Febri Susilowati

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Satu Persen Keajaiban (3)
Tantangan Menulis #25

Satu Persen Keajaiban (3)

Pagi hari berikutnya, aku terlonjak kaget dari tempat tidur ketika suara si Bule, ayam jago kesayanganku berkokok nyaring disamping kamarnya. Pening. Namun, seketika menguap saat aku teringat sesuatu. Seperti deja vu5, kejadian seperti ini penah kualami. Kemarin. Frame demi frame tentang mimpiku kemarin memenuhi benakku. Aku mencoba menyambungkannya dengan ingatan tentang mimpiku barusan. Sama. Kejadian aneh ini membuatku merinding, tubuhku tiba – tiba mengeras. Perlahan, logikaku berusaha keras untuk menginterpretasikan makna dibalik mimpiku.

“Masss…kok ngalamun pagi – pagi, sih!”, teriakan Arif membuyarkan kekakuanku. Gelagapan aku berproses kembali ke dunia nyata.

“Kamu rif ngagetin saja!”, sambarku cepat, sambil bangkit membetulkan sarung.

“Mas ngelamunin apa sih, kok khusyuk banget!’, balasnya.

“Mas sekolah lagi Rif, tapi sekolahnya nggak pakai seragam. Bajunya bebas”, jawabku sekenanya.

Arif melongo, mencerna maksud perkataanku.

Wis6 jangan dipikir, ayo ke langgar kita”, sahutku lagi sambil menggandeng Arif yang garuk – garuk kepala.

Untuk ketiga kalinya aku memimpikan hal yang sama. Lagi – lagi pengumuman beasiswa. Disobekan koran dekat panel saluran irigasi. Siang hari saat sedang merumput. Aku tak habis pikir. Apakah mungkin keanehan mimpiku akan benar-benar terjadi?. Jika iya, apakah ini petunjuk dari Allah sebagai jawaban dari doa- doaku selama ini? Apakah artinya aku bisa mendapatkan beasiswa itu? Bagaimana jika ini hanya bunga tidur semata? Pikiranku semrawut7. Apalagi perasaanku yang entahlah, antara cemas, penasaran, takut, senang. Seribu pertanyaan muncul di benakku, bahkan mulai mendesak otakku, memaksa minta jawaban. Maka, aku membulatkan tekad untuk mencari potongan koran itu nanti siang sepulang dari pasar menjemput simbok.

Tidak seperti biasanya, aku memacu laju si pitung lebih cepat. Aku ingin cepat sampai rumah. Simbok sampai harus berkali-kali menabok punggungku, mengingatkan agar tidak usah ngebut. Omelannya sepanjang jalan, hanya ku jawab dengan, “ tenang mbok, Urip sudah biasa ngebut sama si pitung”. Untunglah, kami bisa sampai rumah tanpa menyerempet atau bahkan menabrak sesuatu di jalan.

Le…lha kamu mau kemana? Kan belum makan?!’. Tanya simbok saat aku dengan buru – buru mengambil arit dan karung, lalu bergegas mau ngegas si pitng lagi.

“Ngarit, mbok”, sahutku singkat

“memangnya kamu sudah makan? Sudah sholat?”

“Tadi Urip dikasih sego pecel sama mbok Parmi, sudah sholat juga tadi di langgar pasar. Wis ya mbok, Urip pergi dulu, Assalamualaikum”. Balasku sambil melajukan si pitung.

“Waalaikumsalam”, jawab simbok keheranan.

Jarak antara rumah dengan panel saluran irigasi terasa jauh. Si pitung mendadak jadi selambat siput, padahal sudah aku gas penuh. Kecemasan memicu kelenjar keringatku bekerja ekstra. Tanganku basah. Tubuhku juga. Sengatan matahari semakin membuat tanganku berkeringat mengendalikan laju si pitung.

Perjalanan yang serasa menempuh jarak sejuta tahun cahaya pun akhirnya usai. Setelah mengistirahatkan si pitung di bawah pohon mahoni, beberapa meter dari panel saluran irigasi, aku berjalan perlahan menuju tempat misterius dalam mimpiku, tempat dimana aku menemukan sobekan koran itu.

Hasilnya nihil. Tidak ada apa – apa. Aku melihat ke sekeliling. Menyibak – nyibak ilalang. Mencari – cari benda yang aku harapkan. Namun benda itu tidak ada.

Aku tertawa. Merasa konyol sendiri. Ku hempaskan tubuhku duduk direrumputan. Harapan untuk mendapatkan keajaiban serasa ikut terhempas. Ternyata ini benar – benar hanya mimpi. Aku mengambil nafas panjang beberapa kali untuk menetralisir perasaan kecewaku. Kemudian aku bangkit, meraih arit dan karung. Dengan langkah lemah dihantui rasa putus asa, aku mulai merumput.

Seperti biasa, secepat sinapsis menghantarkan impuls dari neuron satu ke neuron lainnya, aroma rumput menguasaiku. Menarikku kedalam pusaran arus perenungan yang mendalam. Menyadarkanku bahwa untuk berdamai dengan kenyataan tidaklah mudah. Setidaknya perlu waktu selama rumput – rumput memenuhi karungku. Bukan hanya puluhan, mungkin ratusan atau bahkan ribuan tebasan arit yang aku lakukan. Sebanyak itu pula, aku melepaskan satu – satu kekecewaanku. Sebanyak itu juga, aku bangun lagi tembok harapan yang sempat ambruk. Satu per satu.

Bersambung...

Febriketjil, 29 April 2020

#TantanganGurusiana

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post