fajri alifia

Pendidik yang masih belajar dan berproses untuk kebaikan bersama. Masih mencari yang terbaik untuk perubahan besar di masa yang akan datang....

Selengkapnya
Navigasi Web

Aku, Buku, dan Cerita

#Tantangan menulis gurusiana hari ke-4

Aku ingin sedikit berkisah mengenai perkenalanku dengan buku. Sudah sejak lama aku mengenal baik buku dan ketika itu pula aku mulai mengubah pola hidupku. Buku di awal kehadirannya hanya menarik perhatianku dari sampulnya. Aku senang melihat gambar yang begitu bervariasi. Apalagi bila ilustrasi dan tulisan judul bukunya begitu berbeda dari yang lain. Meskipun saat ini buku elektronik juga mulai menggeser antusias pembaca buku, tapi bagiku lebih bermakna membuka halaman demi halaman dengan tanganku sendiri.

Kuingat, buku yang pertama kali menarik perhatianku adalah berbentuk novel. Kisahnya bernuansa islami serta khas cerita anak perempuan. Buku itu adalah pemberian ayahku ketika aku masih duduk di bangku kelas 5 Sekolah Dasar. Kuakui, perkenalanku dengan buku begitu telat dan aku baru menyenangi membaca rangkaian cerita saat usiaku 10 tahun. Buku itu tidak terlalu tebal yaitu kurang lebih 200 halaman.

Pipiet Senja menjadi deretan penulis paling atas dalam catatan kisahku. Tulisannya begitu khas dengan pembawaan alur cerita yang begitu menegangkan untuk anak seusiaku. Kuingat judul bukunya adalah “Biarkan Jilbabku Bersemi Indah”. Novel itu sekilas menceritakan perjuangan seorang muslimah untuk bisa mengenakan jilbab dengan tenang pada waktu itu. Jujur, aku yang saat itu sedang belajar mengenakan kerudung semakin salut dan haru membaca kisah perjuangan para muslimah terdahulu. Mereka bahkan tidak gentar menunjukkan identitas diri sebagai seorang muslim meskipun banyak tentangan dari berbagai piihak.

Bolehlah kuceritakan sedikit tentang buku yang pertama kali menarik minat bacaku. Buku ini pun adalah buku yang berhasil kubaca sampai halaman paling belakang. Di awal buku ini menghadirkan kisah seorang muslimah tomboy yang jail sekali kepada teman-temannya. Setiap hari di sekolah, selalu ada korban yang berhasil menjadi target kejailannya. Suatu ketika ia sedang berencana mengusili temannya. Namun, sayang usahanya saat itu gagal total.

Saat itulah ia mendapat momentum di mana ada seorang kawan baik yang kebetulan juga guru mengaji bercerita tentang perjuangan muslimah terdahulu. Ceritanya berdasarkan pengalaman yang dirasakan langsung oleh guru ngajinya. Ia bercerita kepada gadis tomboy itu agar dapat lebih bersikap baik sehingga dapat memberikan citra diri muslimah yang santun.

Ketika guru ngajinya duduk di bangku SMA, ia ingat sekali betapa keras ia menentang guru yang memusuhi dirinya hanya karena berkerudung di kelas. Ia juga ingat, bahwa dirinya sering mendapat perkataan kasar serta tidak layak karena masih bersikeras untuk mengenakan kerudung di sekolah. Bahkan guru agama pada waktu itu ikut memusuhinya karena dianggap melanggar peraturan sekolah. Meski begitu, bu ustazah tetap teguh memegang keyakinan sebagai seorang muslimah untuk menutup aurat sesuai dengan firman Allah dalam Al-Quran.

Ia juga bercerita tentang salah seorang temannya yang harus memiliki dua kepribadian. Ketika berada di rumah, ia melepas kerudungnya. Menggunakan pakaian yang seperti biasa pada wanita remaja. Ia tahu orang tuanya begitu kejam apalagi latar belakang prajurit yang mewajibkan diri patuh pada peraturan negara. Pada saat itu, kerudung masih belum boleh digunakan secara bebas sehingga sulit untuk mengenakannya dengan tenang. Ia tidak ingin bertengkar dengan orang tuanya sehingga ia memilih diam-diam untuk memakai kerudung. Di luar, dirinya harus memastikan kondisi benar-benar aman untuk bisa memakai kerudung.

Singkat cerita, perjuangan bu Ustazah dan teman-temannya diapresiasi oleh beberapa pihak. Anggapan bahwa kerudung itu dapat mematikan prestasi pelajar dibantah telak dengan prestasi bu Ustazah dan teman-temannya. Berkat keteguhan dan keyakinan hati menegakkan perintah Allah, pada akhirnya setiap wanita muslimah diperbolehkan mengenakan kerudung dan pakaian panjang ke sekolah. Perjuangan itu pun dapat kita nikmati hingga saat ini. Masya Allah.

Cerita itu sampai sekarang masih terngiang dalam benakku. Tak puas aku langsung melakukan konfirmasi cerita kepada ibuku. Ternyata memang benar, pada zaman dahulu, kerudung sempat dilarang penggunaannya. Banyak anggapan negatif pada wanita yang mengenakan jilbab. Protes keras dilayangkan oleh beberapa kalangan yang memandang jilbab adalah atribut keagamaan. Lebih parahnya penggunaan kerudung atau jilbab ini dianggap sebagai Islam Radikal.

Padahal bu Ustazah dan teman-temannya mengenakan kerudung sebagai bentuk ketaatan semata pada Allah. Hal ini juga tidak berbeda dengan penganut agama yang lain yang berusaha taat pada tuhannya. Apakah keyakinan itu dapat disalahkan? Tentunya tidak, karena hal ini telah diatur dalam UUD bahwa tiap-tiap warga negara berhak menjalankan kewajiban beragama. Atas dasar itulah bu Ustazah dan teman-temannya tetap maju dan memperjuangkan hak mereka sebagai seorang muslimah.

Aku sekali lagi berdecak kagum pada kisah yang dituliskan Pipiet Senja. Baru aku menyadari bahwa kerudung yang aku pakai saat ini tidaklah mudah. Banyak air mata, korban perasaan, dan juga perang batin yang harus dijalani. Aku juga tidak menyangka sebegitu pelik orang-orang memperjuangkan hak beragamanya. Makanya, saat ini aku merasa bersyukur bisa mengenakan kerudung dengan tenang tanpa harus takut dicaci, dimaki, ataupun dizalimi.

Itulah sekilas kisah perkenalanku dengan buku novel pertamaku. Pipiet Senja sampai kapanpun akan menjadi model bagiku membawakan cerita. Berusaha mengangkat isu agama tetapi diawali cerita anak remaja. Konflik yang dituliskan juga tampak nyata sehingga membuat pembaca merasa penasaran untuk melanjutkan cerita hingga halaman terakhir.

Perkenalanku dengan buku dilanjutkan oleh kehadiran sosok Andrea Hirata. Film “Laskar Pelang” yang sempat menjadi topik pembicaraan membawaku pada pengembaraan aksara berikutnya. Aku menikmati kata demi kata yang disajikan Andrea. Satu lagi, khas dari Andrea Hirata adalah pembawaan karakter Melayu dalam cerita sehingga lebih mudah dinikmati. Pembaca pun lebih mudah terbawa alur cerita dan juga tidak mudah bosan. Sesekali Andrea Hirata memanjakan pembaca untuk ikut membayangkan latar tempat yang dikisahkan dengan begitu rinci.

“Aih….Amboi…” adalah dua kata yang selalu kuingat dan muncul dalam tulisannya. Kisah percintaannya dengan Aling, yang hingga kini tak dapat disatukan, menjadi garis utama di setiap novelnya. Ajaib, baru kali ini sosok penulis Andrea Hirata yang sanggup mendorongku untuk membaca karya tetralogi Laskar Pelagi dan juga karya Dwilogi “Cinta di Dalam Gelas”. Begitu tenggelam dalam ceritanya, aku rela begadang agar bisa segera menuntaskan cerita yang ditulisnya. Novel yang paling kusenangi adalah “Edensor” karena dari novel itu aku bisa sedikit membayangkan bagaimana suasana di luar negeri khususnya negeri Prancis, Jerman, dan beberapa negara yang sempat disinggahi Andrea ketika menempuh S2 di Universitas Sorbonne. Luar biasa.

Kalau ada satu keinginan yang ingin kuwujudkan adalah bertemu dengan sosok Andrea Hirata sekaligus berbincang-bincang langsung mengenai karyanya. Semoga.

Kuakui setelah menyicipi karya ciamik dari Andrea Hirata, aku mulai memberanikan diri membaca novel Sastra Klasik. Semacam novel Siti Nurbaya, Layar Terkembang dan novel angkatan balai pustaka lainnya. Sampai saat ini ada dua novel yang begitu berbekas dalam ingatan yaitu novel yang berjudul “Sabai Nan Aluih” dan “Azab dan Sengsara”. Aku juga mencoba novel yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer. Novel pertama yang kubaca berjudul “Bumi Manusia” mampu mengantarkan pemahamanku akan budaya orang pribumi zaman dahulu yang terpelajar.

Sosok Mingke yang diangkat dalam cerita mampu membuka wawasanku mengenai pribumi yang cerdas di masa kolonial. Ada juga sosok Nyai Ontosoroh, pribumi yang menjadi sesimpanan orang Belanda, hingga mampu mandiri menghidupi keluarganya. Aku jadi mengerti bahwa sejarah Indonesia memang masih banyak yang harus dipelajari. Setidaknya kita bisa paham bagaimana orang-orang terdahulu menghadapi masalah negara serta bagaimana akibat yang ditimbulkan.

Pengembaraanku dengan buku akan terus berlanjut. Apalagi dengan profesi guru bahasa yang melekat pada diriku membuatku harus sigap membaca. Meski semakin hari aku merasa membaca bukan lagi untuk menghibur dengan hiruk pikuk cerita fiksi. Membaca saat ini lebih pada taraf kebutuhan. Kebutuhan untuk bisa jadi guru yang baik, menjadi anak yang berbakti, menjadi muslimah yang baik, serta menjadi bagian anggota masyarakat yang bisa bermanfaat. Semua ditempuh agar bisa lebih siap menghadapi permasalahan dan langkah yang diambil pun dapat lebih tepat dan terarah.

Semoga.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Wow keren sekali tulisannya bunda. Sukses selalu.

07 Mar
Balas



search

New Post