Fenti Inayati

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
PENDIDIKAN BERBASIS FITRAH  Oleh   Fenti Inayati, M.Ag.

PENDIDIKAN BERBASIS FITRAH Oleh Fenti Inayati, M.Ag.

A. Potensi Fitrah Manusia

Dari segi bahasa, kata .fitrah diambil dari kata al-fatr yang sepadan dengan kata khalaqa yang artinya mencipta, kejadian asal, atau pola dasar. Dari makna ini lahir makna-makna lain, yaitu "penciptaan" atau "kejadian". Di dalam "munjid" ditemukan bahwa fitrah mempunyai arti yaitu sifat yang menyifati segala yang ada pada saat selesai diciptakan. Fitrah manusia adalah kejadiannya sejak semula atau bawaannya sejak lahir (Quraish Shihab, 1996:283-284).

Untuk mengkhususkan arti fitrah hendaklah diperhatikan maksud firman Allah SWT dan sabda Rasulullah SAW sebagai berikut:

Firman Allah SWT: Artinya:"Maka hadapkanlah wajahmu kepada Agama dengan selu­rus-lurusnya, (sesuai dengan kecenderungan aslinya). Itulah fitrah Allah, yang Allah menciptakan manusia di atas fitrah itu. Itulah Agama yang lurus. Namun kebanyakan orang tidak mengetahuinya. (Q.S. 30 Al-Rum: 30).

Sabda Rasulullah SAW:"Tiap-tiap anak dilahirkan di atas fitrah, maka ibu­bapaknyalah yang mendidiknya menjadi orang yang beragama Yahudi, Nasrani dan Majusi. (H.R. Bukhari).

Para ulama telah memberikan berbagai interpretasi tentang fitrah seperti yang tersebut dalam Al-Qur'an dan Hadits di atas. Berdasarkan interpretasi tersebut Muzayyin menyimpulkan bahwa fitrah adalah suatu kemampuan dasar berkembang manusia yang dianugerahkan Allah kepadanya. Di dalamnya terkandung berba­gai komponen psikologis yang satu sama lain saling berkaitan dan saling menyempurnakan bagi hidup manusia.

Karena masih merupakan pola dasar (atau sifat-sifat asli) maka fitrah itu baru akan memiliki arti bagi kehidupan manusia setelah ditumbuh kembangkan secara optimal. Fitrah manusia meliputi tiga dimensi, yaitu: fitrah jasmani, fitrah ruhani, dan fitrah nafs.

Fitrah Jasmani merupakan aspek biologis yang dipersiapkan sebagai wadah dari fitrah ruhani. Ia memiliki arti bagi kehidupan manusia untuk mengembangkan proses biologisnya. Daya ini disebut dengan daya hidup (al-hayat).

Fitrah ruhani, merupakan aspek psikis manusia. Aspek ini tercipta dari alam amar Allah yang sifatnya ghaib. Ia diciptakan untuk menjadi substansi dan esensi pribadi manusia. Eksistensinya tidak hanya di alam materi, tetapi juga di alam materi (setelah bergabung dengan jasmani), sehingga ia lebih dahulu dan lebih abadi adanya dari pada fitrah jasmani. Naturnya suci dan mengejar pada dimensi-dimensi spiritual tanpa memperdulikan dimensi material.

Fitrah nafs, merupakan aspek psiko-fisik manusia. Aspek ini merupakan panduan integral (totalitas manusia) antara fitrah jasmani (biologis), dengan fitrah ruhani (psikologis), sehingga dinamakan psikopisik. Ia memiliki tiga komponen pokok, yaitu: kalbu, akal, dan nafsu yang saling berinteraksi dan mewujud dalam bentuk kepribadian. Hanya saja, ada salah satu yang lebih dominan dari ketiganya. Fitrah ini diciptakan untuk mengaktualisasikan semua rencana dan perjanjian Allah kepada manusia di alam arwah.

Dalam al-Quran kata fitrah dengan berbagai kata bentuknya disebut 28 kali, 14 kali disebut dalam konteks uraian tentang bumi dan langit, sisanya disebut dalam konteks pembicaraan tentang manusia, baik yang berhubungan fitrah penciptaan maupun fitrah keagamaan yang dibawanya.

فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَتَ اللهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لاَتَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَيَعْلَمُونَ {30}*

"Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.Tidak ada perubahan pada fitrah Allah.(Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui," (QS. 30 Al-Rum:30).

Ayat di atas memperlihatkan bahwa manusia diciptakan dengan membawa fitrah (potensi) keagamaan yang hanif; yang benar. Berbeda dengan teologi kristen yang memandang manusia berfitrah negatif dengan menyandang dosa warisan Adam.

Al-Quran memandang bahwa manusia memiliki potensi positif lebih besar dibanding dengan potensi negatifnya. Surat al­-Baqarah ayat 266 mengisyaratkan bahwa manusia lebih mudah untuk berbuat baik dari pada berbuat jahat, "lahaa maa kasabat wa'alaihaa maktasahat". Nafs memperoleh ganjaran dari apa yang diusahakannya (kasabat) dari memperoleh siksa dari apa yang diusahakannya (iktasabat). Dalam bahasa Arab kata kasabat digunakan untuk menggambarkan pekerjaan yang mudah, sedangkan kata iktasabat menunjuk pada hal-hal yang lebih sulit dari berat. jadi ayat ini mengisyaratkan bahwa fitrah manusia itu cenderung kepada kebaikan. jika ada orang yang melakukan kebaikan, sebenarnya ia harus bersusah payah melawan fitrahnya sendiri. Meskipun demikian, karena daya tarik keburukan lebih kuat dibanding daya panggil kebaikan, maka dorongan kepada keburukan (ammarah bi al-su') lebih cepat merespon stimulus negatif yang dijumpainya.

Muhammad Taqi Falsafi menyebut dua potensi dasar yang selalu dimiliki oleh setiap manusia. Potensi itu adalah fitrah tauhidy dari fitrah akhlak. Potensi tauhid merupakan potensi untuk mengenal dari mengetahui adanya Tuhan. Sedang potensi akhlak merupakan potensi untuk membedakan tingkah laku yang baik dan yang buruk. Dengan demikian, fitrah terkait dengan esensi spiritual yang mendalam, kecenderungan kepada kebajikan dan ketundukkan kepada Tuhan.

Fitrah manusia dengan segala dimensinya merupakan conditional statement (citra bersyarat), dan aktualisasinya menuntut upaya manusia sendiri. Pengejawantahan diri (self realization) baru dapat teraktualisasikan bila manusia banyak melakukan aktivitas dan inisiatif. Al-Qur'an mengajarkan untuk selalu melakukan jihad dan ikhtiar yang hasilnya akan terpulang kepada dirinya sendiri.

وَمَن جَاهَدَ فَإِنَّمَا يُجَاهِدُ لِنَفْسِهِ إِنَّ اللهَ لَغَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ {6}

Dan barangsiapa yang berjihad, maka sesungguhnya jihadnya itu adalah untuk dirinya sendiri.Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari alam semesta. (QS. 29 al-Ankabut:6).

وَأَن لَّيْسَ لِلإِنسَانِ إِلاَّمَاسَعَى {39} وَأَنَّ سَعْيَهُ سَوْفَ يُرَى {40} ثُمَّ يُجْزَاهُ الْجَزَآءَ اْلأَوْفَى {41}

Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya, an bahwasanya usahanya itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya). Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna. (Q.S. 53 al-Najm: 39-41)

Dengan adanya konsep jihad dan ikhtiar tersebut manusia tidak dipandang sebagai makhluk yang reaktif, melainkan responsif, sehingga ia menjadi makhluk yang responsible (bertanggung jawab).

B. Implikasi Fitrah Terhadap Pengembangan Konsep Pendidikan Islam

Menyadari pentingnya kedudukan manusia dalam proses pendidikan, tidaklah mengherankan jika aktivitas pendidikan selalu mendasarkan diri ada pandangan tentang manusia. Keragaman corak dalam teori dan praktek pendidikan diakibatkan oleh karena perbedaan pandangan dalam mengungkap realitas manusia." Dengan konsep fitrah, al-Quran memiliki pandangan yang tersendiri untuk tenting pendidikan. Konsep fitrah tersebut akan senantiasa menjadi ketentuan normatif dalam mengembangkan kualitas manusia melalui pendidikan. Dalam konteks makro pendidikan, pandangan tentang fitrah manusia menurut al-Quran tersebut setidaknya memiliki tiga implikasi mendasar.

Pertama, implikasi yang berkaitan dengan visi dan orientasi pendidikan di masa depan. Berdasarkan konsep fitrah, pendidikan diarahkan pada upaya optimalisasi potensi dasar manusia secara keseluruhan. Pendidikan tidak semata-mata diarahkan pada upaya penumbuhan dan pengembangan manusia secara fisiologis yang lebih menekankan pada upaya pengayaan secara material, seperti ditunjukkan pada penekanan yang berlebihan pada aspek keterampilan. Demikian juga, pendidikan bukan hanya diarahkan pada upaya pengayaan aspek mental - spiritual dalam rangka mengejar tujuan normatif. Tujuan demikian diarahkan untuk tercapainya manusia yang baik secara etika dan moral yang mempunyai kepekaan susila. Jika demikian, pendidikan akan terjebak pada pola yang bercorak dualisme - dikotomik. Selanjutnya dalam pandangan al­-Quran, pendidikan merupakan rekayasa nafsaniyah yang berjalan secara sistemik, simultan dan rasional yang dikembangkan dalam kerangka keutuhan manusia, sesuai dengan potensi fitrahnya.

Mengingat pendidikan dioraentasikan pada aktualisasi potensi manusia secara total, maka muatan pendidikan yang mementingkan salah satu aspek tersebut, tidak akan mengantarkan manusia pada corak personalitas yang utuh.

Implikasi kedua dari pandangan fitrah kemanusiaan menurut al-Quran, adalah pada tujuan (ultimate) pendidikan. Dengan visi dan orentasi di atas, tujuan pendidikan di masa depan diarahkan pada pencapaian pertumbuban kepribadian manusia secara seimbang. Dengan kepribadian semacam itu, diharapkan prasyarat tercapainya suatu prototipe manusia ideal di masa depan dapat dicapai. Kualitas ini akan dapat dicapai oleh manusia jika ia dapat menjalankan fungsi kemanusiannya dengan berbagai potensi yang dimilikinya. Perumusan prototipe manusia ideal ini agaknya belum dirumuskan secara tuntas, sehingga mengalami kekaburan makna. Muatan taqwa direduksi pada batas-batas yang sangat abstrak dan normatif, yaitu pada bentuk pemenuhan kewajiban ritual yang individualistik. Padahal dalam al-Quran, taqwa mengandung implikasi pemenuhan kewajiban kemanusiaan secara universal.

Implikasi ketiga adalah pada muatan materi dan metodologi pendidikan. Karena manusia diakui mempunyai banyak potensi dasar yang terangkum dalam potensi fitrah, maka muatan materi pendidikan harus yang dapat melingkupi seluruh potensi tersebut. Materi ini merupakan aspek instrumental pendidikan yang sangat strategis, karena secara langsung akan memberikan sibghah dan wijhah terhadap murid. Yang dipentingkan adalah materi yang dapat menjaga keutuhan kepribadian murid. Namun demikian bukan berarti tidak diperlukan pembanding ilmu pengetahuan sesuai dengan cabang keilmuan yang ada. Demikian juga tidak berarti diberi bermacam cabang pengetahuan yang ada, sehingga lebih terkesan sebagai pemaksaan. Pembidangan ilmu sangat diperlukan di sini, karena setiap murid masing-masing mempunyai latar belakang, bakat, minat dan intelektual. Namun yang perlu diperhatikan adalah bagaimana pembidangan tersebut akan melahirkan pengaruh yang negatif. Pengaruh yang negatif demikian itu dapat berupa terjadinya kepingan-kepingan keilmuan sehingga nampak begitu atomistik. Dan wawasan dikotomi murid sebagai akibat adanya kepingan keilmuan yang sangat tajam.

C. Cara Mendidik, Membimbing dan Mengarahkan Fitrah Melalui Model Pendidikan Islam

Dan kajian tentang manusia dengan segenap dimensinya jasad, roh, dan nafs dan fithrah jasmaniyah dengan daya hayat (hidup), fitrah ruhaniyah dengan daya psikologis - spiritual, dan fitrah nafs-nya manusia memiliki daya qalbu, daya akal, dan daya nafs), maka Cara Mendidik, Membimbing dan Mengarahkan Fitrah Melalui Model Pendidikan Islam sapat dilaksanakan sebagai berikut:

Jadi kalau dipandang pada dasarnya manusia itu baik maka seyogyanya menggunakan model pendidikan persuasif (parentis).

Sejak dilahirkan, pada diri manusia sudah ada sejumlah potensi yang diperoleh secara fitrah. Menurut Quraisy Shihab (1996;277), potensi ini mengacu kepada tiga kecenderungan utama, yaitu benar, baik, dan indah. Manusia pada dasarnya cenderung untuk senang dengan yang benar, yang baik, dan yang indah. Dari sudut pandang ini dapat dilihat, pada dasarnya manusia adalah makhluk yang memiliki nilai-nilai moral (senang dengan yang baik dan membenci yang buruk). Dalam hubungan dengan aspek moral ini, maka proses pendidikan bagi manusia adalah ditujukan kepada upaya pembentukan manusia sebagai pribadi yang bermoral. Proses pendidikan dititikberatkan pada upaya pengenalan terhadap nilai-nilai yang baik, dan kemudian menginternalisasikannya serta mengaplikasikannya dalam sikap dan perilaku melalui pembiasaan, Sumber utama dari nilai-nilai moral dimaksud adalah ajaran wahyu.

Dimensi moral dinilai berguna dalam pembentukan kepribadian manusia (murid). Dengan pendekatan ini, diharapkan kepribadian murid akan selaras dengan fitrahnya. Proses pendidikan yang didasarkan pada nilai-nilai moral, peserta didik disadarkan akan nilai-nilai asasi kemanusiaan yang dimilikinya, yaitu makhluk yang bermoral. Makhluk yang dapat membedakan yang baik dan yang buruk, serta mampu untuk mempertahankan nilai-nilai tersebut secara konsisten.

Atas dasar dimensi ini, manusia merupakan, makhluk yang terikat kepada nilai-nilai moral, yang sumbernya adalah wahyu Ilahi. Kesadaran adanya nilai-nilai moral yang wajib dipatuhi dan ditekankan dalam kehidupannya, karena dirinya merupakan sosok pribadi penyandang nilai-nilai itu.

Pendidikan sebagai suatu proses "memanusiakan manusia" adalah masalah rumit dan dinamis, karena ia menyangkut usaha terpadu antara pempribadian dan pembudayaan yang tidak akan pernah berakhir selama masih ada kehidupan. Tindakan "berbudaya" yang bisa membedakan dengan binatang dalam menyikapi alam adalah kreativitas. Untuk sebuah kreativitas, fithrah nafs manusia yang memiliki daya kalbu, akal dan nafsu, memiliki peran yang sangat penting. Ia membantu melihat apa yang belum terpenuhi dan belum adil dalam masyarakat. Manusia dengan Fithrah ruhaninya ia adalah makhluk spiritual. Manusia dalam kebebasannya mengolah alam pikir dan rasa telah menentukan yang transedendental.

Berdasarkan hakikat penciptaanya, proses pendidikan bagi manusia diarahkan kepada pencapaian target yang berkaitan dengan hakikat penciptaanya oleh Allah SWT. Dari sudut pandang ini, maka proses pendidikan bagi manusia sesungguhnya identik dengan usaha membimbing perkembangan manusia (murid) agar menjadi pengabdi kepada Allah SWT yang setia (Q.S. al-Dzaariyat). Maka aktifitas pendidikan diarahkan kepada upaya membimbing manusia agar dapat menempatkan diri dan berperan sebagai pribadi yang taat dalam menjalankan syariat-Nya. Pendidikan dipandang sebagai makhluk yang diciptakan. Dengan demikian perilakunya diarahkan untuk mentaati pedoman kehidupan yang telah diperuntukkan baginya oleh Sang Pencipta. Indikator dari keberhasilan pencapaian tujuan dimaksud adalah pada tingkat ketaatan optimal tersebut dalam sikap dan prilaku kesehariannya secara konsisten, dan berlangsung selama sepanjang hidupnya.

D. Urgensi Fitrah dalam Upaya Pendidikan Islam

Manusia merupakan inti dalam proses pendidikan. Dengan mengetahui fitrah manusia karena pendidikan perlu memiliki dasar-dasar pemikiran filosofis yang memberi kerangka pandang yang holistik tentang manusia. Apa yang telah dibahas mengenai fitrah manusia sebagaimana diungkapkan di atas, merupakan suatu ikhtiar dalam mencari konsep kemanusiaan yang utuh menurut al-Quran, supaya pendidikan Islam dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien sesuai dengan fitrah kemanusiaannya. Dalam seluruh prosesnya, pendidikan perlu meletakan manusia sebagai titik tolak (starting point.) dan sebagai titik tuju (ultimate goal) dengan berdasarkan pada pandangan kemanusiaan sesuai dengan fitrahnya.

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Muzayyin (1994), Ilmu Pendidikan Islam, suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, Jakarta; Bumi Aksara.

Ahmad Zayadi (2004), Manusia dan Pendidikan dalam Perspektif Al-Qur'an, Bandung; PSPM.

Ramayulis (1998), Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta; Kalam Mulia.

Zuhairini, dkk. (1995), Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta; Bumi Aksara

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Mantap informasinya

23 Apr
Balas



search

New Post