Anak Bukan Miniatur Kita
Kadang, tanpa sadar, kita sebagai orang tua punya “mimpi rahasia” tentang masa depan anak. Pengen mereka sukses, pengen mereka lebih hebat dari kita dulu, pengen mereka punya hidup yang kita dulu cuma bisa impikan.
Tapi pernah nggak sih kepikiran, jangan-jangan kita lagi ngejalanin ambisi pribadi lewat mereka? Aku pernah. Dan jujur aja, itu bikin aku banyak belajar.
Ketika Ekspektasi Diam-diam Jadi Tekanan. Awalnya cuma niat baik: “Biar anakku punya masa depan.” Tapi lama-lama berubah jadi: “Kamu harus masuk IPA ya, jangan IPS,” atau “Ayo, les terus biar juara!” atau bahkan “Hobi menggambar itu bisa nanti aja, sekarang fokus dulu belajar.”
Padahal, kalau kita lihat dari sisi psikologi, anak itu punya kebutuhan untuk merasa berarti dan jadi dirinya sendiri. Maslow, seorang ahli psikologi terkenal, nyebut ini sebagai kebutuhan "aktualisasi diri", keinginan untuk jadi versi terbaik dari dirinya sendiri, bukan dari orang lain.
Kalau kita terlalu ngatur-ngatur, malah bisa bikin anak stres, bingung, bahkan minder. Sebuah penelitian dari Journal of Adolescence (Soenens & Vansteenkiste, 2010) bilang, anak-anak yang terlalu dikontrol secara psikologis justru cenderung punya masalah emosional dan kurang percaya diri.
Anak Itu Bukan Miniatur Kita. Kadang kita lupa, anak bukan versi mini dari diri kita yang harus "disempurnakan." Mereka itu manusia utuh, yang punya jalan dan takdirnya sendiri.
Kalau dulu kita gagal jadi dokter, belum tentu anak kita harus jadi dokter. Bisa jadi, mereka lebih bahagia jadi chef, penulis, pelukis, atau bahkan atlet skateboard. Dan itu sah-sah aja. Seperti yang dikatakan oleh Santrock (2018), setiap anak berkembang dengan kombinasi unik antara bakat, minat, dan pengalaman. Tugas kita? Temani, bukan kendalikan.
Melepaskan Itu Nggak Sama Dengan Lepas Tangan. Melepaskan artinya kita percaya. Kita kasih mereka ruang untuk nyoba, jatuh, bangkit lagi, dan kenal sama diri mereka sendiri. Menurut teori Self-Determination dari Ryan & Deci (2000), anak yang diberi otonomi dan rasa percaya justru tumbuh lebih tangguh dan semangat belajar dari dalam dirinya sendiri.
Aku pernah ngalamin waktu anakku bilang, “Aku nggak mau jadi insinyur kayak Ayah. Aku pengen jadi animator.” Dalam hati sempat shock. Tapi waktu aku lihat dia gambar tokoh-tokoh animasi sampai tengah malam, matanya berbinar... aku nggak tega matiin semangat itu.
Akhirnya aku sadar, cinta orang tua bukan soal “membentuk anak seperti yang kita mau”, tapi menerima dan mendampingi mereka jadi versi terbaik dari diri mereka sendiri.
Harvard Education Project pernah bikin riset yang bilang, anak-anak yang merasa dihargai dan dicintai tanpa syarat dari orang tuanya tumbuh jadi pribadi yang penuh empati, bertanggung jawab, dan punya kepercayaan diri yang sehat.
Dan kalau suatu hari mereka gagal atau jatuh? Harusnya mereka tahu: ada rumah bernama pelukan orang tua, yang selalu terbuka.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Mantap ulasannya