Feerlie Moonthana

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

AKU INGIN JADI ORANG MISKIN

Aku Ingin Jadi Orang Miskin

Adalah Clara Melysa, eksekutif muda, sekaligus motivator ulung Tanah Air ini, yang berela-rela terbang dari Jakarta ke Muara Bungo, satu Kabupaten yang ada di Provinsi Jambi.

Semuanya bermula dari cerita yang ia dengar dari karibnya sesama motivator yang tinggal di Jambi. Katanya, saat diundang mengisi acara motivasi di salah satu Universitas Terkemuka di kabupaten Bungo, ia bertemu dengan seorang garin masjid yang bergelar Doktor di bidang Ekonomi keluaran Universitas terkemuka di Eropa. Garin itu bercita-cita Ingin jadi orang miskin.

”Datang saja ke sana sendiri, Sya. Aku gak mau mengingatnya lagi. Takut jadi miskin beneran.” Demikian kalimat sahabatnya beberapa minggu yang lalu.

Sejak itu, Sya benar-benar mempersiapkan diri. Ia tak tahu, mengapa ia menjadi seserius itu. Ia tegang, nyaris stres. Untung tidak dilindapi sizofrenia. Cerita dari karibnya itu, benar-benar membuatnya penasaran. Seorang tua itu, dengan gelar akademis dan cita-cita aneh bin ajaibnya, secara tidak langsung telah menantang dirinya secara profesi, pengalaman, dan kelimuan. Siapa tahu, ini akan jadi riset yang berujung penemuan konsep kesuksesan hidup yang belum pernah terungkap sebelumnya.

Akhirnya, setelah merasa cukup dengan ’perbekalannya’, berangkatlah ia. Pesawat sore membawanya mendarat di Bandara Sultan Thaha. Tanpa ba-bi-bu, bahkan tanpa memberitahu karibnya di sana, ia melesat ke Muara Bungo dengan travel yang sudah stand by di bandara.

Tepat di Subuh yang hampir tersalib siang, Sya tiba di Muara Bungo. Supir travel menurunkan Sya di depan sebuah masjid berpagar putih. Masjid Raya Istiqomah. Konon katanya, masjid ini termasuk masjid tertua di kota Bungo. Tidak megah, tapi cukup besar, bersih dan sangat terawat.

***

Clara Melysa membuka sepatu bermerknya. Bila ditaksir nilainya sama dengan harga satu televisi 21 inch keluaran terkini. Setelah tiba di bilik kecil di sebelah kanan tempat wudhu, ia mengucap salam. Dengan wajah sumringah khas seorang motivator, ia menyalami seorang tua yang duduk di sana: lelaki berwajah bening. Usianya sekitar 50 tahunan. Ia mengenakan koko putih, sarung kotak-kotak merah dan berkopiah hitam. Sekilas, tak tanpak sedikitpun, bahwa orang tua itu adalah seorang Doktor. Ia juga tak terlalu mengumbar senyum, tapi entah mengapa, seakan-akan ada ratusan senyum yang merekah di setiap lekuk keriput pipi, jidat, hidung, atau kantung matanya.

Clara memperkenalkan diri. ”Mustafa”. Orang tua itu menyebut namanya dan tidak mau menyentuh tangan Clara. Namun sorot matanya menatap lurus dan tajam ke arah Clara. Terkesan sekali orang tua itu memiliki rasa percaya diri yang tinggi. Setelah berbasa-basi sejenak, maka mulailah Clara secara tersirat memancing seorang tua itu untuk menjelaskan maksud dari cita-citanya yang sangat anomali itu

.”Tak perlu banyak bermain kata, Nak. Bapak tahu maksudmu,” ujar orangtua itu, di tengah-tengah retorika Clara yang menjelaskan dalil-dalil pentingnya meraih kesuksesan. Clara hanya tersenyum miring, seakan-akan berusaha menyanggah. Tapi tak keluar sepatah kata pun dari bibirnya.

”Apa tujuan hidupmu, anak muda?”

”Bahagia.”

Orang tua itu mengangguk setuju.

Clara menaikkan alisnya. Kalis. Hatinya berdecak, satu jalan terbuka! Maka, dilancarkannyalah informasi dan pemikiran terkini yang ia yakin belum terunduhkan oleh seorang tua itu. Dari Le Principe de Dilbert-nya Scott Adams, The Human Condition-nya Hannah Arendt, The Art of Happiness-nya Khalil Khavari, hingga novel Prancis sarat motivasi kesuksesan L’impr’ecateur, dibedah dan dieksplorasinya dengan detail, saintifik, dan tentu saja mencerahkan. Tak ketinggalan, semua petatah-petitih, kisah-kisah inspiratif, quotes dari orang-orang besar. Lagi-lagi tentang betapa pentingnya meraih kesuksesan....!

”Ada lagi?” tanya seorang tua, seakan-akan merasa jengah dengan semua kuliah ekonomi-motivasi dari sang motivator.

Clara melepas lenguh sedikit panjang, mendapati sifat seorang tua yang terkesan sok tahu itu. Mungkinkah ini trik yang dipakai orangtua ini untuk menjatuhkan semangat dan mental karibku di Jambi itu? Ah murahan sekali. Aku tak semudah itu kaulumpuhkan, Pak Tua!

”Bukannya menuhankan harta, Pak,” Clara mulai lagi, ”tetapi hemat saya, bukankah agama dan kepercayaan manapun menganjurkan kita untuk hidup berkecukupan, bahkan berkelebihan, demi membantu orang lebih banyak lagi. Bukankah itu salah satu usaha untuk membahagiakan diri dan orang lain? apa itu tidak mulia Pak?” Seorang tua itu belum menyahut. Ia masih tekun mendengar. Clara merasa di atas angin.

”Dan.., bukankah itu salah satu upaya untuk merasakan kebahagiaan itu sendiri? Bukankah ketika kita sukses secara usaha, kerja dan finansial, maka kitapun dapat merasakan kebahagiaan yang tak tertakar oleh orang-orang miskin, maaf, maksud saya mereka yang tak berkecukupan secara ekonomi, seperti berderma ke lebih banyak orang, naik haji, mengunjungi daerah bencana, membangun panti atau masjid mungkin....?”

Seakan-akan tak memedulikan rentetan teorinya, seorang tua itu dengan nada menginterogasi menanyakan pekerjaan Clara.

”Motivator,” jawab Clara singkat.

Kali ini dengan tekanan yang diturunkan, seorang tua itu menanyakan tentang hal-hal apa yang paling sering ditanyakan orang pada Clara.

”Tentang pekerjaan itu sendiri,” jawab Clara, ”Mereka bertanya bagaimana bertahan di perusahaan besar, bagaimana memanej gaji dengan baik, bagaimana meningkatkan prestasi kerja, dan... bahkan bagaimana membangun usaha sendiri.”

”Lalu petuah luar biasa yang kauberikan?”

”Cintai pekerjaanmu!” jawab Clara mantap.

Pak tua tersenyum miring.

”Apa maksud Bapak dengan ekspresi itu?”

”Untuk apa mencintai pekerjaan?”

”Agar dapat survive, bahkan meningkatkan taraf kehidupan. Yah, zaman sekarang, finansial sudah jadi prestise sosial: parameter kesuksesan seseorang!”

”Heh,” seorang tua menyeringai, ”Kalau benar orang-orang itu mencintai pekerjaan, mereka tak perlu meminta imbalan, bukan?”

Clara terdiam. Kalimat pendek seorang tua itu benar-benar menohoknya.

”Pekerjaan adalah pembuluh darah. Dan uang adalah darahnya”.

”Ups!” Refleks Clara menyela. ”Jangan sarkastik seperti itu, Pak!”

”Itulah fakta anak muda, yang namanya cinta tidak meminta, tetapi memberi”

Clara benar-benar tidak menyangka, kalimat romantik nan agung itu, keluar dari mulut seorang garin. ”Tetapi... ekonomi adalah bidang kehidupan yang mendukung eksistensi kita sebagai manusia!” Clara mencoba berargumentasi.

”Nah, kau cerdas, Nak!”.

Clara tak ingin terjebak dengan pujian itu. Ia sangat berhati-hati. ”Maksudku, tak dapat dipungkiri, itu adalah salah satu jembatan untuk mendapatkan kebahagiaan.” Clara menegaskan.

”Kebahagiaan bukan masalah ”mendapatkan”, anak muda. Ia adalah perkara menanggapi keadaan.”

”Ah, itu soal semantik atau fonetik saja, Pak.”

Seorang tua itu tersenyum.

”Mmm... saya yakin Bapak cukup menangkap maksud kedatangan dan pembicaraan saya ini. Maksudnya, yaaa... kalau tak berkeberatan, langsung sajalah Bapak jelaskan maksud cita-cita ingin jadi orang miskin itu?” Clara mulai kesal.

Seorang tua itu terkekeh kecil sebelum berkata, ”Sebenarnya bukan hanya saya yang bercita-cita seperti itu, tapi...”

”Ya ya ya... Saya paham,” potong Clara. ”Yang jelas Bapak juga memiliki cita-cita itu, kan?” desak Clara. Kesabarannya benar-benar sudah habis.

”Baiklah, anak muda,” ia membenarkan letak kopiahnya yang miring sedikit. ”Kita sudah begitu banyak ditipu oleh sesuatu yang namanya cita-cita, keinginan, mimpi-mimpi, atau obsesi, atau apalah namanya....”

”Ditipu? Bukannya itu adalah kesemestian Pak?

”Kita acap lupa bahwa keinginan atau mimpi-mimpi itu adalah pohon yang tak pernah mati. Ia terus menumbuhkan tunas-tunasnya. Tak pernah berhenti, ia tumbuh, meskipun si pemiliknya sudah uzur atau menamatkan riwayat kehidupannya. Ya kelelahan dalam memelihara pohon itu, tak pelak turut berperan dalam penguzuran atau penamatan hidup. Jadi, tidakkah kita sadar bahwa kita sudah dipermainkan oleh sesuatu yang kita buat sendiri: Mimpi yang tak jelas rupanya. Bukankah itu sama saja diperdaya oleh nafsu yang bertopengkan mimpi atau keinginan?”

Clara mengangguk: Paham dan sepakat. Bahkan tampaknya ia tak bersemangat lagi membuka perbekalan ilmunya, entah apabila bekal itu memang sudah tak bersisa—untuk kemudian mendebat seorang tua itu. Kini, ia lebih banyak bertanya daripada memberi motivasi, seperti tujuan awalnya.

”Kalau begitu apa arti kesuksesan menurut Bapak?”

”Ketika kita dapat terus tumbuh menjadi orang yang baik,”.

”Tumbuh menjadi baik? Baik yang seperti apa?”

”Sebagai seorang motivator, mustahil engkau tak memahami definisi kata itu?”

” Itu terlalu absurd...”

”Absurd?” seorang tua itu menyeringai. Clara tiada memedulikannya, ia sudah ambruk sedari tadi. Mendengarkan petuah seorang tua ini tampaknya selain pilihan yang aman, juga cukup mencerahkan, jadi... tak ada salahnya ia dengarkan, demikian kata hatinya.

”Ketika kita mampu menjaga harta-harta yang telah diberikan Tuhan sejak lahir. Itulah ’Baik’ itu, nak.”

”Harta-harta? Sejak bayi, maksud Bapak?” seperti anak SD saja intonasi dan tekanan pertanyaan Clara. Ia sudah kehilangan taji.

Seorang tua itu mengangguk. ”Saat itu kita dianugerahkan sifat jujur, adil, kasih sayang, cinta dan banyak lainnya. Itulah harta itu, nak. Orang-orang yang baik adalah mereka yang mampu menjaga harta kehidupan itu. Terus menjaganya agar tak tergantikan oleh apa-apa yang kaubilang tadi: uang, jabatan, naik haji...”

”Terlalu berbau langit, Pak?” sanggah Clara. Ia tiba-tiba merasa bahasan seorang tua itu terlalu filosofis, tak relevan dengan kekinian.

”Itu masalah pilihan, nak. Terlepas kaupercaya ada-tidaknya syurga-neraka itu, ’langit’ adalah tempat akhir kita....”

Clara seperti motor kehabisan bensin. Seakan-akan baru tersadar, Clara jadi takut sendiri bertanya atau menyanggah, karena semua pasti akan dijawab dengan sangat baik oleh seorang tua di hadapannya itu. Dan itu sama saja menanggalkan semua kejumawaannya sebagai seorang motivator—terkemuka. Clara mulai lelahhh....

”Kalau mau dipikir-pikir, untuk apa kita berapi-api berpenghidupan kalau sudah tahu bahwa kita hidup bukan untuk selamanya....”

Clara tersedak untuk kesekian kalinya. Luar biasa. Dari mana ia dapat parafrase itu?pikir Clara

”Di langit sana, kita tak tahu apakah kita akan bahagia atau tidak. Maka, berbahagialah di dunia ini dengan selayaknya.”

”Selayaknya?” tanya Clara datar. Tak ada lagi gebu dalam tekanan suaranya.

”Kauperhatikan orang-orang ber-uang. Gembirakah mereka? Jawabnya: ya. Tapi tenangkah? damaikah hidupnya? Mereka sendirilah yang tahu. Karena semua berhubungan dengan cara ia mendapatkan kegembiraannya itu. Dan... telah bersyukurkah ia? Nah ini berhubungan dengan tabiat hidupnya. Ia tak perlu berela-rela pergi ke sana-ke mari demi prestise seperti yang kausebutkan tadi, apabila menyadari bahwa anak isterinya sudah menanti-nanti di istananya. Atau yang lebih gawat, anggota keluarganya itu tiada merindukannya lagi....”

Clara termangu.

”Ketika kita meraup kegembiraan, kedamaian, dan rasa syukur dalam waktu yang bersamaan, itulah saat di mana kita tengah berbahagia. Kurang salah satunya saja, apa-apa yang dirasakan tak dapat disebut bahagia yang bahagia.”

”Jadi itu alasan Bapak tak ingin hidup kaya?”

Seorang tua itu tersenyum tipis. ”Tak akan ada orang yang bercita-cita seperti itu bila manusia tak muluk-muluk mendefinisikan ”kaya”. Miskin harta jauh lebih baik daripada harus berlelah-lelah meladeni interogasi malaikat di langit sana,” jawab seorang tua itu. sebelum berpanjang lebar menjelaskan keyakinannya bahwa kebahagiaan di langit sana baru didapat setelah hitung-hitungan pertanggungjawaban pada apa-apa yang telah dimiliki manusia semasa hidup, usai. ”Kau tahu, dalam hidup ini, ketika potensi, amanah, tangungjawab, dan kelebihan yang kaumiliki tidak diikuti dengan pengupayaan yang maksimal akan keberadaannya, maka engkau telah membuat selisih. Dan selisih itu adalah... DO-SA!”

GLEGER!!

Wajah Clara memerah. Jantungnya berdegup lebih kencang. Hei Sya, apakah benar uangmu untuk berderma. Bila berderma, telah ikhlaskah niatmu? Pun bila kau merasa ikhlas, itu sama saja kau tak ikhlas, bukan? Bukankah ikhlas artinya ketika kaumelakukan kebaikan tanpa menyadarinya? Lalu... bagaimana niatmu berhaji tahun ini, telah benarkah ia? Takkah ia hanya demi prestise seperti yang kaubilang tadi. Belum lagi semua kekayaan dan kecakapanmu yang lain, dapatkah kaurinci dengan seksama tentang pemanfaatannya di jalan yang sebenar-benarnya...? Clara seolah-olah tengah melakukan gladi resik pengadilan langit. Oh, mengapa tiba-tiba aku terlalu berlebihan memercayai hal-hal yang sudah lama kuanggap asing itu?! AAAHHH...! Keringat mengucur deras dari sekujur tubuh Clara.

”Maaf, Nak, Zuhur hampir masuk, kamu muslimkan? Kalau bukan, silahkan tunggu Saya di ruang Risma di samping masjid ini, nanti obrolan bisa kita lanjutkan lagi. tapi kalau Anak ini muslim, mari kita berwudhu, mendahulukan sholat daripada yang lain itu salah satu jalan untuk selalu merasa kaya ” ajakan seorang tua itu menohok bagian terdalam pada jiwa Clara. Sialan Bapak tua ini, Ia sepertinya menyangsikan keimananku.

Lagi-lagi seorang tua itu mengeluarkan ajakan, Clara tergagap.

”Ma.. Maaf, Pak. Saya sedang berhalangan sholat, lagian saya juga tidak bawa alat sholat”

”Sedang berhalangan atau tidak bawa alat sholat? Kalau tidak bawa alat sholat itu di lemari banyak mukena bisa dipakai”.

Clara lagi-lagi tergagap-gagap mendapat pertanyaan seorang tua itu. Clara segera menuju ke luar, memakai sepatu bermerknya dengan bergegas, seakan-akan takut diketahui oleh seorang tua itu. Ia malu saja. Tapi, belum lagi sepatunya sempurna di pakai. Ia tersentak oleh pernyataan seorang tua itu.

”Beberapa minggu yang lalu juga ada seorang motivator dari Jambi yang berdiskusi perkara yang tak jauh berbeda dengan yang kita bicarakan. Tapi sayang, ia tak bercakap denganku. Saat itu gurukulah yang menerimanya.”

Clara tersedak. O o, jadi sekarang aku tengah berhadapan dengan muridnya. Clara! Clara,! pecundang kali, Kau, hanya dengan muridnya saja Kau sudah KO!

Clara tergesa-gesa pamit. Ia tak ada semangat untuk sholat, apalagi bersama seorang tua itu. Jangan-jangan di dalam masjid sudah menanti gurunya. Matilah aku! Pikir Clara.

Sesungguhnya apa-apa yang baru saja mereka percakapkan cukuplah mengoyak-ngoyak tabir spiritual Clara yang sudah lama tertutup. Namun... kekalahan telak dari seorang tua itu, benar-benar menyakitkan: belum bisa diterimanya! Aaah, pikirannya kacau! Segera ia menuju full travel dengan menumpang ojek, meski belum ada waktu pemberangkatan, Ia ingin secepatnya melesat ke Jambi. DAN MELUPAKAN PERISTIWA HARI INI!

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Subhanallah, menggugah dan inspiratif

14 Oct
Balas

Subhanallah, menggugah dan inspiratif

14 Oct
Balas

Terima kasih Ibu Susi, semoga kita selalu mengingatkan dalam kebaikan.

14 Oct



search

New Post