Konsep Manusia Sebagai Insan Dan Implikasinya Terhadap Tujuan Pendidikan Islam
Oleh : Fenti Inayati, M.Ag.
Konsep Manusia Sebagai Insan
Istilah insan disebut di dalam Al-Quran sekitar 65 kali. Istilah ini dikaitkan dengan penciptaan awal manusia yang sangat baik, tapi kemudian (karena kafir, musyrik, dan dzalim) dijatuhkan ke tempat yang serendah-rendahnya. Istilah al-insan lebih sering diungkap Al-Quran sebagai peringatan akan kedzaliman, kebodohan, kekafiran, dan segala watak buruk lainnya dari manusia, sebagaimana diungkap dalam ayat-ayat Al-Quran berikut:
Al-insan yang menerima memikul amanah (padahal langit, bumi, dan gunung-gunung enggan memikulnya) sama sekali tidak dipuji oleh Allah malah divonis dzalim dan bodoh, sebagaimana dalam Alquran surat Al-Ahzab [33] ayat 72:Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanah kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanah itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanah itu oleh al-insan (manusia). Sesungguhnya manusia itu amat dzalim dan amat bodoh,
Al-insan diciptakan dari tanah, kemudian keturunannya dari air mani, yang disempurnakan dengan ditiupkan Ruh-Nya ke dalam tubuhnya. Sayangnya manusia tidak pandai bersyukur dan tukang membantah, sebagaimana dalam ayat-ayat berikut:Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan Yang memulai penciptaan al-insan (manusia) dari tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina (air mani). Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh) nya roh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur. (QS. As-Sajdah [32] : 7-9)
Dan sesungguhnya Kami telah mengulang-ulangi bagi manusia dalam Al-Qur'an ini bermacam-macam perumpamaan. Dan manusia adalah makhluk yang paling banyak membantah. (QS. Al-Kahfi [18] : 54)
Al-insan diciptakan dalam bentuk yang sebaik-baiknya, tapi (karena tidak melaksanakan perintah Allah) kemudian dijebloskan ke tempat yang serendah-rendahnya, sebagaimana diungkap dalam Alquran surat At-Tin ayat 4-6:Sesungguhnya Kami telah menciptakan al-insan (manusia) dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka), kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh; maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya
Dalam bahasa sehari-hari, sering dikenal istilah ruh atau roh. Ruh merupakan potensi manusia yang tidak nampak secara empiris sebagaimana jasad. Dalam pandangan sederhana, terkadang orang memandang dan memahami ruh atau roh disepadankan dengan nyawa atau daya hidup.[1] Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, disebutkan bahwa ruh atau roh diartikan sebagai sesuatu yang hidup yang tidak berbadan jasmani, yang berakal budi dan berperasaan; jiwa atau badan yang
Bangsa Mesir Kuno memandang ruh sebagai inti kepercayaan. Orang Israel memandang manusia sebagai jalinan antara badan dan ruh. Setelah meninggal, badan kembali ke tanah sedangkan ruh kembali kepada Tuhan dalam rangka memperoleh balasan dari-Nya. Agama Zoroaster (aliran Upanishad wedanta) menyatakan bahwa ruh manusia merupakan pancaran dari ruh semesta, setelah manusia lepas dari reinkarnasi, ruh tersebut kembali bersatu dengan Tuhan. Sebaliknya, aliran Upanishad samkhya, memandang adanya dua unsur manusia yaitu ruh dan dzat. Selama ruh ditawan oleh dzat, di sana terpat kelahiran, dan bila terjadi perpisahan akan menyebabkan kematian. Aliran filsafat serba dzat memandang ruh sebagai pancaran dari dzat, sedangkan aliran filsafat serba ruh memandang bahwa ruh lauh yang menjadi hakikat manusia. Bagi aliran filsafat dualisme, seperti filsafat Stoa, ruh dan dzat, keduanya merupakan hakikat. Lihat Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), h. 272 halus; semangat. Berasal dari kata ruh atau roh, muncul pula kata rohani atau ruhani yang diartikan sebagai roh; berupa roh; yang bertalian dengan roh. Kata kerohanian mempunyai arti bersifat rohani. Kata rohaniah diartikan pula rohani; kerohanian.[2]
Pada paparan sebelumnya, Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir menyebutkan istilah ruhani. Pandangan mereka, mungkin, didasarkan bahwa manusia memiliki ruh. Oleh karenanya istilah ruhani pada pandangan mereka adalah potensi manusia yang bersifat atau berasal dari ruh tadi.
Menurut Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, struktur ruhani manusia memiliki karakteristik tertentu. Pertama, adanya di alam arwah (immateri) atau alam perintah (amr), yang tercipta langsung dari Allah tanpa proses graduasi. Kedua, tidak memiliki bentuk, rupa, kadar, dan tidak dapat disifati, yang secara alamiah halus dan suci (cenderung bertauhid dan ber-Islam) dan mengejar kenikmatan ruhaniah. Ketiga, memiliki energi ruhaniah yang disebut dengan al-amanah. Keempat, eksistensi energi ruhaniah tergantung pada ibadah yang memotivasi kehidupan dunia manusia. Kelima, tidak terikat oleh ruang dan waktu. Keenam, dapat menangkap beberapa bentuk yang konkret dan abstrak. Ketujuh, substansinya abadi tanpa ada kematian. Kedelapan, tidak dapat dibagi-bagi karena suatu keutuhan.[3]
Ruh, yang secara harfiah berarti nafas atau angin, dalam pandangan Syafi’iMa’arif, merupakan hakikat manusia yang dengannya ia dapat hidup. Ruh dipandang pula sebagai dzat murni yang hidup. Karena ruh, manusia memiliki kemampuan penalaran, intuisi, kebijakan dan kecerdasan.[4]
Dalam pandangan Abdul Fattah Jalal, ruh merupakan salah satu perangkat komponen penting manusia. Dalam al-Quran, kata ruh berarti pembawa wahyu yaitu Jibril, dan diartikan pula sebagai rahasia Allah yang dengannya tanah liat dan kering menjadi manusia.48 Al-Quran memaparkannya pada Surat al-Hijr:28-29.
Konsep Manusia Sebagai Insan Dan Implikasinya Terhadap Tujuan Pendidikan Islam
Yang dimaksud dengan pendidikan ruh adalah menanamkan dan menguatkan potensi ruh yang ada pada seseorang; menanamkan keimanan pada diri seseorang; mengarahkan instink pada kebenaran; dan mengarahkan jalan kehidupan berdasarkan pada esensi potensi ruhani manusia yang disandarkan pada keimanan kepada Allah Swt.
Banyak hadits yang mengemukakan tentang isyarat pendidikan ruh ini, diantaranya yaitu: Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مُـرُوْا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّـلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِيْنَ، وَاضْرِبُوْهُمْ عَلَيْهَا، وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ، وَفَرِّقُوْا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ.
Artinya: “Suruhlah anak kalian shalat ketika berumur 7 tahun, dan kalau sudah berusia 10 tahun meninggal-kan shalat, maka pukullah ia. Dan pisahkanlah tempat tidurnya (antara anak laki-laki dan anak wanita).”
Hadis lain diantaranya hadis Riwayat al-Bukhari rahimahullah yaitu :
كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ، كَمَثَلِ الْبَهِيْمَةِ تَنْتِجُ الْبَهِيْمَةَ، هَلْ تَرَى فِيْهَا مِنْ جَدْعَاءَ؟
“Setiap anak dilahirkan di atas fitrah. Kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi. Sebagaimana permisalan hewan yang dilahirkan oleh hewan, apakah kalian melihat pada anaknya ada yang terpotong telinganya?
Secara singkat, tujuan pendidikan ruhiyyah diantaranya adalah sebagai berikut :
a. Menanamkan aqidah dan keimanan pada diri seseorang, bahwa hanya Allah-lah yang wajib disembah.
b. Mengarahkan individu untuk bertauhid baik dalam ubudiyyah maupun ibadah, sehingga ia mengarahkan hatinya hanya pada Allah.
c. Menumbuhkan keimanan pada malaikat, kitab Allah, rasul Allah, hari kiamat, qadha dan qadar, dalam diri individu setelah beriman kepada Allah serta mentauhidkan-Nya.
d. Menyucikan ruh mu’min; membersihkan diri dari kecenderungan negatif dengan cara beriman secara sempurna
e. Menumbuhkan kecintaan kepada Rasulullah Saw sebagai seseorang yang telah diutus oleh Allah untuk menyamapikan risalah-Nya dan mengikuti sunnahnya
f. Mendorong individu untuk meraih kesempurnaan dan nilai akhlak yang luhur serta menanamkannya pada dirinya
g. Melindungi seseorang dari kecenderungan syahwat dan kesenangan material, dengan peneguhan iman yang kuat .
[1] Lihat pula jurnal Ulumul Quran, No.8.II tahun 1991, h. 16. Keterangan ini dikutip pula oleh Abdul Mujib, op.cit., h. 34.
[2] WJS. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), h. 830
[3] Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, op.cit., h. 58-59
[4] Lihat Syafi’i Ma’arif, Al-Quran Realitas Sosial dan Limbo Sejarah: Sebuah Refleksi (Bandung: Pustaka, 1985), h. 144
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar