Fila Ariyanti

Lulusan D2 PGSD UNS Surakarta,saat ini menjadi salah satu pengajar di kabupaten Cilacap,Jawa Tengah....

Selengkapnya
Navigasi Web
Ayah Datang, Ni

Ayah Datang, Ni

Seminggu setelah Bu Marni terjatuh, wanita itu sudah beraktifitas seperti biasanya. Meskipun kaki belum bisa digerakkan dengan sempurna, namun ia ingin bekerja semampunya sehingga tidak memikirkan rasa sakitnya itu. Bengkak dan memar kebiruan pada kakinya, sudah berangsur-angsur sembuh. Hanya bagian sendi belum bisa bergerak bebas, butuh waktu yang agak lama seperti yang pernah ia rasakan pada kaki kirinya dulu.

Setelah seminggu tak memasak untuk anak-anaknya, kini Bu Marni sudah berusaha memasak sendiri lauk dan sayurnya. Menurut Marni, yang penting hati-hati dan tidak mengangkat yang berat, katanya. Kalau hanya memasak bisa sambil duduk di kursi sambil sesekali berdiri.

Sore hari hujan deras, suami Bu Marni mengepel lantai agar selalu kering, takut istri dan anaknya terpeleset. Tiba-tiba dari teras rumah sudah terdengar suara pria yang amat Marni kenal. Baru juga Marni berdiri pelan-pelan, ternyata suara pria itu sudah muncul di ruang tengah.

’Mbah Kakung, lho kok ndak bilang-bilang mau datang, Mbah...’’ kata Marni sedikit terkejut dalam hati, namun ia tak bisa menyembunyikan kebahagiaannya. Ayah Marni datang, padahal ia tak pernah memberi tahu ayah kalau ia terpeleset. Saat mengetahui ayah Marni datang naik sepeda motor, Marni bertambah terkejut lagi.

‘’Mbah...mbah...kok naik motor, kenapa tidak naik kereta api saja?’’ tanya Marni. Sudah satu tahun ini, ayah tidak pernah naik sepeda motor bila berkunjung ke rumah Marni. Memang sewaktu belum pensiun, ayahnya sering naik motor ke rumah Marni bila kangen dengan cucu-cucunya. Setelah mengeluh sering pusing Marni tak mengijinkan ayah naik motor lagi bila ingin ke rumahnya.

‘’Bapak sehat, kondisi fit, dari pada menunggu kereta masih jam empat belas siang, baru berangkat lebih baik Bapak naik motor pelan-pelan’’ kata ayah Marni. Bapak selalu begitu bila sudah punya keinginan, tapi kan sekarang sudah pensiun sudah sepuh, pikir Marni. Suaminya saja seumur-umur menikah dengannya, belum pernah ke rumah mertuanya naik sepeda motor.

Marni heran, kenapa tiba-tiba ayahnya datang, tanpa memberi tahunya terlebih dulu. Marni tidak ingin merepotkan ayahnya, karena hanya terjatuh sedikit di rumah. Wanita itu juga takut ayahnya kecapaian, di rumah ayah dan ibu Marni baru saja selesai membuat acara memperingati seribu hari wafatnya simbok. Ah, ayah memang begitu sangat dekat dengan Marni.

‘’Kakimu itu, harus dikompres air hangat yang diberi asam kandis dan garam, agar rasa kaku pada sendi segera hilang’’ kata Ayah. Marni ingat dulu sewaktu sekolah menengah kaki kirinya cedera yang sama, ayah juga mengompresnya dengan air asam kandis tiap sore.

‘’ Nggih, Pak. Doakan kaki Ni, cepat sembuh dan pulih kembali, ya Pak’’ kata Marni. Ayah tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Ayah berencana tinggal di rumah Marni selama seminggu. Kedatangan ayah membuat Marni lebih bersemangat untuk sembuh, meskipun kaki masih sakit digerakkan. Setiap pagi, ayah bertugas mengantarkan anak-anak Bu Marni ke sekolah. Sungguh kedatangan kakek membuat anak-anak Bu Marni tampak bahagia.

Setiap Marni pulang sekolah, semua jemuran sudah terisi penuh oleh baju anak-anaknya. Ayah tak segan membantu mencuci baju cucu-cucunya, membersihkan rumah dan sebagainya. Sejak Marni dan adiknya masih kecil sampai dewasa, memang ayah suka sekali membantu pekerjaan ibu. Ibu rumah tangga itu banyak sekali pekerjaannya, kasihan. Ya, hitung-hitung mengurangi pekerjaan ibumu, begitu kata ayah dulu.

Ah, Ayah masih sama seperti saat masih seperti dulu. Usia ayah sudah enam puluh tujuh, namun semangat ayah masih sama. Kasih sayangnya pada Marni tak berubah, meski jarak tempuh Solo-Cilacap membutuhkan waktu hampir lima jam perjalanan. Demikian juga kedekatan dengan kelima cucunya, sama seperti kedekatan ayahnya dulu pada Marni dan adik-adiknya. Sewaktu anak sulung Bu Marni mengikuti seleksi perguruan tinggi di Yogya, ayah Marni juga yang mengantarkan cucunya, menggunakan sepeda motor kesayangannya.

Setelah seminggu berlalu ayah harus pulang, Marni menyarankan agar ayah naik kereta api saja, sepeda motor bisa kapan-kapan diantar. Namun ayah menolaknya, ayah kalau tidak yakin sehat dan kuat, ayah tidak akan naik sepeda motor, begitu katanya

‘’Ayah datang, Ni. Kau harus bertambah sehat dan semangat, ya. Jangan lupa, kau harus telaten mengompres air hangat yang dicampur asam kandis dan garam’’ pesan ayah pada Marni.

Ayah tetap menjadi ayah yang penyabar, sejak Marni kecil sampai saat ini. Semoga karakter baik akan menurun pada anak keturunan ayah, bisik Bu Marni dalam hati. Semoga Gusti Allah senantiasa memberi perlindungan, keselamatan dan kesehatan. Hati-hati di jalan, Ayah...

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Bersyukurlah bagi yang masih memiliki ayah dan ibu. Itu merupakan ladang amal baginya. Kalau saya sudah yatim-piatu, bisanya tinggal mendoakan.

27 Jan
Balas

Nggih, Pak. Maturnuwun, Bapak kersa pinarak. Semoga kita termasuk anak yang berbakti pada kedua orang tua kita, Pak.

27 Jan

Hiks..jadi baper, kangen Bapak juga. Begitulah para ayah ya Jeng, meski kita dah gedhe begini, kita masih putri kecilnya yang dulu. Kakung luar biasa, Solo Cilacap naik motor. Sehat selalu Kakung sama Bu Marni. Cepat sembuh yaaa....barakallah

27 Jan
Balas

Benar, Bu. Ayah tetaplah ayah selalu perhatian pada anak-anaknya. Terimakasih Bu Lupi sudaj singgah. Sehat dan bahagia untuk ibu dan keluarga...

27 Jan



search

New Post