Febri Susilowati

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Delon (tamat) - Tantangan Menulis 6

Delon (tamat) - Tantangan Menulis 6

(bu, apakah delon melakukan bullying lagi)

(Tidak bu, Alhamdulillah, sikap Delon semingguan ini baik)

(nah kan apa saya bilang, nggak mungkin, bu, Delon membully temannya, apalagi verbal bullying. Awalnya saya ragu, mungkin saja Delon melakukan itu, tapi sekarang saya yakin, Delon tidak mungkin seperti itu)

(Iya bun, mudah-mudahan Delon begini seterusnya. Tapi, jika suatu saat terjadi lagi, saya siap memvidio inshaallah).

(oke, bu, Hari Jumat besok saya akan ke sekolah, menghadap ke kepala sekolah, atas tuduhan terhadap anak saya)

(Hah?? Ibu mau membawa soal ini ke kepala sekolah?)

(Kenapa tidak,bu? Saya perlu memastikan anak saya baik - baik saja di sekolah ini)

Teringat akan percakapan kami, membuat kepalaku nyut - nyutan. Ini hari ketiga dari waktu yang aku punya untuk mengurungkan niatnya menghadap ke kepala sekolah. Aku sudah menyampaikan hal ini kepada Bu Ambar, kepala sekolahku. Termasuk bukti catatan harian Delon. Beliau berpesan, "ikutin saja dulu maunya, sambil menunggu ada bukti video". Pesan Beliau sedikit membuatku lega. Namun melihat karakter bunda Delon yang keras, aku jadi was-was juga. Sekarang sudah lewat tengah hari tapi sepertinya kelas aman terkendali seperti kemarin dan lusa. Hal yang ku nanti - nanti tidak kunjung terjadi. Di satu sisi aku juga berharap itu tidak terkadi. Aku mengamati Delon yang sedang asyik menikmati makan siangnya. Dia makan dengan lahap sambil sesekali mengomentari cerita Gemma, yang tak kunjung menyuapkan sendok kemulutnya. Mereka duduk berhadap - hadapan. Entah apa yang diceritakan Gemma, sehingga Delon khusyuk mendengarkan. Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling kelas. Memastikan semua makan dengan beradab. Murid -murid asyik menyantap makan siangnya. Ku dengar obrolan tentang gen halilintar di kelompok murid laki - laki. Di sebelahnya, murid perempuan membahas tentang pilih Jokowi atau Prabowo. Aku terkekeh mendengar obrolan anak jaman jigeum.

Pukul 14. 10. Waktu menandakan berakhirnya pelajaran jam terakhir. Aku mengakhiri materi tentang bagian - bagian tumbuhan hari ini. Bersiap untuk closing. Murid - murid menuju lokernya, untuk merapikan alat tulis dan buku ke dalam tas.

"Dasar monyet",

Aku mendengar Delon berbicara. Seketika aku berpaling ke arah suara. Delon berdesakan dengan dengan Gemma di depan loker. Kakiku sudah mengarah ke mereka, namun seketika berbelok mengambil handphone yang ada diatas meja. Ku setting camera, ku minta Karin untuk merekam. Ku dekati mereka pelan - pelan agar tidak menarik perhatian murid lain. Karin mengekorku. Ku arahkan handphone ditangannya dan mengklil tombol rekam.

"Cebol cebol cebol", kata Delon berulang - ulang.

"Apa sih kamu", ucap Gemma sambil mendorong Delon dengan kedua tangannya. Dia sudah mulai kesal.

Delon tersungkur. Teman - temannya mulai menyadari kejadian. Semua memperhatikan Delon dan Gemma.

Delon bangun lalu ganti mendorong Gemma, "Dasar monyet banci",katanya.

"Nggakkkk", Gemma mulai berteriak. Matanya mulai berair. Tangganya siap memukul Delon, namun segera ku tangkap. " Gemma, hentikan", kataku. Tangisnya pecah.

"Hahahaa dasar monyet cengeng", lanjut Delon dengan muka merah padam.

"Delon, stop. Ada apa ini? Kenapa Delon berkata seperti itu?", cecarku. Gemma masih menangis keras. Aku berdiri diantara mereka.

Delon hanya bersungut - sungut menatap Gemma, tanpa menjawabku.

"Gemma, bisa ceritakan apa yang terjadi?", tanyaku sembari mengelus-elus punggungnya. "berhenti dulu dong nangisnya, bu guru mau dengar kenapa Gemma nangis".

Masih sesenggukan Gemma berkata," Delon, bilangin saya monyet sama banci bu".

"Kenapa Delon bilang begitu?, tadi ibu dengar lho", aku berpaling ke arah Delon.

Delon diam seribu bahasa.

"Gemma tahu, kenapa Delon bilang begitu?",

"Kaos kaki Gemma dilempar Delon keatas loker, terus Gemma nggak bisa ngambil karena pendek, terus Delon bilang begitu",

"Oo jadi begitu. Delon tau delon salah?", kataku sambil menatap matanya, raut mukanya sudah mencair, ada penyesalan diwajahnya.

Dia menggangguk.

“Mengapa Delon melempar kaos kaki Gemma ke atas loker?”, lanjutku

Delon diam seribu bahasa, membeku.

“Oke, kalau Delon salah berarti Delon harus bagaimana?”

“Delon, Delon harus minta maaf ke Gemma, ayo anak hebat,’ kataku pelan kepadanya. Yang masih diam menunduk.

Pelan – pelan Delon mengangkat kepalanya lalu menyalami Gemma.

“Kok nggak bilang apa – apa? Delon harus bilang apa?”

“Maaf”. ucapnya pendek sembari mengulurkan tangannya.

Gemma mengangguk, meskipun terlihat masih kesal.

“Baiklah, anak sholeh, besok diulangi lagi ya?”, candaku sambil mengelus kepala Delon.

Delon menggeleng.

“Alhamdulillah, Delon paham, lain kali jangan begini lagi ya Delon”, kataku lembut. Di jawab dengan anggukan Delon sambil berkata lirih “Iya, bu”.

“Ayo, sudah waktunya kita pulang, segera ambil tasnya dan duduk ya”, perintahku kepada murid – murid. Aku meraih tangan Delon dan Gemma, membantunya berdiri. Karin menyerahkan handphone kepadaku. Aku mengucapkan terimakasih kepadanya. Lalu menyuruhnya bersiap pulang.

Setelah memulangkan murid – murid, aku mengirimkan rekaman kejadian yang baru saja terjadi antara Delon dan Gemma kepada bunda Delon. Selang lima menit bunda Delon membalas dengan emoticon terkejut, disusul dengan pernyataan bahwa beliau akan menemui saya besok sabtu pagi. Aku menyanggupi sekaligus menyampaikan bahwa selain saya akan ada psikolog anak yang sudah biasa menjadi rujukan sekolah.

Kami bertiga sudah duduk berhadapan. Berbeda dengan kedatangan sebelumnya, kali ini wajah bunda Delon lebih ramah. Raut kecemasan jelas sekali terlihat olehku. Setelah basa – basi menanyakan kabar dan berkenalan, aku mempersilakan bunda Delon untuk menceritakan riwayat Delon di rumah. Cerita detail tentang kondisi rumah, pengasuhan, sikap, dan masa- kecil Delon mengalir dengan lancar. Setelah itu, giliranku menceritakan riwayat Delon selama menjadi muridku. Tidak ketinggalan, aku perlihatkan catatan harian Delon kepada bu Rima, psikolog anak yang sekarang bersama kami. Sebenarnya aku sudah menceritakan inti masalah ketika kemarin menghubunginya. Bu rima menuliskan beberapa clue dari hal yang aku dan bunda Delon sampaikan.

“Sepertinya kondisi Delon mengarah ke selective mutism. Saya tidak menyimpulkan, ini baru dugaan saya”, ungkap Bu Rima.

Selective mut…apa bu?” Tanyaku dan bunda Delon hampir bersamaan.

Selective mutism atau biasa disingkat SM”. “Suatu gangguan berkomunikasi dimana anak yang memilih tidak berbicara pada situasi tertentu, meskipun ia mampu. Misalnya, anak tidak mau berbicara di sekolah. Padahal jika di rumah atau bersama temannya, ia banyak bicara. Nah, pada kasus Delon ini, terjadi sebaliknya. Delon tidak mau berbicara di rumah’. jelas Bu Rima.

“Itu kenapa bisa terjadi bu?”, Tanya bunda Delon dengan nada cemas

“Penyebab pastinya masih diteliti bun, namun pemicunya adalah kecemasan yang tinggi pada anak karena lingkungan yang tidak nyaman baginya”. “Biasanya ketika si anak berada di lingkungan asing yang tidak nyaman bagi dia. Sekali lagi ini baru dugaan bun. Perlu observasi dan assessment langsung kepada Delon untuk mengetahui detailnya”.

“Tapi bu, bukannya biasanya anak akan familiar dan nyaman dengan keluarganya di rumah, sedangkan Delon kebalikannya”, tanyaku.

“Bisa jadi bu, anak yang kurang diperhatikan atau pernah mengalami trauma di dalam keluarga bisa memicu penyimpangan perilaku tersebut”

Aku hanya manggut – manggut. Kulirik bunda Delon. Mimik mukanya tidak hanya cemas sekarang. Tegang, takut dan ada perasaan bersalah. Sepertinya ada yang tidak diceritakannya tadi.

“Jangan khawatir bun, bisa jadi dugaan saya salah. Terus soal kata – kata tidak sopan yang kerap di ucapkan Delon di sekolah, kemungkinan karena dia pernah atau sering mendengarnya, kita bisa cari tau sumbernya”, lanjut bu Rima, mencoba menenangkan.

“Jadi apa yang harus saya lakukan bu?”, Tanya bunda Delon.

“Kapan bunda dan Delon ada waktu? Kapan kita bisa bertemu untuk konseling lebih lanjut”,

“Saya minta nomor kontaknya boleh, bu?”, pinta bunda Delon.

Bu Rima mengeluarkan dompet kecil dari tasnya, lalu menyerahkan kartu nama kepada bunda Delon.

“Terimakasih, segera saya hubungi untuk membuat janji bertemu”, ujar bunda Delon.

“Baik bun, dengan senang hati bisa membantu”, jawab bu Rima serasa tersenyum.

“Bu, saya mohon maaf atas ketidak percayaan saya kepada ibu, saya sangat menyesal”, ungkapnya.

Aku tersenyum, menatap wajahnya. “Tidak masalah bun, hanya salah paham saja”.

“Titip Delon ya bu, terimakasih selama ini sudah memdidik Delon”, lanjutnya

“Sama – sama bun, inshallah saya akan membantu sebisa saya”,

“Kalau begitu saya pamit ya bu, sekali lagi mohon maaf dan terimakasih banyak atas semuanya”, Bunda Delon berdiri lalu menyalamiku dan bu Rima. Setelah mengucap salam, dia keluar dan menghilang di balik pintu.

“Kalau begitu saya juga pamit ya bu”, bu Rima berpamitan.

“Baik bu Rima, terimakasih banyak atas perhatian dan waktunya”

“Sama- sama bu”, jawabnya lalu melangkah keluar setelah kami bersalaman.

Ku hempaskan tubuhku di kursi. Pikiranku kembali berlari ke pembicaraan kami tadi. Selective mutism? kosakata yang asing bagiku. Ku hembuskan nafas panjang, membayangkan seorang Delon mengalaminya membuatku merasa prihatin. Peristiwa demi peristiwa Delon bersliweran di benakku. Di lain pihak aku lega soal ketidakpercayaan bunda Delon akhirnya terpatahkan.

febriketjil, 10 April 2020

#TantanganGurusiana

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post