BERKACA PADA SANG SENJA (TANTANGAN HARI KE-3)
Sejak awal bulan ini, kebiasaan bersepedaku terus kulakukan hampir setiap harinya. Mulai pukul 06.00, sepeda kukayuh melewati jalan-jalan kompleks di sekitar rumah. Begitu asiknya bersepeda sembari membakar kalori yang sudah kuagendakan dari sebelumnya. Hati senang, badan rileks, dan badan sehat menjadi poin plus yang didapat ketika bersepeda.
Hari Sabtu kemarin aku tidak sengaja melewati suatu jalan. Cukup menanjak dengan belokan yang cukup tajam sehingga membutuhkan tenaga yang ekstra untuk dikeluarkan. Biasanya jalan ini tidak begitu ramai, hanya dijejali oleh satu hingga tiga orang pengendara. Namun, pada waktu itu tampak antrian mobil, motor, juga pengendara yang lain. Begitu aneh kupikir.
Perlahan kukayuh dengan sekuat tenaga hingga kulihat sosok yang tidak begitu asing mendorong dengan tubuh rentanya. Ia tidak mengeluh tetapi guratan wajah lelahnya begitu terlihat ketika harus membuat gerobaknya tetap melaju di jalan menanjak tersebut. Pelan tapi pasti langkahnya masih terlihat bugar meski usia tak semuda dulu. Untungnya pengguna jalan lain mengerti dengan tidak membunyikan klakson kendaraannya secara sembarang.
Hatiku meringis melihat sosok tua renta itu. Tanpa banyak pikir segera kumeminta beliau untuk meminggirkan gerobak dagangannya. Dengan agak terkejut ia menoleh kemudian segera mencari tempat yang lebih aman. Masih dengan pandangan yang tidak tega, aku memerhatikan beliau tahap demi tahap ketika memasak martabak pesananku.
Tangan yang bergurat dengan keadaan sedikit menyiratkan bahwa hidup itu memang keras. Beliau paham usianya sudah tidak lagi produktif tapi perut tidak bisa menunggu terlalu lama. Aku mencoba berbincang-bincang dengan kakek itu. Walau beberapa kali pembicaraanku tidak tergubris, aku sekali lagi mencoba sabar dan belajar mengerti.
Beliau dengan suara lirihnya bercerita bahwa istrinya lumpuh sudah sejak lama. Aku kembali meringis. Beliau melanjutkan bahwa dirinya biasa berjualan dari pagi hingga dagangannya habis. Jarak yang beliau tempuh juga tidak bisa dibilang dekat untuk seusia dirinya. Rasa ibaku mulai muncul meski saat itu aku hanya bisa membeli martabaknya. Aku hanya bisa berdoa semoga orang-orang yang di jalan juga berkenan membeli dagangannya. Uang 8.000 rupiah begitu berarti bagi beliau, istri, dan cucu yang harus ia tanggung kebutuhannya.
Seketika hatiku seperti dihentakkan dengan sesuatu yang begitu tersirat. Aku yang masih muda menyadari terlalu membiarkan waktu berlalu tanpa faedah. Aku belum memerhatikan bagaimana setiap detik, menit, jam, hingga hari dihabiskan dalam aktivitas yang mendatangkan manfaat. Paling tidak dapat kujadikan bekal untuk pulang ke akhirat nanti.
Tidak bisa dibayangkan bila seseorang yang semestinya beristirahat di usia rentanya, terpaksa berjibaku mencari rezeki di jalan demi keluarga. Teriknya matahari, jauhnya jarak, lelahnya raga menjadi makanan sehari-hari yang harus dicerna agar senyum keluarga masih bisa terlihat. Semua tampak seperti nasi yang terlanjur menjadi bubur. Tidak ada pilihan lain selain menjalankan yang sudah ada dan berharap keajaiban dilimpahkan oleh Sang Khalik.
Begitulah. Aku selalu berdoa agar dagangan kakek itu selalu laris cepat sehingga ia bisa segera pulang ke rumah. Aku juga selalu berdoa semoga para orang tua renta lainnya yang masih berjuang di jalan diberi kemudahan mencari rezeki.
Amin ya rabbal alamin.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar