Muhamad Fajri Ikhsan Qalby

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Kisah Sebuah 'Apel yang Cantik' dan 'Buku Penyendiri' (Part 2)

Kisah Sebuah 'Apel yang Cantik' dan 'Buku Penyendiri' (Part 2)

"Hei, itu punyaku!" Sebuah suara perempuan yang kukenal langsung menyambar indera pendengaranku.

Aku pun menoleh, dan tidak diragukan lagi, ia adalah pemilik surat yang sedang kupegang ini. Ia pun menghampiriku dan memulai pembicaraan.

"Kamu kaget ya? Aku juga kaget ketika membaca surat ini, aku menjatuhkan ini ketika akan pulang." Dia begitu santai mengatakan bahwa ia "terkejut" dengan sebuah hal yang menakutkan bagi seorang remaja seusianya.

"Kita sekelas kan? Kamu yang duduk di sudut belakang kelas itu ya? Mungkin kali ini kita bicara langsung." Ia tampak tidak canggung berbicara dengan orang yang kurang pergaulan sepertiku ini, dan dalam keadaan nya sendiri yang sangat kritis ini.

"Ada apa kamu di rumah sakit?" Lia pun menyudahi monolognya sekaligus bertanya kepadaku.

"Aku, sakit tipus, jadi hari ini aku baru dibolehkan pulang." Aku agak kikuk menjawab pertanyaan gadis ini.

"Ooo, tipus itu penyakit yang berbahaya juga, sih. Kamu harus jaga kesehatan, jangan terlalu banyak aktivitas berat dulu." Shalihah berkata seolah penyakit yang ia derita tidak berbahaya sama sekali.

"Bukannya kamu yang harus diberi peringatan seperti itu? Penyakit kamu itu kan mematikan!" Aku mengulik kembali penyakit yang ia idap ketika kamu duduk di bangku taman rumah sakit, sembari menunggu orang tuaku yang masih mengurus administrasi rumah sakit.

"Hei, tega sekali kamu bicara seperti itu! Padahal orang lain biasanya jika mendengar ini berkata 'kamu harus kuat ya!' atau 'kamu pasti bisa menghadapi cobaan ini!' tapi kamu begitu jahatnya membicarakan penyakitku." Ia tampak cemberut ketika mengatakan betapa jengkelnya ia mendengar ucapanku.

"Aku bilang padamu, ya. Setiap orang itu punya kemungkinan menemui ajal yang sama, bisa saja besok kamu yang meninggal duluan, kan? Jadi kita ini tidak berbeda." Ia terdengar begitu bijak mengucapkan hal seperti itu.

Untuk pertama kalinya, aku tertarik dengan orang lain. Aku yang selalu menutup diri dari pergaulan. Kali ini seorang perempuan yang mengidap kanker hati yang ada di hadapanku ini membuatku tertarik. Perasaanku bercampur aduk ketika ada di dekatnya. Mungkin ini karena kali pertama aku berinteraksi langsung dengan orang lain.

Hari demi hari, aku semakin mengenal seorang gadis yang bernama Lia ini. Tak terasa diriku yang tertutup ini mulai berubah sedikit demi sedikit. Aku lebih sering berbicara dengannya. Hal itu mengundang perhatian dari warga sekelas. Seorang gadis pintar yang cantik tiba-tiba mengajak bicara seorang pemuda pendiam yang sehari-harinya tenggelam dengan buku-buku yang ia baca.

Tapi hal itu bukan masalah bagi Lia, ia memang akrab dengan semua orang, dia tidak pernah memandang orang lain sebelah mata. " Aku yakin setiap orang punya potensi masing-masing, bahkan seorang penyendiri sepertimu punya potensi yang besar." Ujarnya.

"Apa kamu sedang mencoba menghiburku? Orang biasa sepertiku tidak mungkin bisa menjadi orang sepertimu, bisa dibilang kita adalah kebalikan,bukan?"

"Hahaha, benar juga, kita adalah kebalikan, aku baru kepikiran." Pungkas Lia. Lantas ia tersentak seperti teringat sesuatu.

"Oh iya, aku hampir lupa, hari ini ada toko buku yang baru buka, ayo kita kesana, mungkin ada beberapa buku yang bagus untuk dibaca!" Gadis ini berseru kepadaku agar segera bergegas.

Setelah melihat-lihat buku di toko buku yanng ternyata tidak terlalu jauh dari sekolah kami. Kamu pun memutuskan untuk beristirahat sejenak sambil melihat-lihat buku yang baru saja kami beli dari tempat itu.

Sore itu sangat tenang, diiringi oleh suara angin sepoi-sepoi dan kicauan burung yang kembali ke sarangnya. Aku melihat Lia yang duduk di sebuah bangku taman, dengan layar pohon apel yang rindang. Dia duduk sambil tersenyum memandang senja.

Aku pun tertegun menyaksikannya yang duduk anggun disana. Sejenak aku menikmati peralihan siang menuju malam ini.

"Apa kamu benar-benar akan meninggal?" Kalimat itu tak sadar kulontarkan kepada Shalihah, aku pun terkejut mendengar ucapanku sendiri.

Lia yang mendengar kalimatku yang tiba-tiba ini, ia pun terkejut, namun ia kembali tenang dan menjawab pertanyaanku dengan lembut.

"Iya, aku benar-benar akan meninggal."

(Bersambung)

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post