak. Dia berteriak memanggil siapa saja yang bisa membantu. Saat dokter datang dia hanya memberi muka datar, dengan raut putus asa sambil berbisik “tolong talkinkan Bapak.” Mendengar itu pecahlah tangisan Rani, tubuhnya tak kuat menahan berat badannya, namun terus dipaksa untuk Bapak sembari mendekat ke telinga Bapak. “Pak, ayo ucap Laa ilahaillallah…” sembari menangis dan dengan nada yang serak Rani terus mengucap kalimat yang sama, sampai pada akhirnya semua selesai. Tak ada lagi denyut nadi Bapak, tak ada lagi helaan napas Bapak, tak ada lagi Bapak. Semua selesai. Bapak sudah pergi menyusul Ibu.
Rani hanya bisa duduk dengan tubuh yang lemah di samping kasur Bapak dengan sisa-sisa air mata. Semua orang diam, tak ada yang berani bicara, meninggalkan Rani dan Bapak untuk sementara. Sudah pukul 3 sore, dia kembali teringat adik-adiknya. Sembari merogoh sakunya, dia mencari kontak adiknya dan segera menghubunginya.
“Zi, kamu dimana? Baliklah lagi ke rumah sakit, semua sudah aman, kamu lansung pulang sama Adek.” Namun diseberang sana Rezi seperti merasa ada yang aneh dari kalimat “aman” kakaknya. “Sudah dapat darahnya kak? Amankan semua? Ini Rezi sama adek lagi coba hubungi teman-teman, mereka sudah nyebar juga untuk cari bantuan, katanya udah dapat 5 kantong, nanti segera aku bawa ke rumah sakit.” Jawab Rezi sedikit terengah-engah. “Bilang sama temanmu, makasi banyak ya udah bantuin, sekarang kamunya segeralah kesini, soal darah bukan masalah sekarang, semua sudah aman, kamunya segera kesini.” Nada suara Rani sudah mulai berubah membuat Rezi semakin panik tidak jelas. “Kakak baik-baik sajakan? Tidak ada apa-apakan? Bapak gak kenapa-napakan? Ini rezi udah dapat 5 kantong loh kak, tinggal 5 lagi, Insyaallah dapat menjelang ashar nanti.” Dengan nada sedikit keras Rani kembali bilang “Iya, Bapak sudah baik-baik saja, kamunya segera ke sini, Bapak sudah tidak butuh darah lagi dan jangan banyak tanya, segeralah ke sini.” “Kaaak, Bapak baik-baik sajakan? Jawab yang jelas kak, jangan begini.” Tiba-tiba Rezi mulai menangis tanpa sadar. “Iyaa, Bapak sudah tidak sakit lagi, Bapak sudah tidak butuh darah lagi, Bapak sudah pergi…” dan suara terputus, yang tinggal hanya keheningan.
Dan pada akhirnya, Bapak kembali bertemu Ibu, perempuan yang sangat dicintainya sedari dulu, aku tak benci ini, aku hanya belum siap. Belum siap untuk kembali mendapat luka yang sama.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Sungguh menyayat hati ..