Ferli Gusti

Penulis merupakan alumni MWC XVI Kabupaten Dharmasraya...

Selengkapnya
Navigasi Web
Apa kabar UN?

Apa kabar UN?

UN (Ujian Nasional) merupakan ujian hidup yang lebih menyeramkan daripada uji nyali. Bagi sebagian siswa zaman dulu begitu anggapannya. Namun siswa zaman now beda. Mereka santuy. Suatu waktu saya pernah tanpa sengaja nguping. Adegan ini jangan ditiru. Nguping pembicaraan orang itu gak baik buat kesehatan telinga. Saya mengalami sendiri. Telinga saya terasa panas dan berubah warna akibat terlalu lama nempel disela pintu toilet.

Kebetulan waktu itu toilet guru rusak. Dengan amat sangat terpaksa saya harus menyelinap masuk ke toilet siswa. Karena saya laki-laki, maka dengan terpaksa saya harus masuk ke toilet siswa laki-laki. Ketika saya menikmati sesuatu. Terdengarlah percakapan dari beberapa siswa laki-laki yang berada tepat di belakang bangunan toilet tersebut. “Udahlah ngapain belajar, kita-kita ini pasti lulus. Anak kelas enam yang tahun dulu, ada loh si anu yang membaca saja kurang lancar, tetap lulus kok.” Begitulah kira-kira percakapan yang saya dengar, diiringi kalimat penegasan oleh teman-temannya. Bisa saya bayangkan teman-temannya pasti manggut-manggut bak burung perkutut.

Saya terkesima mendengar pembicaraan mereka. Luar biasa… saya memuji cara pikir anak tersebut. Saya yakin jika kelak dia dewasa mungkin akan menjadi pejabat. Karena dia kritis dan tanggap terhadap hal-hal yang berada disekitarnya. Salut… saya ngurut dada.

Nah… cerita tersebut terjadi sebelum ada wabah virus covid-19. Tiba-tiba saja kenangan di toilet tersebut kembali teringat. Hal ini dikarenakan adanya pengumuman bahwa UN akan ditiadakan. Alasannya jelas demi kesehatan. Bagi guru barangkali tidak ada masalah. Namun bagi siswa, ini adalah sengsara membawa nikmat. Mereka bisa saya bayangkan barangkali udah ada yang loncat kegirangan sampai kepalanya kepentok loteng.

Namun terlepas dari semua hal tersebut. Kira-kira penyelenggaraan UN ini masih dirasa perlu atau tidak?. Sebab begini, dilihat dari satu sisi, UN ini bak hakim. Mereka belajar selama enam tahun, bisa ambyar dalam kurun waktu tiga sampai lima hari. Hal ini terjadi jika nilai mereka tak mencukupi. Apakah ini yang dinamakan evaluasi?. Ketika angka-angka harus mengadili.

Terkadang kasihan, namun itulah system beserta aturan. Ketika ada virus ini. Maka skema untuk menentukan kelulusan diubah. Bagi Sekolah Dasar (SD) bisa diambil dari nilai ujian sekolah atupun nilai raport dari kelas empat sampai dengan kelas enam. Jika seperti ini ya bagus juga. Proses pun dinilai. Namun jika ini kebablasan tanpa pengawasan. Apakah hasilnya akan efektif?

Mari didiskusikan… (saya angkat tangan)

DM, 30032020

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Semua kembali ke sikon lapangan pendidikan kita.

30 Mar
Balas

Siap bun... Barakallah

30 Mar

Dua sisi mata uang, ada angka ada gambar, ada baik ada buruk. Saat terpaksa menjalani sebuah kondisi maksimalkan semua efek positufSelamat berevolusi cikgu..!

30 Mar
Balas

Siap mbak... Barakallah...

30 Mar



search

New Post