Ferli Gusti

Penulis merupakan alumni MWC XVI Kabupaten Dharmasraya...

Selengkapnya
Navigasi Web
Pelangi di Langit Mendung

Pelangi di Langit Mendung

Pecahan piring dan gelas berserakan di lantai. Meja dan kursi tamu sudah tidak pada tempat yang semestinya. Rumah itu seperti telah diguncang gempa berkekuatan besar. “Aku malu !, aku malu !, aaaaaaaaarrrrgghh !”, teriak Ara dari dalam rumah sambil menendang semua benda yang berada didekatnya.

Ara baru saja pulang dari rumah Anisa. Betapa terkejutnya ia sewaktu melihat seorang wanita paruh baya menyambutnya di depan pintu rumah. Wanita itu berjalan dengan terpincang-pincang. Hampir saja ia jatuh. Ia buka tangannya lebar-lebar sebagai isyarat agar Ara memeluknya.

“Ibu !, ini benar Ibu?. Tidak, jangan katakan Ibu lah yang menuntun ku selama ini ke sekolah. Bertemu dengan teman-teman ku. Aku malu bu !... apa kata teman-temanku?. Mereka pasti berpikir jika keluarga kita ini adalah keluarga cacat. Anaknya buta, Ibunya pincang. Mau diletakkan dimana muka Ara bu?!”, kata Ara seakan-akan tak percaya jika wanita itu adalah Ibunya.

Wanita itu terdiam, berdiri mematung. Ia tak menyangka jika anaknya akan berkata seperti itu. Ia pun melangkah terpincang-pincang masuk lagi ke dalam rumah. Suasana yang semestinya berselimutkan bahagia. Berubah bencana. Hati sang Ibu terluka, sakitnya melebihi dari rasa sakit melahirkan. Pilu tersayat perih namun tak berdarah.

Ara seperti kesetanan. Semua yang ada dalam rumah ia banting. Ia benar-benar tak bisa menerima keadaan. Rasa malu karena memiliki Ibu yang pincang menguasainya. Perasaannya diselimuti oleh tentang bagaimana anggapan teman-temannya dan orang-orang disekelilingnya. Yang ada dalam benaknya hanya tentang pandangan hina orang-orang terhadap dirinya.

Sang Ibu kemudian masuk ke kamarnya. Ia ambil sebuah tas besar berwarna hitam dari atas lemari. Dengan tergopoh-gopoh sang Ibu mengeluarkan semua pakaiannya yang terlipat rapi dalam lemari. Ia lemparkan pakaian itu ke atas tempat tidurnya. Kemudian ia duduk di kasur sembari memasukkan semua pakaian ke dalam tas besar yang diambilnya tadi dengan berurai air mata. Ia berniat meninggalkan anaknya.

Ara terduduk di pojokan rumah. Sambil memeluk lututnya, ia meratapi keadaan. Air mata kekesalan jelas menetes dari matanya. Ia memarahi keadaan.

Dalam keadaan demikan, terdengarlah suara ketukan pintu dari luar rumah. “Assalamualaikum, Ara..! Ara...!,” Ara mengenali suara yang memberi salam tersebut. Kemudian ia menyeka air matanya dan berjalan ke arah pintu. Di tariknya nafas dalam-dalam untuk menenangkan diri. Pintu pun di buka.

Anisa berdiri di depan pintu. “Ara... ada apa? kamu nangis? Loh... rumah kamu kok berantakan gini Ra?, ada apa? Ibu mana?”, tanya Anisa sambil kakinya terus melangkah masuk ke dalam rumah. Tidak ada jawaban apapun yang keluar dari mulut Ara. Ia hanya terus menangis dan menangis.

“Ibu.. Ibu... ini Nisa bu...”, kali ini Anisa mencoba mencari Ibu sahabat dekatnya tersebut. Akhirnya Anisa memutuskan untuk masuk ke kamar sang Ibu. “Astagfirullah... Ibu ! bu, sadar bu, Ibu kenapa?” Anisa panik, sang Ibu ditemukannya dalam keadaan tak sadarkan diri tergeletak di lantai. Ara yang melihat kejadian itu pun menjadi bingung, ia tak tahu harus bagaimana.

“Ara... bantu angkat Ra,,, cepaaat Ra, kita ke rumah sakit sekarang!!!” teriak Anisa pada Ara. Namun sahabatnya itu hanya diam, tubuhnya mematung. “Kamu itu kenapa sih Ra?” tanya Anisa sambil terus berusaha dengan sekuat tenaga menggendong sang ibu.

Akhirnya Anisa berhasil menggendong Ibu sahabatnya itu. Anisa membuka pintu mobil dengan bantuan kakinya. Dibawalah sang Ibu tersebut menuju rumah sakit terdekat. Sementara Ara masih saja diam berdiri dan seluruh tubuhnya menggigil.

Setibanya di rumah sakit. Sang ibu masuk ruang gawat darurat. Anisa mengenggam tangannya dan mendekatkan genggaman itu ke mulutnya. Sesekali terdengar helaan nafas berat dari Anisa. Ia panik bercampur cemas akan keadaan Ibu sahabatnya itu.

Tidak berselang lama, Ara tiba di rumah sakit tersebut. Ia pun menghampiri sahabat dekatnya Anisa. “Nisa... bagaimana keadaan Ibu?” tanya Ara dengan suara parau terbata-bata. Tidak ada jawaban dari Anisa. Ia hanya memeluk sahabatnya dengan erat. Ara menangis sejadi-jadinya dalam pelukan Anisa.

“Nisa... aku salah... aku benar-benar menyesal. Aku gak terima dengan keadaan Ibu yang pincang. Hingga akhirnya aku memarahi keadaan, dan... dan ... Ibu menjadi seperti sekarang. Apa yang harus aku lakukan Nisa. Aku benar-benar menyesal...” ratap Ara, air matanya semakin deras mengalir.

“Ara... Ibu mu adalah wanita yang tangguh. Dia wanita paling kuat. Walau hidup susah, namun berpantang baginya untuk berharap belas kasihan dan berhutang kepada orang lain. Ibu ku pernah menawarkan sedikit bantuan kepada beliau, namun selalu beliau tolak. Hingga akhirnya ibu ku menyerah oleh prinsip beliau” Anisa menarik nafas dalam dan menyeka air mata yang bergelayutan di pipi Ara.

“Ara, Ibu mu akan baik-baik saja, beliau pantang menyerah dengan keadaan. Kita sama-sama berdoa ya... semoga beliau kuat dan kembali sehat.” Anisa menghela nafas, matanya menerawang jauh dan kemudian ia lanjutkan lagi bercerita.

“Ra, ibu mu pernah terjatuh. Waktu itu sepulang dari mengantarmu ke sekolah, beliau langsung ke rumah tetanggaku. Kebetulan tetanggaku itu butuh buruh cuci. Ibu mu sangat senang mendapatkan pekerjaan itu. Karena kurang hati-hati, beliau terpeleset dan kaki beliau sakit, entah terkilir, entah patah, entah apa lah. Namun beliau enggan untuk berobat, alasan beliau waktu itu karena sakitnya cuma sedikit. Namun lama kelamaan sakit kaki beliau semakin parah, hingga akhirnya Ibu mu berjalan pincang,” kembali Anisa menarik nafas panjang, kali ini matanya mulai berkaca-kaca, bibirnya gemetar, sesekali Anisa terlihat menggigit bibirnya sendiri. Namun ia tetap berusaha untuk bercerita kepada Ara.

“Ara... belakangan aku mengetahui alasan ibu mu untuk tidak berobat. Tanpa sengaja aku mendengar ibu mu sedang bercerita dengan ibu ku. Ternyata beliau hanya ingin mencukupi kebutuhanmu. Masih jelas diingatanku kata-kata ibu mu Ra, ; jika aku berobat, Ara makan apa, aku sudah biasa dengan sakit, lapar dan derita. Aku tak ingin Ara merasakan itu, biarlah aku yang tanggung semua itu, begitu kata beliau,” kali ini Anisa benar-benar tak dapat membendung air matanya lagi.

Kedua sahabat itu pun berpelukan semakin erat bermandikan air mata berurai tangisan. “Aku benar-benar telah durhaka... aku telah durhaka pada Ibu...” ratap Ara dengan penuh penyesalan. “Istighfar Ra... mohon ampun lah pada Allah, dan minta maaf lah pada Ibu mu nanti,” kembali Anisa menenangkan sahabatnya itu.

“Keluarga Ibu Dafrita!” terdengar suara perawat memanggil. Dengan tergesa-gesa, Ara mendatangi arah suara tersebut. “Bagaimana keadaan Ibu saya suster?” tanya Ara. “Silahkan masuk mbak...” jawab perawat itu sembari mempersilahkan Ara masuk ke ruangan perawatan. Ara pun bergegas masuk dan diikuti Anisa dari belakang.

“Ibu...maafkan Ara bu... ampuni Ara bu... Ara salah... Ara menyesal... Ampuuun Bu...”tangisan Ara pecah seketika, ia pun mencium tangan dan memeluk Ibunya. Dengan suara lirih, sang Ibu berkata “Ara... anakku, sebelum engkau meminta maaf pun, Ibu sudah memaafkan mu nak, sudah... kamu jangan nangis.”

Ara melepaskan pelukannya, kali ini ia berjalan menuju kaki Ibu nya. Ditundukkan kepalanya ke kaki sang Ibu, kemudian ia cium berkali-kali kaki Ibunya sembari berucap “ampuni Ara Bu... ampuni Ara Bu...Ara telah durhaka”.

“Ara... berhentilah melakukan itu, Ibu sudah memaafkan mu. Ibu tidak pernah merasa engkau telah durhaka pada Ibu, sudahlah... sini tidurlah dipelukan Ibu, Ibu kangen ingin memandang mata mu” kata sang Ibu sambil tangannya menggapai Ara, sebagai isyarat agar Ara segera memeluknya lagi.

Anisa bersama dengan perawat dan seorang dokter yang berada dalam ruangan tersebut pun nampak mengeluarkan air mata keharuan. “Eh... ngomong-ngomong apa yang terjadi dengan Ibu ya dokter?” tanya Ara memecah suasana. “Ibu mengalami penyempitan pembuluh darah, hal ini biasanya disebabkan oleh alergi obat-obatan atau karena stres yang berlebihan. Jadi jika Ibu tidak ada riwayat alergi obat, berkemungkinan karena stres, jadi jangan buat Ibu merasa tertekan dulu selama proses penyembuhan” terang dokter tersebut. “Baik, terima kasih banyak ya dokter.” “Iya, sama-sama” sahut sang dokter, dan kemudian berlalu meninggalkan ruangan tersebut.

Anisa pun memeluk Ara dan Ibu nya. Mereka saling berpelukan dalam suasana haru biru penuh suka cita. Ah... begitulah sifat seorang Ibu.

Dharmasraya, 180619

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Semoga pacar Ara yg bernama ferligusti tetap mencintainya ha...ha

18 Jun
Balas

Untungnya cuma fiksi bunda... Hehehe

18 Jun

Wah cerpennya keren, aku sampai nangis. Cerpen yang sangat menginspirasi apalah pesan yang diangkat tentang ibu. Apalagi ibu aku sudah tiada. Berasa banget....kena di hati. Sehat, bahagia, dan sukses selalu. Barakallah

18 Jun
Balas

Al-Fatihah... Terima kasih bnyak atas motivasinya pak... Salam literasi... Barakallah...

18 Jun

Subhanallah, cerita yang menyayat hati, jadi meleleh air mataku Bund. Sukses selalu dan barakallahu fiik

18 Jun
Balas

Trims bunda... Barakallah...

18 Jun

Mantap, mantap ....!!!.. Udah jadi tukang cerpen Lo buk Ferli kini mah ... Wkwkwkw

18 Jun
Balas

ha..ha.. tukang ketik wak buk...

18 Jun



search

New Post