Faridatul Khasanah

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Dawuh part 3 (Wasiat part 3)

Aku lahir di salah satu kota yang berada di Jawa Timur, tepatnya kota Ponorogo. Lahir di lingkungan pedesaan yang lumayan jauh dari kota mengajarkanku banyak hal. Kearifan lokal yang beragam terlesatrikan didalamnya.

Aku memiliki empat saudara kandung, yang mana dari ketiga saudaraku sudah berumah tangga semuanya dan hanya tersisa aku yang belum. Kini semua kakakku bertempat tinggal terpisah dengan bapak dan ibuku. Sehingga dirumah hanya tersisa bapak dan ibu, karena aku masih merantau di kota untuk menimba ilmu.

Siang menjelang sore kala itu aku sedang berada dirumah kakak pertamaku. Rumah kakakku hanya berbeda kecamatan saja dengan rumahku, maka tak jarang jika aku pulang sering main ke sana. Rumah kakak yang berdampingan dengan rumah mertuanya membuatku juga akrab dengan kedua mertuanya. Di usia yang sudah lanjut ini, kedua mertua kakakku masih bersemangat dalam mengelola sawahnya.

Pada waktu istirahat aku berkesempatan mengobrol bersama salah satu dari mertua kakakku. Panggilan akrab yang ku sematkan kepada beliau yakni Mbah Bi. Mbah Bi ini dulunya pernah menyantri di salah satu pondok pesantren. Oleh karena itu, tak heran jika jiwa spritualnya begitu kuat. Ketika setiap orang bertamu pada beliau tak lupa percakapan apapun yang menjadi pembahasan selalu terselipkan nasihat-nasihat oleh beliau. Tanpa terkecuali diriku ketika sedang mengobrol bersama Mbah Bi kala itu.

Mbah Bi: "Nduk, kamu tahu pisang yang hidup dipinggir sungai kecil depan jalan raya itu" (sambil menunjuk ke arah tempat pisang itu tumbu)

Aku: "Iya Mbah Bi, saya tahu" (sambil ku menoleh ke arah yang ditunjukkan Mbah Bi)

Mbah Bi: "Itu pisang namanya pisang Rojotemen nduk. Salah satu pisang yang banyak disukai orang-orang. Dan harganya pun diatas rata-rata pisang pada umumnya. Beda dengan harga pisang kepok, pisang slendang dan lainnya.

Aku: "Oh begitu ya Mbah, pantes mahal ya Mbah harganya"

Mbah Bi: "Belum berbuah saja bibit pisang itu banyak dicari, apalagi ketika sudah berbuah pasti banyak yang meilirik nduk." "Apalagi itu...." ( menunjukkan ke arah pisang itu berada), "Pisang itu hidupnya dipinggir sungai dan dekat dengan jalan raya pula. Sudah semestinya banyak mata yang melirik padanya, apalagi disaat berbuah tidak hanya satu dua mata nduk saja nduk"

Aku: "Oh ya benar Mbah Bi itu"

Mbah Bi: "Benar apanya nduk?" (Sambil memandangku yang cengengesan dengan pertanyaan Mbah Bi barusan). "Pahamkah atas apa yang Mbah Bi katakan nduk. Tahukah kamu makna yang tersirat dari apa yang Mbah Bi katakan?"

Aku: "Belum paham sekali Mbah Bi dengan makna yang tersirat dari apa yang Mbah Bi sampaikan. Pahamku hanya pada pisang Rojotemen itu harganya diatas rata-rata dan banyak disukai banyak orang... Heheeeehe" (sambilku tersenyum pada Mbah Bi)

Mbah Bi pun tersenyum mendengarkan jawabanku.

Mbah Bi: "Jadi begini nduk, pisang Rojotemen yang hidup dipinggir sungai dan dekat dengan jalan raya itu ibarat kamu yang sekarang" (Aku melongo mendengar perkataan Mbah Bi barusan. Dalam hati aku bertanya, ada apa dengan diriku ini?) "Kamu sekarang itu sudah besar, sudah dewasa dan sudah baligh pula. Harus lebih waspada dan hati-hati nduk, karena diusiamu yang sekarang ini tidak hanya satu dua mata yang melirik untuk mendekatimu. Sebentar lagi akan banyak mata yang melirik dan mencoba mendekatimu dalam rangka akan mengobrak abrik ketenangan hati dan perasaanmu. Jiwamu yang semakin dewasa dan usiamu yang semakin bertambah, nantinya tidak mungkin kamu tidak akan menemui hal itu. Maka dari itu jaga dirimu baik-baik, fokuskan dulu pada masa depan. Jangan sembarangan membangun komunikasi dengan lawan jenis bila tidak ada kepentingan yaa...." (Ku lihat Mbah Bi mengatakan hal itu dengan sungguh-sungguh dan memandangku dengan pandangan yang penuh kasih sayangnya)

Aku: "Iya Mbah Bi, do'akan Rida semoga bisa menjaga diri dengan baik ya Mbah Bi. Bisa memegang dan mengingat-ingat dengan baik pula pesan Mbah Bi tersebut"

Aku sangat terharu dan tersentuh dengan apa yang disampaikan Mbah Bi. Tak terasa pipiku terbasahi dengan kristal yang mengucur dari kedua kelopak mataku. Kini usiaku bukan remaja apalagi anak-anak, aku akan memasuki dunia baru, dunia yang akan mengantarkanku menuju masa remaja akhir. Tentunya apa yang disampaikan Mbah Bi tadi adalah bentuk kekhawatirannya akan dunia baruku.Begitu syahdu menjelang adzan ashar kali ini, karena aku mendapat nasihat yang begitu berharga.

Tepukan yang mendarat dipundakku membuyarkan lamunan yang mengenang pesan Mbah Bi kala itu. Mbah Bi memang sudah tiada, namun apa yang disampaikan Mbah Bi padaku kala itu masih hidup dan mengakar kuat pada ingatanku. Al-Faatihah untukmu Mbah Bi, semoga Allah membukakan pintu ampunan yang selebar-lebarnya untukmu, melimpahkan segala nikmat surga dialam kuburmu, aamiin 🤲😢

#salam literasi

#Dawuh

#Nasihat

#Wasiat

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Bagus sekali ibu cerpennya. Salam literasi.

29 Jan
Balas

Terimakasih Bu

29 Jan



search

New Post