Farhan Akbar Muttaqi

Tinggal di pinggiran Purwakarta. Guru yang terus belajar. Pengelola website www.matapendidikan.com...

Selengkapnya
Navigasi Web
Menyoal Optimisme dan Retorika

Menyoal Optimisme dan Retorika

Menarik membaca artikel seorang kawan baru, sesama penghuni formasi SMKN Darangdan Purwakarta lulusan seleksi CPNS 2018 Jawa Barat, Kang Muhamad Rian Ari Sandi.

Artikel tersebut menekankan arti penting optimisme, utamanya bagi pemimpin. Kang Rian memberi studi kasus pada sosok Prabowo Subianto dan Anies Baswedan. Sosok yang satu disebut penebar pesimisme, sementara satunya lagi penebar optimisme. Artikelnya berjudul ‘Mengapa Prabowo Tak Belajar dari Anies’, dapat dicari di qureta.com.

Tulisan tersebut sesuai penekanan penulisnya, tak memiliki pretensi untuk mengunggulkan satu capres dan menjatuhkan satu capres lainnya. Barangkali hanya tinjauan realitas berdasarkan disiplin ilmu Kang Rian, sebagai Guru PKN. Begitu juga tulisan tanggapan ini. Tak ada pretensi. Hanya memberi tanggapan berdasarkan secuil persepsi dari seorang guru biasa. Maksudnya, biasa makan nasi, tahu isi, dan sambal terasi.

Menyoal Optimis

Optimis, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah orang yang selalu berpengharapan (berpandangan) baik dalam menghadapi segala hal. Optimis ini memang baik. Bukan hanya baik, namun juga sifat yang pernah diicontohkan oleh sosok yang ditetapkan sebagai manusia paling berpengaruh sepanjang umur dunia oleh Michael Heart. Muhammad Saw, Sang Nabi.

Bagi saya pribadi, Beliau adalah contoh pemimpin optimis paling hebat. Bayangkan saja, saat jumlah kaum Muslimin masih sedikit dan harus berjibaku dengan kekuatan selevel suku, Beliau meyakinkan pengikutnya bahwa Islam akan menguasai imperium-imperium. Melemahkan kesombongan para raja dari segala raja yang saat itu kekuasaannya menghegemoni berjuta jengkal tanah di muka bumi.

Beliau melalui berbagai sabdanya yang terekam dalam berbagai kitab hadits, pada 13 abad yang lalu meyakinkan umatnya; bahwa masa depan ditangan umat Islam. Islam akan sampai ke ujung timur dan barat dunia. Menaklukan Kisra (Persia), Konstantinopel (Romawi Timur), dan Roma (Romawi Barat).

Maka dunia bisa menyaksikannya. Semua optimismenya menjadi kenyataan. Bermula dari Persia yang takluk di masa Kekhalifahan Umar bin Khattab oleh pasukan yang dipimpin Khalid bin Walid. Menyusul Konstantinopel yang bisa dijinakkan oleh pasukan yang direkam sejarah sebagai pasukan paling spektakuler pimpinan Muhammad Al Fatih, di masa Kekhilafahan Turki Utsmani. Tinggal Roma yang tersisa.

Bisyaroh (kabar-kabar baik) yang dijanjikan oleh Beliau membangkitkan harapan dan semangat kaum Muslimin di sepanjang zaman. Sekelompok manusia yang mulanya membangun peradaban dari tanah yang gersang dan dianggap primitif itu mengubah arah dunia. Lewat mesiu optimisme

Ajaran-ajaran yang rahmatan lil’ alamin itu tersebar. Menjalar melewati gunung dan lembah. Sungai dan lautan. Merambat di siang dan malam. Memberi jalan hidup yang lebih baik bagi orang yang sempat putus harapan, hilang asa, dan dilanda kekalutan tatkala menjumpai masalah demi masalah yang membersamainya. Islam dan optimisme yang di bawa Nabinya bergerak seperti air yang mengalir meresap ke lubang-lubang sempit dan memberi kehidupan bagi tanah yang mati.

Namun, optimis faktanya tak selalu baik. Ada beragam studi kasus lain yang menciptakan efek destruktif manusia dari sikap optimis yang digelorakannya.

Hittler dan bangsa Arya yang terkenal dengan holocaust,rasisme, dan aneka kekejamannya juga digerakkan optimisme Hitler tentang mulianya dunia dengan hegemoni Bangsa Arya. Begitu juga Thedore Hertzl, ia menyampaikan optimismenya soal Zionisme 50 tahun sebelum entitas Israel menduduki Palestina di tahun 1947 sejak tahun 1897 dihadapan Sultan Abdul Hamid II. Optimisme yang membawa penjajahan paling gila di era saat ini.

Terakhir, era pasca reformasi yang kini banyak dituding sebagian kalangan membawa Indonesia menjadi lebih buruk juga diawali optimisme dan retorika-retorika aktivis di orde baru, tentang masa depan yang lebih baik dengan tumbangnya Orde Baru.

Karenanya, melihat optimisme yang dibangun oleh retorika-retorika manusia seperti melihat ‘cangkang’. Meski ada adagium bahwa ‘kata itu mencerminkan isi kepala’, bagaimanapun juga retorika tetaplah retorika. Sesuatu yang bisa dipoles. Manisnya retorika bisa semanis misi dan harapan yang dibawakan oleh pengembannya, namun bisa juga sebaliknya. Menipu. Seperti para demagog yang oleh Aristoteles dianggap sebagai perusak demokrasi.

Jujurlah, mungkin kita juga pernah dirugikan oleh retorika. Ditipu dengan yang manis-manis, namun kemudian kita tau bahwa itu hanya pembungkus maksud sadis. Di penjara sana, ada banyak ahli retorika yang pernah mengobarkan optimisme. Mulai dari koruptor hingga tukang nilep uang umroh.

***

Ingat ya, tulisan ini bukan soal copras-capres. Sekali lagi tak ada pretensi. Tapi sekedar mengingatkan bahwa dalam menjumpai kehidupan yang warna-warni ini, rasanya tak semua optimisme harus diamini. Begitupula retorika. Tak setiap retorika juga harus diberi reaksi mulut menganga.

Patut diperiksa kandungannya. Muatan apa yang dibawanya? Jangan-jangan, isinya bukan janin, tapi batu-batu! Tragis kan kalau gitu?

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Subhanallah, tulisan yang "menohok" dan menggigah pikiran dan hati. Sukses selalu dan barakallah

17 Feb
Balas



search

New Post