fajri alifia

Pendidik yang masih belajar dan berproses untuk kebaikan bersama. Masih mencari yang terbaik untuk perubahan besar di masa yang akan datang....

Selengkapnya
Navigasi Web

Menanti Senja (Tantangan Menulis Hari ke-10)

Sore itu, dirinya nampak nyaman terduduk di bangku kayu pohon kelapa. Ditemani deburan ombak yang syahdu hendak mengiringi kepulangan sang mentari. Ia tersenyum memandangi pantai yang dari kejauhan menunjukkan simpul keindahan. Sekali lagi, ia setia menunggu seseorang yang begitu berarti bagi dirinya. Tak peduli pada kicauan burung yang mengundang perhatiannya untuk sesekali diajak bersenda gurau.

“Ah… baru jam lima. Sebentar lagi pasti dia datang” gumamnya dalam hati.

Ia mengabaikan waktu dengan melahap deretan kata. Buku bersampul foto seorang gadis lugu berbaju lusuh menjadi teman setia baginya. Ia nampak menikmati segala macam kisah yang tertulis di buku itu. Tak jarang ia membulak-balikkan halaman sekiranya ada cerita yang belum dinalar.

“Baru jam enam kurang. Pasti dia akan ke sini” sahut dirinya seraya meyakinkan kedatangan seseorang.

Gadis itu terdiam sejenak ketika mentari telah benar-benar pergi. Ia terlalu asik menghabiskan bacaan hingga melewatkan kepergian matahari. Sinar oranye yang begitu elok telah berpendar satu per satu menjadi kelabu. Kini langit dipenuhi oleh warna kelabu yang teduh sampai menunggu kedatangan bulan memberi cahaya.

Gadis itu kemudian pulang tanpa bersuara. Langkahnya tidak setegap ketika ia baru saja tiba. Ia masih tetap menggenggam erat buku kecilnya. Senyumnya perlahan pudar mengikuti kepergian mentari. Rambutnya pun sedikit teracak-acak oleh ulah angin pantai. Hanya jejak kaki yang tertinggal di sudut bangku kayu itu.

***

Keesokan hari gadis itu kembali. Di waktu yang sama dengan posisi menghadapkan diri ke pantai. Kali ini, warna pakaiannya begitu cerah. Rambutnya pun juga dikuncir dua dengan pita berbentuk kupu-kupu. Wajahnya juga terlihat lebih merona dari sebelumnya. Ia sedikit mengoleskan gincu berwarna oranya di bibirnya.

Ia memilih duduk di bangku yang sama. Namun, kali ini ia membawa beberapa kertas dan sebuah pensil. Ia kembali menyibukkan diri. Sekali lagi ia abai pada kicauan burung yang berjuang mengajaknya bercanda.

Tangannya begitu lihai membuat garis. Lengkung, lurus, belok, hingga berpola ia tuangkan pada selembar kertas putih. Goresan warna hitam berbayang ditorehkan hingga menciptakan sebuah gambar yang begitu sedap dipandang. Kali ini, ia tidak mau terlewat sedikitpun. Sesekali ia menorehkan pandangan pada mentari yang diam-diam pergi.

“Syukurlah.. baru pukul lima lewat 30 menit. Masih ada waktu. Semoga dia datang”.

Gadis itu kembali menorehkan goresan pada kertas yang lain. Kali ini ia membuat satu objek yang begitu detail. Garis yang menjulang tinggi disertai cabang di samping dengan untaian kelopak daun kelapa. Amboi…nyiur kelapa begitu manis. Buah kelapa tak lupa ditambah sebagai penutup gambarnya saat itu.

“Hah… ternyata sudah pukul enam. Oke”.

Tiba-tiba ia menyudahi segalanya. Ia lipat dengan rapi beberapa kertas yang dibawanya sejak tadi. Ia kembali pulang. Kembali dengan rasa yang sama seperti kemarin. Kecewa yang tidak bisa diungkapkan dengan sepatah kata. Senyumnya kembali tertekuk hingga pipi gembulnya ikut terbenam.

***

Hari berikutnya tampak dari kejauhan terlihat seorang gadis yang sama berjalan menuju suatu tempat. Gadis itu tampak akrab dengan bangku kayu. Ia pun seenaknya menjatuhkan diri di bangku kayu kelapa itu. Baju yang dikenakan lebih santai dengan setelah kemeja berwarna merah muda dan celana jeans. Ia bersepatu kali itu. Ia juga membawa teman berupa sepeda ontel yang nampak klasik. Kali ini, ia tidak ingin sendirian. Paling tidak harapan itu akan terwujud pada hari itu.

“Sengaja lebih awal. Pukul empat lewat semoga dia ke sini”.

Ia membawa perkakas yang berbeda dari sebelumnya. Dikeluarkannya gulungan benang, jarum, dan juga gambar pola. Benang mulai ia masukkan ke dalam lubang jarum secara perlahan. Tangan yang satu memegang jarum yang lain untuk menyatukan benang sulam. Ya, kali itu nampak ia menyulam sesuatu untuk orang yang begitu spesial.

Semoga.

Waktu berjalan tanpa sejenak memberikan jeda. Keramaian di pantai mulai bergeser ke tempat peristirahatan. Orang-orang telah lelah bermain air seharian. Begitu pula penjaga pantai yang harus berkemas karena jam kerja telah usai. Pantai hanya menyisakan suara ombak, pasir, dan juga angin sore. Begitulah.

Tak terasa sulaman itu telah memiliki bentuk. Begitu cantik, elegan, dan akan tampak nyaman bila dipakai. Pastinya sulaman itu dibuat dengan rasa kasih yang tak berujung. Semoga impian itu benar-benar terwujud.

Semoga.

Gadis itu menolehkan diri ke sekitar tempat duduknya. Ia tak melihat siapapun kecuali dirinya sendiri. Mentari pun berangsur-angsur berdialog pada bulan untuk berganti peran. Nampaknya hari ini ia akan gigit jari lagi. Sedikit rasa sesal menyergap hati gadis itu. Tak dipungkiri hatinya telah menunggu terlalu lama.

Ia bergegas membawa sepeda ontelnya sembari memasukkan perkakas menyulam ke dalam keranjang. Ia tidak meninggalkan sedikitpun barang di tempat itu. Hari itu adalah kali terakhir ia menjejakkan kaki di bangku kayu kelapa. Air mata kemudian jatuh pelan-pelan membahasi pipi gembulnya. Semuanya terasa sia-sia tak bermakna.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post