Faridatul Khasanati

Penulis adalah ibu dari 4 anak, lahir dan menetap di Tulungagung. Mulai tahun 2013 sampai sekarang bertugas sebagai guru bahasa Arab di MTsN 6 Tulungagung. Sebe...

Selengkapnya
Navigasi Web

MUSHAF PERTAMAKU

MUSHAF PERTAMAKU

Oleh : Faridatul Khasanati

 

Angin senja berhembus dari jendela kamar yang hendak kututup. Selembar kertas berwarna kekuningan jatuh melayang. Menyentuh ujung hidungku. Bau apek bercampur tanah lembab menguar darinya. Lembaran itu jatuh tergeletak di lantai, nyaris di ujung kaki. Aku memungut kertas usang itu.

Tulisan Arab dengan khat Naskhi masih jelas terbaca. Tinta hitamnya masih tajam. Meskipun sebagian besar pinggirannya terkoyak. Berbentuk lekukan-lekukan dimakan rayap. Aku menarik kursi untuk melongok rak buku bagian atas. Asal lembaran mushaf Al Qur’an yang tercecer itu.

Ini mushaf pertamaku yang diberikan nenek sewaktu aku mengkhatamkan al Baghdady atau turutan, dulu nenek menyebutnya begitu. Sebuah buku pelajaran membaca Al Qur’an semacam Iqro’ namun dilengkapi dengan juz Amma’ dan makhorijul huruf, tempat-tempat keluarnya huruf hijaiyyah. Waktu itu nenek berpesan agar aku mempelajarinya dengan sungguh-sungguh. Senantiasa membacanya. Karena bacaan Al Qur’an  akan menerangi hati kita dan menjadi penolong di akhirat kelak.

Bertahun-tahun kugunakan Al Qur’an itu untuk belajar mengaji setiap hari. Sampulnya mulai lepas. Koyak. Tak berbentuk lagi. Aku menyampulnya ulang dengan kertas karton dilapisi kain perca batik warna keperakan. Sisa gaun pesta ibu yang baru dijahitkannya. Setelah mengaji selalu kutaruh mushaf itu di rak buku paling atas seperti pesan pak Ustaz.

Aku benar-benar melupakannya ketika mendapat al Quran terjemah yang indah. Hadiah ulangtahunku yang ke 18 saat aku hendak kuliah di salah satu Perguruan Tinggi Islam di Malang. Tentu saja aku membawa mushafku yang baru. Menggantikan mushaf pertama yang sehari-hari kupakai mengaji selama hampir sembilan tahun itu.

Deretan rumah rayap memenuhi pojok rak. Menggerogoti buku-buku, kitab, mushaf Al Qur’an, dan sebagian rak kayu itu. Mushaf pertamaku nampak terkoyak beberapa bagian. Jilidannya rontok dimakan rayap. Tanah kehitaman mengotori sampulnya yang mulai menguning.  Lembar demi lembar kubersihkan dan kutata kembali dengan thati-hati.

 “Ayo diulang lagi!” Tak terhitung berapa kali kata itu kudengar. Membuatku hatiku gentar. Jemari tanganku terasa dingin menggeletar. Namun sekilas senyum di sudut matanya sedikit menenteramkan. Membuatku bangkit terus mencoba. Ustad Misbach memintaku memperhatikan gerak bibirnya saat mengucapkan setiap huruf. Sudah dua minggu  aku belum lulus surat al Fatihah.

Lembaran-lembaran mushaf yang mulai berubah kekuningan itu membawa ingatanku pada masa beberapa tahun lalu. Saat men-tashih bacaan al Qur’an pada seorang ustad hafiz di kota Tulungagung. Bagaimana susahnya aku belajar membaca al Qur’an saat itu. Terbata-bata. Lidahku kelu. Namun aku tak pernah menyerah. Aku membacanya berulang-ulang sebelum disimak lagi oleh pak Ustaz. Setiap lekuk hurufnya sampai kuhafal betul. Bahkan bisa menuliskannya di luar kepala. Meskipun demikian bacaanku tetap saja kaku dan belum sempurna.

Aku ingat acara istima’ul Qur’an bil ghoib yang kuikuti pertama kali. Waktu peringatan Maulid Nabi Muhammad saw di pesantren. Anak-anak yang mengaji diwajibkan menyimak. Baik yang mondok, belajar dan tinggal di pesantren, maupun yang nduduk, santri yang belajar di pesantren namun tidak tinggal di sana. Dari habis subuh kami tekun menyimak Al Qur’an yang dibaca oleh para hafiz Qur’an dari beberapa pesantren di kota Tulungagung.

Suara itu begitu indah. Bagaimana bisa membaca Al Qur’an dengan begitu lancar dan fasih tanpa melihat. Bahkan setiap hurufnya, panjang pendeknya dilantunkan dengan tepat. Benar-benar tepat. Begitu merdu. Menggetarkan. Membuat setiap orang yang mendengarnya ikut larut menyimak. Menghayati makna yang terkandung dalam setiap ayatnya.

Gema suara itu terus terbawa anganku. Bahkan dalam tidur pun aku mendengarnya. Terkadang aku tidak tahu sedang tidur atau terjaga. Demikian seringnya pesantren mengadakan acara semakan al Qur’an bil ghoib. Acara  rutinan setiap bulan  juga  acara-acara khusus seperti peringatan hari besar, wisuda santri maupun permintaan walisantri saat ulangtahun anaknya, aqiqah, lulus sekolah, diterima kerja atau kirim doa untuk salah satu keluarga yang telah meninggal dunia.

Air terasa begitu sejuk membasahi wajahku saat berwudlu. Mengusir kantuk yang selalu datang menggelayut saat menyimak bacaan Al Qur’an. Berkali-kali aku ke kamar mandi, ke tempat wudhu. Lantunan ayat suci Al Qur’an tanpa terputus mengiringi. Menyejukkan setiap hati.

Tanpa terasa senja telah beranjak petang. Azan magrib yang berkumandang dari musola kampung di bawah membawaku kembali pada lembaran-lembaran mushaf yang kurapikan. Aku menutup jendela dan bergegas memenuhi panggilan solat itu. Suasana kaki gunung Wilis mulai gelap meremang. Suara serangga dan binatang malam ikut meramaikan, memuji keagungan Yang Maha Kuasa.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post