Mengenal Pendidikan Karakter Seri 2
Mengenal Pendidikan Karakter : Seri 2
Oleh : Fenti Inayati,M.Ag
2. Jenis Pendidikan Karakter
Ada empat jenis karakter yang selama ini dikenal dan dilaksanakan dalam proses pendidikan, yaitu sebagai berikut:
1. Pendidikan karakter berbasis nilai religius (konservasi moral)
Jenis pendidikan karakter yang menekankan akan pentingnya rasa keimanan, ketaqwaan kepada Tuhan dan seluruh ciptaan-Nya. Proses pelaksanaan pendidikan karakter berbasis nilai religius ini berdasarkan Tujuan pendidikan, yang diklisifikasi menjadi tiga tujuan pokok, yaitu keagamaan, keduniaan, dan ilmu untuk ilmu. Tiga tujuan tersebut terintegrasi dalam satu tujuan yang disebut sebagai tujuan tertinggi pendidikan Islam, yaitu tercapainya kesempurnaan insani. Tujuan ini hanya dapat direalisasi dengan pendekatan diri kepada Allah SWT serta hubungan terus menerus antara individu dan pencipta-Nya.
Salah satu tujuan pendidikan Islam adalah mengembangkan manusia yang baik, yaitu manusia yang beribadah dan tunduk kepada Allah SWT serta mensucikan diri dari dosa. Makna ini terkandung di dalam firman Allah SWT. Sebagai berikut:
كَمَا أَرْسَلْنَا فِيكُمْ رَسُولا مِنْكُمْ يَتْلُو عَلَيْكُمْ آيَاتِنَا وَيُزَكِّيكُمْ وَيُعَلِّمُكُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُمْ مَا لَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ (١٥١)
Sebagaimana (kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al-Kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.(Q.S. al-Baqarah/1:151)
Apabila seseorang mempunyai karakter yang baik terkait dengan Tuhan yang Maha Esa, seluruh kehidupannya pun akan menjadi baik. Namun sayang sekali karakter yang semacam ini tidak selalu terbangun dalam diri orang-orang yang beragama. Hal ini bisa terjadi karena kurangnya kesadaran dalam keberagamaan. Oleh karena itu anak didik harus dikembangkan karakternya agar benar-benar berkeyakinan, bersikap, berkata-kata, dan berperilaku sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya.
2. Pendidikan karakter bernilai budaya (konservasi lingkungan)
Jenis pendidikan karakter yang menekankan akan pentingnya aspek- aspek budaya, keteladanan tokoh-tokoh, para pemimpin bangsa, apresiasi sastra, pancasila dan budi pekerti.
Karakter peduli sosial adalah sebuah sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk bisa memberikan bantuan kepada orang lain atau masyarakat yang membutuhkan. Siapa saja yang berkarakter peduli sosial ini dapat memberikan bantuan yang berupa harta, tenaga, usul, saran, nasehat, atau bahkan hanya sekedar menjenguk ketika orang lain dalam keadaan sakit, tertimpa musibah, atau dalam keadaan terluka.
Adapun karakter peduli lingkungan bisa ditunjukan dengan sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mencegah kerusakan pada lingkungan alam yang terjadi di sekitar kita. Termasuk bagian dari lingkungan adalah keberadaan bangsa dan negara. Oleh karena itu, lembaga pendidikan berkewajiban untuk membangun karakter naka didik yang bisa menghargai nilai-nilai kebangsaan dan berjiwa nasionalis. Karakter yang mencintai nilai-nilai kebangsaan adalah bisa berfikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompok.
3. Pendidikan karakter berbasis lingkungan
Jenis pendidikan karakter yang menekankan akan pentingnya rasa toleransi, kedamaian, dan kesatuan, untuk membangun kehidupan bersama yang damai dan menyenangkan.
Dalam menjalankan fungsinya, pendidikan bersandar pada dua dimensi asasi, yaitu tabiat individu dan lingkungan sosial. Kepribadian individu tidak lain merupakan hasil dari interaksi antara tabiat (nature) kemanusiaannya dan faktor- faktor lingkungan; artinya tingkah laku manusia merupakan produk interaksi antara tabiat dengan lingkungan sosialnya. Ini adalah karakteristik proses pendidikan, tanpa interaksi tersebut, pendidikan tidak akan berfungsi. Oleh sebab itu dalam interaksi manusia dan lingkungan sosial perlu ada fleksibelitas dan elastisitas yang memungkinkan pembentukan kepribadian manusia secara benar.
Lingkungan atau sosial masyarakat, sebagaimana diungkapkan John Dewey, merupakan satu kata yang mengandung banyak arti.
Masyarakat ada dari proses berhimpun, saling mengasihi, serta kebersamaan dalam tujuan, kemaslahatan, dan keihlasan untuk mencapai tujuan umum.
Karakter yang terkait dengan sesama manusia adalah terbangunnya kesadraan akan hak dan kewajiban diri sendiri dan orang lain. Kartakter ini penting untuk dimiliki sebab tiada sedikit orang yang hanya menuntut haknya saja dari orang lain, tetapi ia sama sekali tidak pernah berfikir untuk bisa memenuhi kewajibannya. Karakter ini perlu dikembangkan oleh lembaga pendidikan agar anak didik mengetahui dan mengerti serta melaksanakan apa yang menjadi kewajiban diri sendiri dan orang lain serta tugas atau kewajiban diri sendiri atau orang lain.
4. Pendidikan karakter berbasis potensi diri (konservasi humanis)
Jenis pendidikan karakter yang menekankan akan pentingnya rasa kemandirian dan tanggung jawab, kujujuran/amanah, dermawan, suka menolong, pekerja keras, percaya diri, baik, dan rendah hati, untuk membangun sebuah pribadi yang kuat.
Dalam pelaksanaan proses pendidikan karakter berbasis potensi diri, seorang guru tidak hanya menyampaikan materi pengajaran tetapi sebagi inspirator, inisiator, fasilitator, mediator, supervisor, evaluator, teman, sekaligus pembimbing, lebih matang, pengasuh dan sepenuh hati dengan cinta dan kasih sayang, sebagaimana yang telah diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Hal tersebut sebagaimana firman Allah SWT:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا (٢١)
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah. (Q.S. al Ahzab/33:21)
Pendidikan karakter berbasis potensi diri merupakan proses kegiatan yang mengarah pada peningkatan kualitas pendidikan dan pengembangan budaya haemoni yang selalu mengajarkan, membimbing, dan membina setiap manusia untuk memiliki kompetensi intelektual (Kognitif), karakter (Affective), dan kompetensi keterampilan mekanik (Psikomotoric).
3. Tujuan Pendidikan Karakter
Karakter sebagaimana yang telah dibahas diatas merupakan ciri atau tanda khusus dari setiap manusia yang menunjukan adanya suatu “kekuatan” atau “kelemahan” pada diri seseorang. Dan ciri khusus yang melekat pada setiap manusia terbentuk secara kultural sejak kita memasuki usia emas, yaitu sejak lahir sampai mencapai usia enam tahun.
Manusia secara natural memang memiliki potensi di dalam dirinya untuk bertumbuh dan berkembang mengatasi keterbatasan dirinya dan keterbatasan budayanya. Di lain pihak manusia juga tidak dapat mengabaikan lingkungan sekitarnya. Menurut Doni Koesoema (2006) tujuan pendidikan karakter semestinya diletakkan dalam kerangka gerak dinamis dialektis, berupa tanggapan individu atas impuls natural (fisik dan psikis), sosial, kultural yang melingkupinya, untuk dapat menempa diri menjadi sempurna sehingga potensi- potensi yang ada di dalam dirinya berkembang secara penuh yang membuatnya semakin menjadi manusiawi.
Lebih lanjut Frankena mengemukakan lima tujuan pendidikan moral sebagai berikut:
1) Mengusahakan suatu pemahaman “pandangan moral” ataupun cara- cara moral dalam mempertimbangkan tindakan-tindakan dan penetapan keputusan apa yang seharusnya dikerjakan, seperti membedakan hal estetika, legalitas, atau pandandangan tentang kebijaksanaan.
2) Membantu mengembangkan kepercayaan atau pengabdosian satu atau beberapa prinsip umum yang fundamental, ide atau nilai sebagai suatu pijakan atau landasan untuk pertimbangan moral dalam menetapkan suatu keputusan.
3) Membantu mengembangkan kepercayaan pada dan atau mengadobsi norma-norma konkret, nilai-nilai, kebaikan-kebaikan, seperti pada pendidikan moral tradisional yang selama ini dipraktikan.
4) Mengembangkan suatu kecenderungan untuk melakukan sesuatu yang secara moral baik dan benar.
5) Meningkatkan pencapaian refleksi otonom, pengendalian diri atau kebebasan mental spiritual, meskipun itu disadari dapat membuat seseorang menjadi pengkritik terhadap ide-ide dan prinsip-prinsip, dan aturan-aturan umum yang sedang berlaku.
Tujuan pendidikan karakter adalah terbentuknya manusia yang berakhlak mulia hal ini senada dengan tujuan dari pendidikan Islam sebagaimana pendapat dari Muhammad Athiyah al-Abrasyi yang dikutip oleh Omar Muhammad al-Toumy al-Syaibani telah merumuskan tujuan pendidikan Islam secara umum ke dalam lima tujuan, sebagai berikut:
1) Untuk membentuk akhlak mulia
2) Persiapan untuk kehidupan dunia dan akherat
3) Persiapan untuk mencari rizki dan pemeliharaan segi kemanfaatannya.
4) Menyiapkan pelajar dari segi profesi, teknik dan perusahaan supaya dapat menguasai profesi tertentu dan ketrampilan tertentu agar dapat mencari rizki dalam hidup, disamping memelihara segi kerhanian dan keagamaan.
Menurut Arifin sebagaimana dikutip Muhaimin dan Abdul Mujib bahwa perumusan tujuan pendidikan Islam itu harus berorientasi pada hakekat pendidikan yang meliputi beberapa aspek di antaranya sebagai berikut:
1. Tujuan dan Tugas Manusia
Yakni manusia bukan diciptakan secara kebetulan melainkan mempunyai tujuan dan tugas hidup tertentu. Sebagaimana firman Allah SWT.
الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ (١٩١)
(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka.(Q.S. Ali Imron/03:191)
2. Memperhatikan sifat-sifat dasar (nature) manusia yaitu: konsep tentang manusia bahwa ia diciptakan sebagai khalifah Allah di Bumi.
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat:
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الأرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لا تَعْلَمُونَ (٣٠)
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."(Q.S. Al Baqarah/02:30)
Tugas dan tanggung jawab manusia sebagai khalifah adalah menjaga dan melestarikan kehidupan yang ada di muka bumi, untuk menjalankan tugasnya manusia membutuhkan sarana dan prasarana, sehingga manusia membutuhkan pendidikan yang dapat membantu dan memperlancar tugas serta amanah mereka sebagai seorang khalifah (wakil Tuhan) di muka bumi ini.
3. Tuntutan masyarakat, baik berupa pelestarian nilai budaya, pemenuhan kebutuhan hidup maupun antisipasi perkembangan dan tuntutan modern.
4. Dimensi-dimensi kehidupan ideal Islam. Dalam hal ini nilai dalam mengelola kehidupan bagi kesejahteraan di dunia dan akherat, keseimbangan dan kelestarian keduanya.
Hal ini didasarkan pada tujuan pendidikan yang menurut Az-Zarnuziy meliputi tiga aspek, yaitu: ketuhanan, individualitas dan kemasyarakatan. Selain pengabdian kepada Tuhan, juga bertujuan untuk membentuk moral pribadi, intelektual dan kesehatan jasmani serta pembentukan sikap mental kemasyarakatan “amar ma’ruf nahi munkar” dengan rasa tanggung jawab terhadap kesejahteraan masyarakat, bersih dari pamrih pribadi. Ahmad D. Marimba berpendapat bahwa tujuan pendidikan Islam adalah terbentuknya kepribadian muslim. Kemudian dilihat dari tujuan umum pendidikan Islam, maka hal itu singkron dengan tujuan agama Islam, yaitu mendidik individu mukmin agar tunduk, bertaqwa dan beribadah dengan baik kepada Allah SWT, sehingga memperoleh kebahagiaan di dunia dan di akherat.
Hal di atas, menunjukan bahwasanya Islam menghendaki agar manusia di didik supaya ia mampu merealisasikan tujuan hidupnya yakni beribadah sebagai firman Allah SWT.
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإنْسَ إِلا لِيَعْبُدُونِ (٥٦)
Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.(Q.S. Adz Dzariyyat/51: 56)
Dari tujuan pendidikan Islam yang masih bersifat umum tersebut, yakni berpusat pada ketakwaan dan kebahagiaan tersebut, maka dapat digali tujuan- tujuan khusus sebagai berikut :
a) Mendidik manusia yang shaleh dengan memperhatikan segenap dimensi perkembanganya, baik rohaniah, emosional, sosial, intelektual dan fisik.
b) Mendidik anggota kelompok sosial yang shaleh, baik dalam keluarga maupun masyarakat muslim.
c) Mendidik manusia yang shaleh bagi masyarakat insani yang benar.
Dari berbagai pendapat tersebut, merujuk pada pemeliharaan dan pengembangan kehidupan jiwa (rohaniah) sebagai sumber potensi masyarakat, maka dalam hal ini tujuan pendidikan dalam hal pemeliharaan dan pengembangan potensi manusia dapat dipertajam lagi dengan memfokuskannya kepada tiga sasaran utama Pertama, mencerdaskan akal fikiran dengan cara memelihara dan pengembangannya melalui pembelajaran yang sistematis, serta memberikan perlindungan menyeluruh kepadanya, karena akal fikiran merupakan potensi dasar manusia yang sangat penting bagi keutamaan hidup. Kedua memelihara dan mengembangkan rasa kebebasan (Free Will). Potensi dasar ini merupakan aspek fundamental bagi perkembangan dan pertumbuhan hidup manusia yang kedudukannya senantiasa bergantung dengan tanggung jawab. Dalam konteks ini, pendidikan harus mampu memelihara dan memupuk potensi kebebasan yang dimiliki peserta didik. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan peluang kepada mereka dalam mewujudkan kemampuan tanggung jawab atas tindakan dan pilihanya. Karena tanpa kebebasan dan tanggung jawab dunia, maka pendidikan akan kehilangan artinya. Ketiga, memelihara dan mengembangkan kemampuan berbicara, sebab manusia tidak dapat menyatakan dirinya lebih jelas, kecuali hanya dengan berbicara. Maka dari itu, pendidikan harus dapat menciptakan kondisi pembelajaran yang memungkinkan peserta didik dapat mengungkapkan dirinya dalam berbicara, bertindak, berfikir, dan aksi. Pencapaian tujuan dasar ini merupakan tuntutan dasar bagi dunia pendidikan.
Tujuan pembentukan karakter menghendaki adanya perubahan tingkah laku, sikap dan kepribadian pada subjek didik tersebut sebagaimana dijelaskan dalam surat Ali Imran ayat 10 sebagai berikut:
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ (١١٠)
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh
kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar dan beriman kepada Allah ... (QS. Ali Imran: 110)
Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa tujuan pembentukan karakter melalui pendidikan karakter berisi:
a. Pembentukan insan saleh
Insan saleh adalah manusia yang mendekati kesempurnaan. Manusia yang penuh dengan keimanan dan ketakwaan, berhubungan dengan Allah, memelihara dan menghadap kepada-Nya dalam segala perbuatan yang dikerjakannya dan segala perasaan yang berdetak dijantungnya. Ia adalah manusia yang mengikuti jejak langkah Rasulullah dalam pikiran dan perbuatannya.
Pembentukan insan saleh ini juga berhubungan dengan kedudukan manusia sebagai khalifah Allah di bumi. Ia mempunyai tanggung jawab dan risalah ketuhanan yang harus dilaksanakan. Oleh karena itu, ia akan selalu menuju dan mendekati kesempurnaan walaupun kesempurnaan itu sulit dicapai, karena pada hekekatnya kesempurnaan hanya milik Allah semata.
b. Pembentukan masyarakat saleh
Masyarakat saleh adalah masyarakat yang percaya bahwa ia mempunyai risalah untuk umat manusia, yaitu risalah keadilan, kebenaran dan kebaikan. Suatu risalah yang kekal selama-lamanya, tak akan terpengaruh oleh faktor waktu dan tempat.
Perubahan yang terjadi pada diri seseorang harus diwujudkan dalam suatu landasan yang kokoh serta berkaitan erat dengannya, sehingga perubahan yang terjadi pada dirinya itu akan menciptakan arus perubahan yang akan menyentuh orang lain.
Hal tersebut bermaksud bahwa pendidikan karakter berperan dalam mengembangkan manusia secara individu, yang mana keluarga dan sekolah harus mendukungnya dengan bekerjasama memberikan pendidikan secara praktek sebagai kelanjutan dari proses pengajaran secara material di sekolah.
Jadi, pada intinya pendidikan karakter adalah bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai kebaikan dan membentuk manusia secara keseluruhan serta mengembangkan potensi yang dimilikinya. Yang tidak hanya memiliki kepandaian dalam berpikir tetapi juga respek terhadap lingkungan, dan juga melatih setiap potensi diri anak agar dapat berkembang ke arah yang positif.
Selain itu, pendidikan karakter juga berfungsi untuk menumbuhkan kesadaran diri. Kesadaran diri ini pada dasarnya merupakan penghayatan diri sebagai hamba Tuhan Yang Maha Esa, sebagai anggota masyarakat dan warga negara, sebagai bagian dari lingkungan serta menyadari dan mensyukuri kelebihan dan kekurangan yang dimiliki, sekaligus menjadikannya sebagai modal untuk meningkatkan diri sebagai individu yang bermanfaat bagi diri sendiri maupun lingkungannya. Jika kesadaran diri sebagai makhluk Tuhan, sebagai makhluk sosial dan makhluk lingkungan, serta kesadaran diri akan potensi diri dapat dikembangkan akan mampu menumbuhkan kepercayaan diri pada anak, karena mengetahui potensi yang dimiliki, sekaligus toleransi kepada sesama teman yang mungkin saja memiliki potensi yang berbeda.
4. Perbedaan Pendidikan Karakter dan Pendidikan Akhlak
Akhlak dipahami oleh banyak pakar dalam arti “korelasi kejiwaan yang menjadikan pemiliknya melakukan sesuatu secara mudah, tanpa memaksakan diri, bahkan melakukannya secara otomatis”. Apa yang dilakukan bisa merupakan suatu yang baik, dan ketika itu ia dinilai memiliki akhlak karimah/mulia/terpuji, dan bisa juga sebaliknya dan ketika ia dinilai menyandang akhlak yang buruk. Baik dan buruk tersebut berdasar nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat dimana yang bersangkutan berada.
Bentuk jamak pada kata akhlak mengisyaratkan banyaknya hal yang dicakup olehnya. Secara garis besar dapat dikatakan bahwa ia bukan saja aktifitas yang berkaitan dengan hubungan antar manusia tetapi juga aktifitas yang berkaitan dengan manusia dengan Allah, dengan lingkungan, baik lingkungan hidup maupun bukan serta hubungan diri manusia secara pribadi. Disamping itu juga perlu diingat bahwa Islam tidak hanya menuntut pemeluknya untuk bersikap baik terhadap pihak lain dalam bentuk lahiriah, sebagaimana yang ditekankan oleh sementara moralis dalam hubungan antar manusia, tetapi islam menekankan perlunya sikap lahiriah itu sesuai dengan sikap batiniah.
Dalam kaitannya dengan pendidikan akhlak, terlihat bahwa pendidikan karakter mempunyai orientasi yang sama yaitu pembentukan karakter. Perbedaan bahwa pendidikan akhlak terkesan timur dan Islam sedangkan pendidikan karakter terkesan Barat dan sekuler, bukan alasan untuk dipertentangkan. Pada kenyataannya keduanya memiliki ruang untuk saling mengisi. Bahkan Lickona sebagai Bapak Pendidikan Karakter di Amerika justru mengisyaratkan keterkaitan erat antar karakter dengan spiritualitas. Dengan demikian, bila sejauh ini pendidikan karakter telah berhasil dirumuskan oleh para penggiatnya sampai pada tahapan yang sangat operasional meliputi metode, strategi, dan teknik, sedangkan pendidikan akhlak sarat dengan informasi kriteria ideal dan sumber karakter baik, maka memadukan keduanya menjadi suatu tawaran yang sangat inspiratif. Hal ini sekaligus menjadi entry point bahwa pendidikan karakter meiliki ikatan yang kuat dengan nilai-nilai spiritualitas dan agama.
John Locke mengemukakan konsep empirisismenya yang mengasumsikan manusia sebagai tabula rasa alias kertas putih bersih yang karakternya menunggu untuk diisi pengajaran dari luar. Kemudian, Arthur Schopenhauer menggagas konsep nativisme yang beranggapan karakter manusia itu tergantung pada bakat bawaan di dalam dirinya. Maka apabila para peserta didik terus menerus diberi asupan pendidikan karakter secara konsisten, tentunya akan menghasilkan peserta-peserta didik yang berkarakter. Hanya saja, pada akhirnya, karakter ini tidak sama dengan akhlak/karakter. Orang yang berkarakter bukan berarti orang yang berakhlak, karena pendidikan akhlak sebagaimana dirumuskan Ibn Miskawaih, merupakan upaya ke arah terwujudnya sikap batin yang mampu mendorong secara spontan lahirnya perbuatan yang bernilai baik dari seseorang. Pemikiran Ibn Miskawaih dalam bidang akhlak/karakter termasuk salah satu yang mendasari konsepnya dalam bidang pendidikan. Ia menawarkan konsep akhlak/karakter yang berdasar pada doktrin jalan tengah (The Golden Mean) antara lain dengan keseimbangan antara dua ekstrim. Ia membagi jiwa manusia dalam tiga bagian yaitu jiwa bernafsu (al-Bahimmiyah), jiwa berani (al-Ghadabiyyah) dan jiwa berpikir (an-Nathiqah).
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar