Febri Susilowati

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
DELON  - Bagian 1 (Tantangan Menulis 4)

DELON - Bagian 1 (Tantangan Menulis 4)

Pijar mentari mulai menyelimuti pagi. Halaman sekolah masih sunyi. Hanya terdengar suara sapu lidi bergesakan dengan dedaunan kering. Belasan meter dari tempatku, kulihat Mr. John, petugas kebersihan sekolah yang gokilnya melebihi Tukul Arwana, sedang berjibaku menunaikan tugas. Dua belas tahun sudah aku menjadi guru di sekolah ini. Selama itu pula aku mengenal Mr. John. Kami bertemu pertama kali saat wawancara. Nama Aslinya Jono. Namun, karena karekter nyentriknya, aku memanggilnya Mr. John. Karena terbiasa datang pagi, kami kerapkali saling bersapa. Dia adalah Juru sapu dengan dedikasi tinggi terhadap sekolah.

Perlahan aku berjalan menyusuri koridor menuju ke kelasku sembari menyapa segelintir murid yang datang lebih awal. Dua bulan sejak tahun ajaran baru, suasana sudah mulai kondusif, terutama bagi murid - murid baru. Pun demikian juga denganku. Bukan sekali dua kali mengajar di kelas satu, namun tetap saja awal tahun ajaran adalah hari – hari tersibuk untuk beradaptasi dengan berbagai jenis karakter dan latar belakang murid baru.

Aku tersenyum. Kenangan setiap kejadian yang terekam di perjalananku bersama mereka selama dua bulan ini, muncul satu - satu. Delon yang kerap kali usil membuat temannya menangis. Kiara yang konsisten dengan tangisannya selama satu bulan. Emil si talkactive, anak laki- laki yang super cerewet. Moza dan Rara yang kerap kali ngompol. Bonna yang setiap kali makan, mesti diingatkan setiap menit agar dia menelan makanan yang ada dimulutnya. Karin yang selalu minta ditemani ke toilet karena takut. Menurutnya di toilet ada hantu. Perempuan berbaju hitam, rambutnya panjang selulut, memakai bando bunga mawar merah, serasi dengan kalung mutiara dan sepatu merahnya. Begitu katanya. Aku hanya tertawa saat mendengar imaginasinya yang tinggi itu. Tetapi kadang ngeri juga saat di toilet sendirian. Apa mungkin si Karin indigo??

Bergaul dengan murid - murid yang sedang happy-happynya memakai seragam merah putih, terasa menyenangkan. Tingkah laku ajaib mereka berhasil menarikku ke dunia kanak-kanak yang ceria. Berada di dekat mereka setiap hari di jam sekolah, membuatku mampu menyelami karakter dan kepribadian mereka. Dua bulan berlalu tanpa masalah yang berarti. Apalagi sekarang, aku sudah mulai lega, ketika mereka sudah terbiasa dan paham dengan aturan kelas. Mereka tahu bagaimana bersikap kepada guru dan teman. Tahu harus mengantri, sholat tertib, meletakkan sepatu dengan rapi di rak, merapikan meja dan kursi, juga barang lain seusai digunakan. Senyumku semakin mengembang saat aku sampai di depan kelas.

"Assalamualaikum", ucapku bersemangat.

"Waalaikumsalam", jawab empat orang murid yang kemudian berlari menyalamiku. Aku melontarkan satu dua pertanyaan, menayakan kabar. Mereka menjawab dengan antusias. Sesampainya di meja, aku meletakkan tas lalu duduk sambil merapikan meja. Dari arah pintu, Emil masuk dengah sumringah. Setelah mengucap salam, dia menuju kearahku. Seperti biasa aku siap mendengarkan segudang ceritanya sembari sedikit memberi komentar. Temannya tidak mau ketinggalan cerita si bintang story teller kelas ini. Mereka mendekat, ikut mendengar dan ikut bercerita bersahut -sahutan.

"Emil, maaf Bu guru mau ikut doa pagi dulu ya, Emil bisa lanjut ngobrolnya dengan teman-teman," kataku sembari berlalu dari hadapan mereka. Sudah ada beberapa guru di ruangan ketika aku masuk. Doa pagi adalah rutinitas yang harus diikuti oleh semua guru dan karyawan di sekolahku. Beberapa orang menyebutnya apel pagi. Agenda berupa doa bersama dan berbagi informasi. Sepuluh menit kemudian, bel sekolah berbunyi. Para guru dan karyawan beranjak menuju ke ruang kerjanya masing – masing. Murid - murid sudah riuh di depan kelas, ketika aku sampai sampai.

Who is the leader today?”, tanyaku memecah keriuhan.

“Kiara, bu’, jawab beberapa dari mereka.

Murid – murid segera membuat barisan. Ku lihat beberapa murid masih rebut dan saling mendorong.

Kiara, come on, come here”, pintaku kepada Kiara untuk segera kedepan, memimpin barisan.

Tiba - tiba, terdengar jeritan keras, saat aku membetulkan posisi kerudung Kiara yang miring. Aku terkejut, menoleh kearah sumber suara. Delon mengerang kesakitan. Tangannya memegani kaki kirinya. Sontak aku berlari kearahnya. "Kenapa Delon?", tanyaku panik. Murid-murid yang lain ikut mengerubunginya....

bersambung....

febriketjil, 8 April 2020

cerita fiksiku untuk #TantanganGurusiana

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

mantap bun....suka bacanya...

08 Apr
Balas

Terimakasih bu Lili, salam kenal...

08 Apr



search

New Post