Aku dan Kopi Tubruk
AKU DAN KOPI TUBRUK
Oleh Fatimah Dasrum
Hujan deras di luar mulai mereda. Beberapa kali kulihat jam tanganku, masih menunjuk Sembilan pagi, artinya istirahat masih satu jam lagi. Sudah beberapa kali aku menguap. Sesekali kulangkahkan kaki mendekati siswaku yang sedang mendiskusikan soal persamaan kuadrat. Aku bukannya tidak bertanggung jawab. Aku hanya sedikit pusing. Aku meminta izin pada anak-anak untuk keluar sebentar dan segera kembali dengan segelas kopi panas yang sengaja kubawa ke kelas.
Si hitam yang satu itu, entah bagaimana mulanya hingga telah menjadi energi tambahan bagiku. Setelah kureguk beberapa kali, mataku mulai bercahaya, pelahan energi plus,menjalar di sekujur tubuhku. Oksigen yang berkali-kali kucari lewat menguap, telah kuhentikan. Kali ini aku melupakan siswaku dan hanya bercengkerama dengan segelas kopiku yang sedikit pahit.
Kini pikiranku memang tidak sedang di kelas ini. Bagaimana situasi dan kondisi siswaku . Ada yang pendiam dan agak takut-takut. Ada yang mau bertanya. Ada yang malas kerjakan tugas, atau apa pun aku takkan bicarakan. Yang ada, cuma kopi dan kopi. Andai aku merokok , barangkali aku sedang memainkan asap rokokku.Dan kumonyongkan bibirku agar terbentuk lingkaran-lingkaran dan kutiupkan di mukaku sendiri di depan siswaku. Orang bilang, kopi itu solmetnya rokok, tapi aku tak menyukai rokok. Entahlah.Banyak alasannya.
Kupegangi saja gelas kopiku dan tetes terakhir sudah sampai di tenggoroanku. Tiba-tiba saja kopi ini seperti mencibirku,
“ Enak ya, menyeruputku dan menyeruputku. Jangan lupa sudah dua puluh satu gelas kopi yang belum Bapak bayar sejak beberapa hari yang lalu.” Katanya
“Ah, baru dua puluh satu,.. masih mending…, kan gajian terakhir sudah Sembilan puluh hari yang lalu?” Bantahku pada kopiku yang sok tahu.
“Maksud Bapak?” lanjutnya.
“ Seharusnya malah sembilan puluh gelas yang belum kubayar… sebab.., sudah tiga bulan
Aku… dan beberapa guru belum digaji” jawabku
“Ah, jangan bohong, Kulihat Pak Andi tiap bulan membagikan uang gaji kok!” bantah kopiku.
“Jangan sok tahulah, itu gajian untuk PNS. Ngerti PNS,gak?… Pegawai… Negeri… Sipil.., jadi hanya guru-guru negri dan pegawai negeri yang tiap bulan gajian. Sedangkan kami, para getete dan petete harus tunggu BOS!”
“Lho, emangnya selama tiga bulan ini, Bos Bapak sedang cuti?” serbunya.
“ Ah, dasar kopi, K..O..P..I… percuma, kujelaskan juga kamu gak ngerti!” bentakku.
“Eit,… jangan sepelekan saya lho Pak. Coba kalau gak ada saya…mana mampu Bapak
Begadang semalaman di rumah bersalin menemani istri melahirkan?” katanya.
“Ha,…memang kamu tahu?” tanyaku heran.
“Yee…Pak Guru,.. Pak Dimas,…jangan linglung gitu dong, kan saya juga yang pasok energy
saat Bapak narik ojek di depan pasar malam itu?...Apa Bapak kuat, tanpa saya,tanpa
K… O..P..I..?” ledeknya.
“ Jadi,…kamu ngerti juga ketika aku pinjam uang di rumah tanteku untuk bayar ongkos
bersalin istriku?” Sergapku balik bertanya.
“ Ya..iyalah… Pak, dua juta seratus kan, bahkan yang seratus saja, suruh nambahi sendiri,
Pak Guru gak punya.” Jawab kopiku dengan tepat.
“Saya juga tahu persis lho, kepanikan Bapak, saat Sania, anak Bapak yang SMP, masuk RSBI
dan harus punya laptop sendiri?... lalu Bapak jual jam tangan hadiah teman yang dari
Inggris.. kemudian beli laptop bekas, dan kurangnya pinjam Bu Kantin…?” Lanjut kopiku.
“O, My God, kamu tahu persis persoalanku…”
Mataku memandang kepala siswaku secara bergantian, tapi pikiranku sama sekali taktertuju kepada mereka. Barangkali, anak-anak ini juga merasa aneh melihatku. Sementara itu, langit kembali mendung, disusul dengan gerimis jatuh lagi satu-satu lalu…
Teet…teet…teet…”Hore… Istirahat. . .!” teriak beberapa siswaku kegirangan. Jam sepuluh rupanya. Aku segera ke luar kelas sambil mengangkat gelas kopi tubrukku menuju ke kantin. Untunglah Bu Kantin sangat mengerti kesulitanku. Ia memang menjadi langganan utang kami para guru yang telat gajian. Sebetulnya istriku juga biasa nitip kripik singkong di sini. Karena sedang melahirkan anak keduaku. Jadi libur sementara.
Kantin takpernah sepi dari pembeli, di sini, jualan apa saja pasti laku. Makanya keluarga Bu Kantin sangat makmur. Ia juga sudah punya mobil.
Seperti biasa, setiap istirahat selalu riuh suara anak-anak yang berebut minta didahulukan. Kali ini, suara mereka terasa sangat menggangguku. Aku segera ambil tempat mojok di kantin ini yang sengaja diberi skat untuk tamu Bu Kantin . Tentu saja sambil kutambah lagi segelas kopi.
“Benar-benar nekat…dua puluh satu gelas belum kelar bayar, malah tambah lagi, apa gak sungkan, Pak?” komentar Si Hitam yang baru kureguk.
Aku sengaja takmenanggapi .., pikiranku agak kacau. Puyeng,.. benar-benar puyeng. Mertuaku sakit. Dan harus opname. Oh, duwit,..duwit…duwit di mana…di mana..di mana…hatiku kupaksa bersenandung ala Ayu Tingting, meski gebalau hatiku takkunjung mereda.
“ lo…lo…lo,… jangan kasar gitu dong Pak, bisa pecah gelas itu,… nanti,malah nambain utang tho?” celoteh kopiku yang khawatir melihatku dengan sengaja membanting gelas di tataannya. Walaupun bantingan ringan.
“Pak, emangnya Bapak gak dapat sertifikasi tho,… kan besar tu?” lanjutnya
Aku jadi makin jengkel saja. Kalau saja ,aku dulu sukwan ngajar di SMP swasta, mungkin aku sudah bersertifikasi. Entahlah, gajiku yang hanya tiga ratus ribu tiap bulan jangan sampai diketahui mertuaku. Bisa gengsi aku, malu puo...oll. Malu banget maksudnya. Pokoknya jangan sampai diketahui orang lain. Gak pantas. Gak maco, masak berangkat sekolah dengan baju necis, sepatu mengkilat…maksudnya agak mengkilat. Sebab kalau mengkilat amat, perlu tambahan biaya, kan?
Makanya, aku nambah-nambah beri les privat di beberapa tempat. Juga narik ojek dengan sembunyi sembunyi di balik helm, selama beberapa malam. Hanya dua tiga temanku yang tahu. Maklum kejar setoran.
“Jadi,.. gaji Bapak Cuma segitu… benar-benar di luar dugaan. Tukang pijat aja. Yang pakai baju apa adanya dan gak pakai kuliah,… gak pakai kuliah lho Pak, sekali pijat, puaa…ling murah dua puluh ribu…” Kata si Ipok (kopi) penasaran.
“ Kalau mijatnya di hotel Pak, bisa ratusan,.. itu baru satu orang,.. lha kalau empat orang,.. itu baru sehari lho Pak, lha kalau sebulan… oalah, Pak,… kasihan deh lu?” lanjutnya.
Suara riuh anak-anak seolah takkudengar, aku galau,.. risau atau entah apa namanya.
“Ya Allah… kali ini aku membutuhkanmu…, agar aku takmemaki-maki beberapa anggota DPR yang telah menitipkan dua anaknya di pemkot tuk jadi pegawai negeri . Sebab aku telah bertahun-tahun antre sampai anakku SMP… Ya Robbi,..jagalah mulutku, agar aku takmelaporkan orang-orang yang telah menyuap puluhan juta kepada oknum untuk mengambil kesempatan menjadi PN?”
“Ya Robbi,… aku masih tetap percaya pada-Mu…!” doaku menggantung di langit. Disusul dengan gemuruh suara guntur yang tiba-tiba… dan hujan melanjutkan guyurannya. Dan langit melanjutkan konsernya. Lalu, kantin pun sudah sepi. Sekolah sudah sepi. Aku tertidur sendiri… tanpa kopi…di kantin ini.
Batu,01122011,(22.03)
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Makasih
tulisanya bagus n itulah realita kehidupan buat kita yg dengan status pns...
Anjayyy bufat seleb
Anjirrrr