Febri Susilowati

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Satu Persen Keajaiban (Tamat)
Tantangan Menulis #26

Satu Persen Keajaiban (Tamat)

Aku berdiri. Menggeliat membunyikan persendianku yang kaku setelah merumput lama. Matahari sudah condong ke barat. Sepertinya ashar sudah lewat. Bergegas ku panggul sekarung rumput. Hasil merumputku kali ini sangat memuaskan. Cukup untuk makan Bagong, Semar, Gareng dan Petruk sapiku, sampai besok siang. Kebiasaan menamai setiap hewan peliharaanku, sudah mulai sejak bapak meninggal. Tidak hanya aku, Arif, Santi, Simbok bahkan Simbah, juga menyumbangkan nama bagi keluarga hewan peliharaan kami. Aku tersenyum, langkahku ringan sekarang. Kontemplasiku selama merumput tidak sia – sia. Bahkah, tembok harapan kembali menjulang. Aku belum menyerah. Mengejar asaku untuk bisa lanjut sekolah.

Dari pematang sawah aku lihat si pitung sudah kepanasan. Bayangan pohon yang menaunginya, berpindah tanpa ia perintah. Ah kasihan, kataku dalam hati. Terkadang, saat mengendarai si pitung, aku teringat bapak. Selain simbah kakung, dulu bapak juga sering membawaku jalan-jalan keliling desa naik si pitung. Dirumahpun aku hobbi “naik” si pitung. Bangun tidur naik si pitung, makan sambil naik si pitung, sampai tidurpun diatas si pitung. Senangnya bukan mian. Karenanya si pitung, sudah seperti keluarga. Seperti Punokawan, keluarga sapi peliharaan kami. Seperti Ken Arok dan Ken Dedes, kambing duo sejoli yang tak juga punya keturunan. Juga seperti Bule, Bejo, Paidi dan kawan – kawan, ayam- ayam kesayangan. Saking sayangnya kami tak pernah tega menyembelihnya. Apalagi memakannya. Bahkan ketika si komar, jago berjambul merah, sekarat, Arif mentalqinkannya setiap hari sampai si Komar mati, lalu menguburkannya dengan prosesi seperti menguburkan orang meninggal. Ada – ada saja. Aku tersenyum mengingat itu semua.

Secepat kilat, mataku menangkap sesuatu yang rasanya tidak asing. Kertas yang terbang terbawa angin lalu jatuh di samping panel saluran irigasi. Aku terkesiap, deja vu lagi?. Aku melangkah mengambilnya. Dengan gemetar mengamati kata demi kata, dan…..aku menemukannya. Sobekan koran yang ada dalam mimpiku tiga malam kemarin. Sebuah keajaiban yang akan mengubah masa depanku.

Pukul tujuh pagi adalah jadwalku untuk memberi makan keluarga hewanku. Matahari hendak mengintip dari balik bukit, siap menyibak kabut dan mengusir dingin. Kokok ayam bersahutan dengan cuitan burung, sesekali lenguhan sapi dan embikan kambing, serta kwekan pasukan bebek yang digiring ke sawah oleh pemiliknya, menjadi suara latar yang merdu mengiringi indahnya alam desaku. Terutama hari ini. Hari yang mungkin akan jadi titik balik jalan hidupku. Hatiku berdebar – debar. Bahkan sejak kemarin, semalam, dan sepertinya akan berlanjut sampai nanti siang, saat aku memastikan bisa jadi bagian dari penerima beasiswa.

Nervous. Aku celingukan setelah beberapa saat masuk di ruang administrasi Universitas Terbuka. Mataku tertuju ke papan nama bertuliskan “INFORMASI”. Aku mendatangi meja itu. Ibu – ibu berumur sekitar 35 tahun, menyambutku dengan hangat.

“Selamat siang, ada yang bisa dibantu?”, Tanyanya .

“Hmm….maaf bu, saya mau menanyakan, apakah informasi di koran ini benar?”, jawabku sembari menyodorkan sobekan koranku. Ibu itu mengernyit, membetulkan posisi kaca matanya, lalu mengamati.

“Ooohh…ini nemu atau gimana? Kok Cuma sesobek gini?”. Tanyanya lagi. Bagiku pertanyaannya sama sekali tidak penting. Aku yang penasaran setengah mati dari kemarin, ingin cepat-cepat tahu kebenaran informasi soal beasiswa itu. Meskipun, disitu tertera tanggal berlakunya, tapi aku belum yakin seratus persen jika belum bertanya langsung.

“Eehh iya, bu. Saya nemu di dekat sawah”. Kataku singkat. Menjelaskan bagaimana aku bisa menemukan sobekan koran itu, tentu bukan ide yang baik. Semakin mengulur waktu dan Ibu itu mungkin mengira mengarang cerita.

“Jadi, kamu mau ikut mengajukan beasiswa ini?”, tanyanya lagi.

“Iya, bu. Apakah bisa?”, jawabku semakin cemas

“Ya, bisalah, kamu kesini berarti kamu sudah sesuai persyaratan kan, karena nggak mungkin kesini kalo ada syarat yang nggak bisa dipenuhi”, katanya lagi.

Seperti pecah bisul rasanya. Lega tak terkira. Maka saat itu juga aku mendaftar. Semua berkas memang sudah aku siapkan dirumah. Saking semangatnya. Ini kali kedua terbahagiaku berkendara bersama si pitung. Kali pertama, waktu aku bisa sendiri mengendarai motor bebek ini. Sepanjang jalan kami lalui seperti siput. Sengaja menikmati jalanan yang penuh warna warni. Seakan-akan.

Hari ini, Jumat, 24 Maret 1995. Aku berdiri termangu di hamparan padang rumput yang dikelilingi bukit – bukit hijau. Menikmati bisikan angin yang tersentuh olehnya. Sesaat lagi, si penerang jagat raya akan segera kembali ke peraduannya. Rentetan peristiwa tiba – tiba terlintas di depan mata, mengalir seperti air. Ku biarkan diriku mengenang semua perjalanan mengejar mimpiku, hingga aku bisa kesini. Meninggalkan Simbok dan simbah yang menangis tiada henti melepas kepergianku. Ratusan kata – kata nasehat, aku ucapkan kepada Arif dan Santi. Dengan haru, meninggalkan semua kenangan di tanah kelahiranku.

Masa kuliah di Fakultas Keguruan kutempuh dengan tanpa kendala. Bahkan, karena nilaiku selalu tinggi, beasiswa lain yang aku ajukan, lolos beberapa. Dua bulan setelah lulus, aku mengikuti serangkaian test penerimaan guru PNS. Betapa bersyukurnya aku, Allah memang maha baik. Aku lolos. Aku akan menjadi guru. Tempat pengabdianku ada disini, sebuah daerah dengan lembah indah di Atambua, NTT. Beberapa kawanan sapi, kerbau dan kambing sedang menikmati santapan segar mereka di padang savana yang seakan tiada bertepi. Aahh…aku teringat keluarga hewanku. Semenjak kuliah, Ariflah yang bertanggungjawb penuh menafkahi mereka. Tentu, aku masih membantunya disela – sela waktuku. Aku jadi rindu merumput. Rindu aroma rumput. Disini semua hewan ruminansia dilepas untuk merumput sendiri. Aku menangkap aroma baru, mirip tapi tidak sama. Aroma rumput yang dipotong oleh gigi ruminansia.

Sepertinya aku akan sering berlama – lama disini. Bermain dan belajar bersama anak – anak bertelanjang dada, yang kini sedang bermain bola di seberang sana. Mereka….yang akan jadi penyempurna ikhtiarku membangun masa depan bangsa ini. Mereka….yang akan jadi murid sekaligus guru kehidupanku. Aku berjanji, untuk membalas keajaiban yang sudah Allah berikan, untuk mengganti peluh keringat dan air mata bapak simbok dan untuk kesempatanku belajar di pendidikan tinggi, aku akan mengabdi untuk mereka, membantu mereka membangun dan mengejar mimpi – mimpi mereka. Mengajarkan kepada mereka, bahwa selalu ada jalan di setiap kesulitan. Selalu ada kesempatan disetiap harapan dan ikhtiar. Akan ada jawaban di setiap doa tulus teruntuk Allah, Tuhan pemilik kehidupan. Selalu ada satu persen keajaiban, di Sembilan puluh sembilan persen ketidakmungkinan. Ini yang akan aku lakukan. Sebagai baktiku untuk negeri.

Febriketjil, 30 April 2020

#TantanganGurusiana

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Super mantap Bu Ferbri

30 Apr
Balas

Terimakasih pak, salam kenal

01 May



search

New Post