Febri Susilowati

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Satu Persen Keajaiban (1)
Tantangan Menulis #23

Satu Persen Keajaiban (1)

Graminae, keluarga rumput menjerit pasrah tatkala sabetan aritku memaksa mereka mengeluarkan senyawa aldehid uniknya. Semerbak aroma rumput, seketika itu juga membangkitkan saraf – saraf olfaktori dihidungku. Aroma rumput ikut menjadi saksi disetiap peristiwa hidupku. Juga selalu menandai cerita tentang kebersamaanku dengan bapak dan tentang mimpi – mimpiku di masa depan.

Banyak kenangan peristiwa yang terjadi ketika aroma rumut semerbak di udara. Sejak kecil aku sering ikut bapak merumput. Dari yang semula hanya ikut menemani, sampai aku bisa memegang arit sendiri. Tentu saja, arit tumpul yang sudah berkarat. Selagi merumput bapak sering menceritakan dongeng, dilanjutkan dengan nasehat - nasehat kepadaku. Nasehat yang sampai kini masih tersimpan baik di dalam celebrumku.

 “Le1…meskipun bapakmu ini orang nggak punya, tapi bukan berarti kamu nggak bisa sekolah. Bapak akan usahakan biayanya. Mudah-mudahan ternak kita tambah banyak. Uang hasil jadi kuli angkut di pasar, juga akan bapak tabung sedikit-sedikit. Bapak pingin kamu bisa sekolah tinggi, jadi orang pintar, jangan seperti bapak yang cuma lulus SD. Bapak selalu berdoa agar kamu bisa jadi orang yang migunani2. Kamu harus punya mimpi, jaga mimpi itu, ikhtiarkan sambil terus berdoa sama Allah. Mudah-mudahan ada jalan “. Begitulah sepenggal nasihat bapak yang sering diulang – ulangnya.

Tanggal 18 Agustus 1982, hal buruk terjadi tiba – tiba. Tragedi bagi keluargaku. Bapak dipanggil oleh Sang pencipta. Usai merumput, bapak duduk berteduh dibawah pohon kresen di pematang sawah. Bapak tertidur. Namun, tidak pernah terbangun lagi. Bapak pergi selamanya. Meniggalkanku dan kedua adikku yang masih kecil dan juga ibu kandungnya.

Setelah bapak meninggal, Akulah yang bertanggung jawab atas hewan - hewan peliharaan bapak. Aku belum terlalu mengerti soal hidup, soal apa yang mungkin terjadi setelah kepergian bapak. Usiaku baru 12 tahun. Aku hanya merasakan beberapa hal yang berbeda. Jika biasanya aku merumput bersama bapak sepulang sekolah, kini aku harus sendirian, tanpa dongeng dan nasihat – nasihat bapak. Makan tanpa bapak. Ke langgar tanpa bapak. Ke kandang tanpa bapak. Aku hanya tau bahwa aku harus merumput, membantu pekerjaan rumah, mengantar simbok kepasar dengan sepeda dan apapun yang bisa aku lakukan untuk membantu simbok bertahan menghidupi keluarga, mengepulkan asap dapur dirumah kami.

Sebulan setelah kepergian bapak, simbok mulai berjualan sayuran. Beruntung, ada saudara yang memberikan lapaknya untuk simbok berjualan di pasar. Sorenya kami pergi ke sepetak sawah, satu-satunya peninggalan bapak, yang ditanami sayur – sayuran saat bukan musin padi. Hari demi hari kami lalui. Kami sudah mulai terbiasa dengan ketidakhadiran bapak.

Aku lulus SD. Nilaiku tinggi. Bersyukur sekali, Allah memberiku banyak lipatan – lipatan otak yang berisi milyaran neuron aktif, yang membuatku pintar belajar.  Bahkan di enam tahun berikutnya, di bangku SMP dan SMA, aku selalu bisa mempertahankan nilai – nilaiku. Enam tahun sejak kepergian bapak, aku lalui dengan banyak kesibukan setiap harinya. Sesibuk apapun aku, sekolah adalah prioritas. Bagiku, belajar sepenting merumput untuk memberi makan keluarga hewanku. Sepenting mengantarkan simbok ke pasar. Sepenting memelihara mimpi besarku untuk bisa lanjut kuliah. Pernah suatu ketika, setelah mengikuti ujian nasinal SMA, aku menyampaikan mimpiku kepada simbok.

“Mbok, Aku pengen sekolah yang tinggi, biar bisa punya kerjaan yang bagus. Biar bisa bahagiain simbok dan nyekolahkan Arif sama Santi”, ujarku

Le…kamu tau sendiri, simbok nggak punya uang buat nyekolahin kamu. Uang untuk kuliah itukan mahal. Kita ini orang susah, untuk bisa makan dan garap3 sawah saja sudah syukur.” Jawab simbok.

“Simbok, sebetulnya pingin kamu bisa sekolah yang tinggi. Tapi, ya gimana lagi, simbok cuman bisa dagang sayuran”, lanjutnya.

Tentu saja jawaban simbok sudah tertebak. Aku paham sekali dengan kondisi keluarga. Biaya SPP adik – adikku juga masih menunggak. Meskipun kami sekolah di sekolah negeri dengan SPP yang kata orang murah, tetap saya simbok harus bersusah payah mengumpulkan uang untuk membayar SPP kami. Aku menghela nafas panjang. Mencoba mengubur mimpiku dalam – dalam. Mimpi yang kini jadi abu-abu.

Bersambung....

Febriketjil, 27 April 2020

#TantanganGurusiana

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post