F.D. Anggaraeni

Penulis memiliki nama lengkap Filia Dina Anggaraeni. Lebih banyak dikenal dengan nama Dina, walau mulai membiasakan fokus publikasi dengan nama akhir Anggaraeni...

Selengkapnya
Navigasi Web
TEGAR bukan TIADA RASA (saat mendampingi belahan jiwa diserang stroke)
Menata rasa

TEGAR bukan TIADA RASA (saat mendampingi belahan jiwa diserang stroke)

Pagi itu Kamis 12 Desember 2019, sesaat saya masih mengantri untuk membayar pajak kendaraan pada satu loket 'drive thru', di ujung suara terdengar kabar agar saya bergegas pulang. Pikiran mulai berkecamuk, karena posisi sudah dalam antrian yang strategis namun panggilan hati memaksa untuk segera pulang.

Sesampai di rumah, suami membukakan pintu. Wajahnya terlihat pucat. Saya memperhatikan dengan seksama seluruh tubuhnya. Terkesan biasa saja, sebab dia masih bercanda diantara kulit gelapnya yang memucat. Rencananya pagi ini suami saya akan ke bengkel motor. Namun tangan kanannya terlihat lunglai dan dia mulai sulit berjalan. Masih dengan candanya, dia berkata "Sepertinya Bapak 'sengkleh' (pernyataan istilah yang dimaknai kondisi stroke) ni."

"Kita coba berjalan pelan ya", sambil menggandengnya perlahan untuk duduk di sofa terdekat. Jalannya memang terasa berat. Namun saya harus menghadapinya.

Adakalanya kecemasan itu dapat kita kendalikan dengan baik, sehingga orang lain tidak perlu menangkap dari ekspresi wajah atau perubahan perilaku diri kita. Jika kita tidak pernah menceritakan secara detail soal rasa, sebaiknya tak perlu menduga bahwa tiada rasa yang menyelimuti. Banyak alasan mengapa hal tersebut menjadi pilihan.

Alhamdulillah usia pernikahan kami memasuki tahun ke-24. Di usianya yang lebih 60 tahun, dia selalu merasa sebagai orang muda. Selain demam, flu biasa, seingat saya dia tidak pernah merasa sakit. Hingga saat itu, saya di sisinya benar-benar memperhatikan tangan kanannya yang lunglai lalu perlahan tak dapat digerakkan oleh dirinya sendiri. Kaki kanan, semula masih bisa berjalan perlahan, kemudian harus diseret hingga akhirnya sungguh kaku. Badan yang awalnya masih bisa berjalan, bangkit dari posisi rebahan ke duduk, hingga didudukkan dengan penyangga pun tak mampu lagi. Semakin lengkap situasi terberat ini ketika dia mulai sulit berkata-kata. Bahkan ketika suara yang sangat terbata itu juga sulit dimengerti.

Waktu yang mengiringi kesaksian ini membuat saya meyakini, Allah memilihkan situasi yang sesungguhnya mampu saya hadapi. Apakah makna cinta dan ikhlas? Saat itu saya bagai sedang diuji kompetensi soal cinta dan ikhlas. Saya harus memberi keyakinan pada suami bahwa di sisinya nya ada saya yang siaga mendampinginya dengan keadaan apapun. Tubuh siap, wajah tenang, suara lembut dan menyejukkan adalah pilihan. Tak perlu ada air mata, keluhan atau apapun yang memancarkan emosi negatif. Ini bagian hidup yang munhkin selama ini belum pernah mampir dalam ritme saya.

Cerita ini memang tentang rasa yang sulit diungkapkan. Namun saya belajar memaknai arti cinta dan ikhlas dengan tegar.

Bukan hanya proses pendampingan ini mengajarkan kesetiaan saya harus memandikan dan memenuhi kebutuhannya dengan penuh ketergantungan. Keadaan yang saya pastikan tak pernah terbersit dibenaknya. Saya harus meyakini bahwa dia juga siap menghadapi proses hidup ini. Bahwa kadang hal yang lebih sulit ketika diri kita tak mampu berdamai dengan keadaan yang sesungguhnya tidak kita inginkan. Orang menyebutnya secara psikologis, selalu dibutuhkan proses yang kenyataan tak segampang diucapkan.

Termasuk kesiapan menjaga hati anak sulung kami yang berada di pulau seberang tengah menghadapi periode untuk ujian akhir sidang skripsi. Cinta dan ikhlas adalah paket berbalut tegar yang menjadi pilihan. Keluh kesahnya menghadapi dosen pembimbing, teman-teman dalam grup yang berdinamika untuk persiapan ujiaan publik mereka (tugas akhir untuk jurusannya harus melakukan 'screening' film yang ditonton publik) sebelum mereka pendadaran (sidang meja hijau). Saya harus meyakinkan padanya, kami semua baik-baik saja dengan segenap hati mendoakan untuk kelancaran dan kemudahan serta kesuksessan tugas akhirnya.

30 Desember 2019, alhamdulillah dia melewati masa 'screening' yang sukses. Menuju 6 Januari 2020, masa pendadaran. Alhamdulillah selesai. Allah menjawab semua doa terbaik yang kami panjatkan. Cinta dan ikhlas berbalut tegar ini membuahkan apa yang diharapkan.

Episode mengambil jeda, masih untuk cinta dan ikhlas tak cukup hanya tegar, namun perlu jujur.

(Silakan membaca kelanjutannya).

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

MasyaAllahBelajar ikhlas saja sudah berat Mbak.Proses menjadi tegar, ternyata harus lebih kuat menyatukannya dengan cinta.Syafakillah buat belahan jiwa ya MbakSemoga sehat seperti sediakalaSeperti doa semua orangorang yang mencintai beliau.Aaamiiin

18 Jan
Balas

Sungguh, ikhlas adalah ilmu tingkat tinggi yang butuh latihan setiap saat karena ujiannya sering datang tibatiba. Membungkus ikhlas dengan tegar dan penuh rasa cinta, pastinya akan hasilkan bahagia tiada tara di ujung cerita. Syafakallah untuk belahan jiwa, Mbak Dina. Ada hadiah yang tak selalu berbungkus indah telah Allah siapkan untuk Mbak Dina sekeluarga. Semoga sehat, bahagia dan sukses selalu. Barakallah..., Mbak Dina.

18 Jan
Balas



search

New Post