GURU IDAMAN KAUM MILENIAL
“Guru Idaman” menjadi sosok yang begitu berbeda di hati para murid. Guru Idaman selalu dinanti kehadirannya bahkan selalu ditanyakan ketika tidak terlihat pada jam mengajar. Ia juga sanggup membuat siswa betah berlama-lama belajar walaupun waktu belajar telah habis. Selain itu, guru idaman juga tidak luput didoakan agar selalu sehat dan dipertahankan selalu untuk mengajar di kelas yang sama. Celotehan siswa untuk terus bisa belajar bersama gurunya menandakan bahwa guru tersebut telah mendapat porsi idaman dalam sanubari siswa. Kegiatan belajar juga bisa terasa sederhana tanpa adanya tuntutan dan tekanan.
Dalam rentang waktu generasi terdahulu hingga saat ini tentunya menghadirkan konsep “Guru Idaman” yang berbeda-beda. Pada zaman dahulu, guru idaman biasanya dikenal tegas, berprinsip, dan mengajarkan banyak hikmah dalam pembelajaran di kelas. Masih jelas dalam ingatan bahwa guru di zaman dahulu masih diperbolehkan menghukum siswanya dengan caranya sendiri agar siswa tersebut mengerti dan memahami pelajaran. Peristiwa ini pun menimbulkan banyak cerita ketika reuni sekolah perihal model tugas yang diberikan guru, teguran hingga sanksi yang diperoleh, hingga bentuk penghargaan yang didapat.
Namun, pada zaman ini konsep tersebut bergeser mengikuti perkembangan zaman. Tidak dipungkiri kecanggihan teknologi turut membuat makna “idaman” menyesuaikan dengan kebutuhan anak milenial saat ini. Ketergantungan siswa pada gawai membuatnya harus berusaha lebih keras untuk bisa fokus dalam belajar. Kegiatan belajar yang cenderung membosankan dan membebankan dianggap bukanlah hal yang prioritas bagi siswa. Hal inilah yang membuat guru mesti bergerak cepat mengikuti perkembangan zaman.
Kegiatan siswa yang begitu beragam di dunia maya semisal aktif di media sosial ataupun memainkan permainan daring secara bersama-sama (Mabar) menjadi hal yang tidak dapat dihindarkan. Tidak jarang mereka dengan mudah melakukannya di sela-sela waktu belajar. Secara tidak langsung, perhatian mereka sudah teralihkan begitu cepat dari proses kegiatan belajar mengajar. Alhasil pembelajaran terkesan satu arah tanpa menyisakan pengalaman berharga bagi siswa maupun guru.
Dalam prosesnya, setiap guru memiliki kesepakatan belajar yang bervariasi dengan siswa. Ada yang menetapkan beberapa tanggungan tugas untuk setiap topik pembelajaran. Ada juga kesepakatan untuk toleransi keterlambatan siswa hadir di kelas. Selain itu, kesepakatan mengenai sanksi tidak mengerjakan atau mengumpulkan tugas juga menjadi elemen penting dalam pembelajaran. Terakhir, mengikuti gaya siswa milenial saat ini, ada juga kesepakatan mengenai waktu kosong dalam sesi belajar. Waktu kosong ini dimanfaatkan siswa untuk bermain game online ataupun melakukan aktivitas apapun di media sosial mereka.
Pada dasarnya, kesepakatan belajar yang paling terakhir dianggap paling mengerti dan disetujui siswa. Waktu belajar yang singkat lebih disukai siswa ketimbang waktu belajar yang mengikuti aturan kurikulum. Apalagi ketika siswa tidak diberikan tugas ataupun “PR” dalam sesi pembelajaran, makadianggap sebagai pelajaran favorit di kelas. Lantas, apakah terjadi sebuah kejangggalan dalam idealnya sebuah proses pembelajaran.
Kesepakatan yang paling terakhir membuat sosok pengajar tersebut mendapat predikat terbaik di hati para siswa. Tidak ada tugas yang banyak, catatan sedikit, materi mudah dipahami, dan diperbolehkan bermain hp menjadi momen yang paling disenangi oleh para siswa saat ini. Alhasil fenomena ini menimbulkan pro kontra baru dalam stigma pendidikan bahwa guru idaman adalah guru yang paling mengerti siswa.
Konsep ini bisa menjurus pada kebiasaan melenakan siswa dengan aktivitas yang tidak menstimulus pada hal-hal yang positif. Ada kalanya hal itu baik sekiranya sesuai dengan porsinya. Akan tetapi, jika hal tersebut dibiarkan, siswa akan kehilangan daya juangnya dalam belajar terlebih dalam memperjuangkan cita-citanya. Siswa lebih mudah menyerah jika dihadapkan pada persoalan yang sulit sehingga lebih memilih melarikan diri tanpa menemukan solusi. Lebih jauh, siswa bisa jadi mengalami kesulitan dalam menentukan persoalan prioritas dan efisiensi waktu. Semua hal tersebut bisa dimungkinkan terjadi sebab siswa kurang dilatih berdisiplin untuk menyelesaikan tugas penuh tanggung jawab dan penuh kesadaran.
Dengan demikian, konsep "Guru Idaman" menimbulkan dilema bagi setiap guru karena jika siswa dididik terlalu keras maka akan menyisakan luka. Jika peraturan dibuat begitu mengekang siswa, maka akan sangat mungkin sisi kesehatan mental siswa terganggu. Sebaliknya, jika siswa terlalu diberi kebebasan tanpa adanya tanggung jawab penuh kesadaran, siswa akan bersikap tanpa sesuai aturan. Siswa akan lebih berkeras hati mengikuti keinginannya tanpa mau mendengar nasihat-nasihat dari orang lain. Efek negatif yang bisa terjadi bagi siswa adalah tiada upaya untuk menghargai setiap proses belajar yang dimiliki. Pada akhirnya, konsep "Idaman" dikembalikan pada setiap individu guru untuk memberi kebermanfaatan lebih dalam proses pembellajaran.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Cocok, ulasan yang sangat-sangat mengena, makjleb... katanya.
Terima kasih Pak Ma'arif. Salam literasi pak.