DELON - bagian 2 (Tantangan Menulis 5)
lanjutan...
"Bu, Emil menginjak kakiku", jawabnya masih menangis.
"Oya? Astagfirullah. Kenapa Emil menginjak kakimu?", lanjutku sambil memeriksa kaki Delon. Tiga jari kakinya merah, Aku mengusap - ngusapnya agar Delon lebih tenang.
"nggak tau bu, Tiba-tiba Emil langsung nginjak aja", jawabnya.
Aku berpaling ke arah Emil yang sedari tadi diam membelakangi kami. "Betul Emil, kamu....",
"Itu karena Delon mengejek Emil, Delon bilang rambut Emil kayak rambutnya Mr. Bean. Emil nggak suka!",
Belum selesai aku bertanya, Emil langsung menyambar dengan memasang wajah cemberut. Tangannya disilangkan ke dada.
"Begitukah Delon?", tanyaku kepadanya.
"Delon kan cuma bilang begitu, karena memang rambutnya Emil kayak Mr. Bean",
"Nggak!", teriak Emil sambil menatap Delon penuh amarah.
"Oke oke, sekarang kita baris dulu, kita selesaikan nanti di dalam kelas ya, nggak enak diliat teman-teman kalian dari kelas lain", sahutku cepat.
Untungnya Emil dan Delon bisa bekerja sama. Aku bantu Delon berdiri. Lalu ku sentuh tangan Emil, menuntunnya untuk berdiri di barisan sambil mengusap punggungnya. Amarahnya mereda, meskipun raut mukanya masih kesal. Kiara mengomando menertibkan barisan dan memimpin pengucapan Janji Pelajar. Murid – murid menyalamiku satu per satu lalu masuk ke kelas.
Murid – murid sudah duduk dengan rapi, ketika aku masuk seusai menyalami Kiara, pemimpin kelas hari ini sekaligus murid yang mendapat giliran terakhir masuk kelas. Karena kejadian Emil dan Delon, suasana kelas menjadi tegang. Hanya beberapa yang bicara berbisik – bisik, berbeda dari hari biasanya. Kulirik Delon dan Emil. Muka mereka masih cemberut. Aku segera duduk di depan kelas dan meminta Kiara untuk memimpin doa. Seusai Doa, aku menyapa murid – murid.
“Good morning everyone”, sapaku sambil tersenyum cerah.
“Good morning teacher”, jawab mereka kompak. Untuk menghilangkan ketegangan aku melagukan yel – yel yang biasa kami pakai di kelas
“Mana senyummu?”.
“Ini senyumku”.
“Ehh…katanya senyum, kok kenyumnya kayak bulan sabit tengkurap?”, ucapku sambil memasang muka bingung.
Hahahaa...murid – murid tertawa, “Memangnya bulan sabit tengkurap itu kayak apa bu?”, tanya salah satu dari mereka
“Ini lho seperti ini nih…”, balasku sembari mengambar smiley, happy face dengan rambut rapi dikucir dua dan sad face dengan rambut keriting awut – awutan bak indomie goreng.
Murid – murid terbahak. Termasuk Delon dan Emil yang sudah mulai tersenyum tipis.
“Bu guru mau kasih nama deh, kira- kira namanya siapa ya?”, tanyaku kemudian.
“Tayo”
“Bonna”
“Dora”
“Sponge bob”
“Black pink”
Aku terkekeh ketika mendengar usulan nama dari mereka. “Oke, Ibu saja yang memberi nama kalau begitu, yang ini namanya Rarra, yang ini namanya Pompom”, aku menuliskan “Rarra’ di atas gambar happy face dan “Pompom” di atas gambar sad face.
”Siapa yang mau jadi temannya Pompom? Ayo angkat tangan!”, tanyaku kemudian. Mereka saling pandang cekikikan, namun tak satupun ada merespon.
“Siapa yang mau jadi temannya Rarra?”, Murid – murid serempak mengangkat tangan sambil riuh berkomentar.
“Yang mau jadi temannya Pompom, Mana senyummu?”
“Ini senyumku”, jawab mereka kompak ceria. Kulirik Delon dan Emil, wajahnya sudah berseri. Aku lanjutkan dengan nasihat – nasihat untuk bersikap baik kepada teman dan menjaga perkataan. Aku sengaja menyinggung soal Emil dan Delon di depan kelas agar masalahnya jadi jelas dan yang terpenting jadi pelajaran buat semua murid.
“Senyummu dihadapan saudaramu adalah…..?”,
“Sedekah”
“Jika kamu tidak bisa berbicara yang baik, lebh baik….?”.
“Diam”
Sesi opening aku akhiri dengan dua penggalan hadist. Mereka melanjutkan kegiatan belajar hari ini, dimulai dengan hafalan Al Quran kemudian dilanjutkan dengan mata pelajaran lainnya.
“Kringggg……..”, bel berdering nyaring. Senyaring sambutan bernada gembira murid – murid tanda istirahat telah tiba. Pak Sardi segera menutup kelas bahasa Arabnya. Beliau berpamitan kepadaku dan meninggalkan ruangan setelah memimpin doa. Tak sampai lima detik, murid – murid sudah berhamburan dengan berbagai tujuan. Beberapa pergi ke kantin, sebagian yang lain mengambil bekal lalu menyantapnya. Ada pula yang mengantri di meja makan untuk mengambil the dan kue bolu pisang yang telah disediakan oleh petugas catering sekolah. Kulihat Emil sedang kesusahan membuka bungkus chocolatosnya. Sepertinya aku salah sudah menduga bahwa dia akan meminta bantuanku. Setelah satu dua menit tidak berhasil membuka bungkus jajanan itu, dia menuju ke lokernya untuk mengambil gunting.
“Yeyy…akhirnya bisa,” pekiknya senang.
“Sudah saatnya kamu aku makan ya chocolatos, kamu tidak bisa lagi sembunyi dariku, hahaha”, lanjutnya lagi sembari duduk lalu melahap si chocolatos yang naas.
Dari mejaku aku geli melihat tingkahnya yang konyol. Perkataanya sungguh di luar dugaan.
Delon masuk dengan jajanan yang hampir berhamburan karena kedua tangannya tak mampu membawanya. Sekoyong – koyong dia duduk disebelah Emil yang tampak terkejut. Mereka makan dengan diam, sepertinya kekakuan akibat kejadian tadi pagi belum sepenuhnya hilang. Melihat ini, saatnya aku menyelesaikannya. Aku hampiri mereka berdua.
“Hai Emil, hai Delon, duduknya sampingan tapi kok diam – diaman. Masih kesal ya karena kejadian tadi pagi”, serbuku.
Mereka berdua saling berpandangan.
“Hmm…nggak kok bu”, jawab Emil. Delon hanya diam saja menikmati makannannya.
“Kalau gitu, ibu mau kalian cerita deh, bagaimana detail kejadiannya? Emil atau Delon dulu yang cerita?”, ucapku lagi.
Emil dan Delon bergantian bercerita.
Setelah menggali lebih detail cerita kejadian versi masing - masing, Aku menasehati mereka. Keduanya sepakat untuk berdamai. Aku meminta Emil untuk meninggalkan kami. Lalu aku tersenyum, menyentuh tangannya.
"Delon, kata Rasulullah kita harus berbicara yang baik lho, kalau tidak bisa berbicara yang baik lebih baik diam kan?", pancingku.
Delon menggangguk.
"Jadi Delon mau, tidak lagi berbicara yang tidak baik kepada teman?", tanyaku lagi
Lagi - lagi Delon menggangguk.
"Delon bisa bilang "iya"? Ibu mau Delon jawab dengan "iya" atau "tidak", sambungku sambil menatap matanya.
"iya', jawabnya
Aku tersenyum, ku elus rambutnya, "Anak hebat, Ibu yakin Delon pasti bisa" kataku meyakinkannya.
“Oke, Delon boleh lanjutkan makannya”, kataku. Masih tersenyum aku bangkit meninggalkannya, sebelum teman – temannya kembali ke kelas dan kepo dengan apa yang kami bicarakan.
Peristiwa semacam ini bukan kali pertama. Dari pengamatanku selama ini, Delon memang beberapa kali membuat temannya menangis. Mereka kerap kali menjadi sasaran verbal bullying nya Delon. Seringkali temannya mengadukan sikap Delon, yang selain mencela juga mengucapkan kata - kata kasar dan tidak sopan. Seringkali pula aku menasehati Delon, memberinya pengertian bahwa sikapnya bukan sikap yang baik, oleh karena itu tidak boleh dilakukannya. Mencela atau mengatai teman dengan sebutan dan perkataan yang buruk adalah perbuatan yang tidak terpuji.
Sebulan sejak insiden Emil, Delon tidak menunjukan perubahan sikap. Justru malah menjadi - jadi, selain verbal sekarang dia juga usil menjaili temannya. Bahkan itu juga terjadi saat pelajaran, yang tentu saja membuat suasana belajar jadi tidak kondusif. Nasihatku rupanya sudah tidak mempan lagi. Demikian pula konsekuensi yang aku terapkan, mulai menulis kalimat permintaan maaf kepada teman, merapikan rak buku, membersihkan kelas, dan skorsing tidak boleh jajan. Semua konsekuensi dijalaninya, namun pemyesalan dan kesadaran untuk merubah sikap belum ada sama sekali.
Beberapa orang tua wali murid juga mengadu kepadaku melalui whatsapp pribadi. Mereka tahu dari anaknya yang menjadi sasaran bully. Tentu saja, anak - anak akan bercerita apa saja yang terjadi sekolah. Beberapa yang lain ikut berkomentar tentang bagaimana penanganan kasus ini, meskipun tidak disampaikan secara terbuka di grup whatsapp kelas. Sudah lama aku membaca keresahan para orang tua murid. Juga komentar dari para guru lain yang waktu belajarnya terganggu karena ulah Delon. Maka,aku memutuskan untuk menghubungi orang tua Delon, sebagai langkah penting untuk menghindari masalah ini mmembesar dan tentu saja yang terpenting adalah menyelamatkan Delon.
Berkah hujan di hari Jumat. Sedari pagi hujan tercurah dari langit tiada berhenti. Siangnya awan kelabu masih betah menutupi rongga langit Balikpapan. Menyisakan rintik – rintik hujan. Murid – murid sudah pulang. Hari ini mereka pulang sebelum sholat jumat. Seusai makan siang bersama teman-teman guru, aku kembali ke kelas untuk menyelesaikan pekerjaan. Hasil ulangan dan lembar pekerjaan murid – murid sudah melambai – lambai minta dikoreksi. Setengah jam aku hanyut diantara lembaran - lembaran kertas.
“Tok tok tok”, terdengar suara pintu kelas diketuk.
Aku bergegas membukakan pintu.
“Assalamualaikum Ibu, saya bundanya Delon’, sapa seorang perempuan. Raut wajahnya serius dan kaku, sama sekali tidak terkesan ramah.
‘Waalaikumsalam, ohh iya bun, mari silakan masuk”, balasku. Setelah dua kali janji bertemu kami batal karena orang tua Delon mendadak berhalangan, akhirnya siang ini saya bertemu dengannya. "Bun, mohon maaf sebelumnya, memanggil bunda tiba-tiba", kataku membuka pembicaraan.
"Iya bu, tidak masalah, tapi ada apa ya bu?", jawabnya datar.
"hmm...begini bu, Delon beberapa kali kejadian membully temannya",
"hahh..maksudnya?? bagaimana kejadiannya?"
"Sebelumnya mohon maaf, Delon suka memanggil temannya dengan sebutan yang tidak baik, seperti monyet, bau, item. semacam begitulah bun. Selain itu Delon juga usil mejahili temannya hingga menangis", jelasku. Aku menyodorkan sebuah buku catatan. Setiap kali terjadi sesuatu dengan Delon, aku memang selalu merecordnya.
Bunda Delon sangat terkejut. "Delon nggak mungkin begitu bu. Dia anak yang pendiam dan bahkan sangat pasif", jawab bunda Delon
Aku tidak kalah terkejut. Delon pendiam dan pasif? Yang benar saja!
Bunda Delon dengan cepat membuka buku catatan, membaca runtutan kejadian - kejadian tentang Delon yang kutuliskan.
“Dan terus terang, beberapa orang tua murid menjapri saya, mereka komplain atas perlakuan Delon ke anak mereka sehingga saya perlu menindaklanjuti ini”, ujarku. Nyaliku menciut, ketika mengatakan ini, mimik muka bunda Delon bertambah dingin.
"Ibu, maaf ya, saya tidak percaya ini. Seperti yang sudah saya utarakan tadi, Delon itu sangat pendiam. Dia hampir tidak berbicara kalau kalau kami tidak bertanya. Sikapnya juga biasa saja, penurut, tidak pernah menimbukan masalah di rumah. Saya percaya anak saya tidak seperti yang ibu ceritakan. Mungkin dia bersikap seperti itu karena duluan diganggu. Saya memang mengajarkan kepada dia untuk membalas jika diperlakukan tidak baik oleh temannya", paparnya ketus.
Aku melongo. Perlu belasan detik untuk mencerna maksud perkataannya. Kesadaranku yang masih belum sempurna membuatku terdiam kehabisan kata – kata.
“Tapi memang begitulah yang terjadi bu”, ucapku kemudian
“Ibu punya bukti selain catatan ini?”, tanyanya.
Astagfirullah, aku menyadari telah melakukan kesalahan fatal. Tidak pernah sekalipun aku merekam kejadian Delon. Kupikir aku bisa menangani sikap Delon dan tidak menyangka masalahnya jadi membesar seperti sekarang.
“hmmm tidak bu, saya belum pernah merekam tindakan Delon”, ujarku jujur.
“Kalau begitu saya tidak terima anak saya seperti apa yang ibu laporkan. Saya tahu anak saya. Dia sangat pendiam bahkan cenderung introvert. Sikapnya juga sangat baik. Tidak pernah berperilaku yang aneh – aneh”, ungkapnya dengan nada meninggi.
Aku mengalah untuk tidak mendebat pernyataanya. Menurutku akan sia-sia dan malah memperkeruh keaadaan.
“Begini saja bu, saya akan membuktikan tentang sikap Delon di kelas seperti apa yang sudah saya sampaikan tadi, kapan kita bisa bertemu lagi?,” kataku sesantai mungkin.
“Saya akan ke luar kota hari ini sampai satu minggu kedepan, Ibu bisa kirimkan video kenakalan Delon ke saya”.
“Baik bun”,
“Kalau begitu apakah saya boleh pamit bu? Saya mau persiapan boarding nanti malam”,
“Jadi di Rumah Delon sama siapa bun?, tanyaku.
“Ada mbak nya Bu, Pengasuhnya sejak Delon bayi. Saya dan Papanya Delon sibuk, sering ke luar kota untuk urusan pekerjaan. Untungnya Delon mau ditinggal sama mbaknya”, jelasnya.
“Baiklah bun, saya infokan kembali perihal Delon nanti ya bun’,
“Oke bu, Kalau begitu saya pamit sekarang. Assalamualaikum”, ujarnya.
“Silahkan bun. Waalaikumsalam. Terimakasih atas kehadirannya di sini”, balasku sembari menyalaminya.
“Baik bu, jawabnya kaku dengan senyum yang dipaksakan”.
Aku mengantarnya sampai pintu kelas, sebelum pintu ku tutup sejujurnya aku berharap bunda Delon akan mengatakan “Maaf, Delon sudah merepotkan”, atau “Terimakasih sudah mendidik Delon”, tapi rupanya harapanku harus berujung kecewa.
Aku menghela napas panjang, mencoba melonggarkan rongga dada yang terasa sesak. Entah karena aku tidak dipercaya atau karena sikap bunda Delon yang tidak bersahabat. Atau bisa jadi karena keduanya.
“Bagaimana bisa ada orang tua murid yang bersikap sedingin itu kepada guru anaknya?. Benar kata orang, guru jaman sekarang lebih tidak dihargai daripada guru jaman dulu. Bahkan tidak dipercaya. Kok bisa sih aku disangka mengada – ada. Buat apa juga aku mengarang cerita tentang Delon? Ini lhoh sudah banyak orang tua lain yang komplain. Masih saja tidak percaya? Atau tidak mau terima kalau ternyata anaknya seperti itu?”, Aku merepet dalam hati.
Aku duduk termangu. Kehilangan semangat untuk melanjutkan koreksi. Ku rapikan kertas-kertas yang berserakan di meja sembari memaksa otakku mencari solusi. Hal pertama yang harus aku lakukan adalah dalam waktu 3 hari aku harus berhasil menyerahkan video bullying Delon. "Lantas, bagaimana jika dalam waktu itu Delon tidak berbuat ulah?". Hal kedua, menurutku ini hal terpenting. "Benarkah sikap delon berbalik 180 derajat ketika di rumah?. Jika iya, bukankah ini tergolong penyimpangan perilaku?". Aku putuskan untuk bertemu psikolog segera.
Senin pagi yang cerah. Mentari siap menguapkan titik – titik air, akibat hujan semalam. Aku berdiri tak jauh dari lapangan. Memperhatikan murid - murid yang tengah bersiap di lapangan, menunggu upacara bendera di mulai. Beberapa diantara mereka, menaikkan rok yang kepanjangan agar terhindar dari becek. Beberapa justru sengaja menghentakan kaki, mencipratkan genangan air ke sekitar, yang tentu saja bersambut gerutuan dari murid yang lain. Aku tertawa, hendak melangkahkan kaki kearah mereka, namun langkahku terhenti ketika kulihat Pak Budi sudah menegur mereka. Suara mikrofon mengheningkan keriuhan. Petugas upacara bersiap di posisinya masing - masing. Aku menuju ke barisan guru, bergabung bersama yang lain. Upacara bendera segera di mulai.
Aku melepas murid - murid pulang. Hari ini berjalan dengan tanpa masalah. Aku sedikit kecewa, sejujurnya aku berharap Delon akan membuat kegaduhan dengan membully temannya. Sudah 1 minggu sejak kedatangan bunda Delon, namum aku belum berhasil membuktikan. "Astagfirullah. kenapa aku bisa berfikir begini ya, sesalku dalam hati. Harusnya aku bersyukur, kelas aman - aman saja. Namun, teringat akan percakapan bunda delon, membuatku khawatir tingkat tinggi.
bersambung.....
febriketjil, 9 April 2020
#TantanganGurusiana
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Cerita menarik, Bu. Memang karakter orang tua itu sangat beragam. Ada yang merasa sangat tahu tentang anaknya padahal dia tak pernah menyentuh bagian 'dalam' dari anaknya. Ortu seperti ini yang sering meremehkan dan menuntut banyak pada guru atau sekolah. Saya tunggu lanjutanya, Bu. Salam kenal.
Iya bun, terkadang orangtua merasa yang paling paham anaknya, tapi ternyata tidak. Terimakasih sudah mampir bun.