Firya aulia

Firyati, S.Pd sering muncul dengan nama pena Firya Aulia. Lahir di Kerinci 06 Agustus 1981. Menikah dengan Hasril Apriyanto Putra dan Memiliki seorang putri ber...

Selengkapnya
Navigasi Web
Embun di Mata Jingga (Part 12) Cerber
23 Januari tagur hari ke 23

Embun di Mata Jingga (Part 12) Cerber

Pagi masih berkabut, saat kami dipaksa berkemas. Bergantian menyalami nek Rawiyah. Perempuan itu bukan hanya sekedar nenek kesayangan. Tapi memang satu-satunya yang layak disayangi, setelah semua cinta satu per satu pergi.

Embun menangis. Aku juga ingin, tapi tak bisa. Aku menggandeng tangannya menuju stasiun kereta.Tiba-tiba satu ide melintas.

"Embun, bagaimana kalau kita ke kota saja untuk bersenang-senang. Kita tidak perlu berpisah. Aku tahu kau takut sendirian."

Dia menatapku ragu. Mata birunya yang cantik berkedip-kedip. Sebenarnya takut itu adalah juga suara hatiku. Lamaa ... akhirnya dia setuju juga pada ide gila.

Kami tak lagi melanjutkan perjalanan. Berhenti untuk bersenang-senang. Sebelum nanti kembali pulang. Simpelkan?

"Ayok cek berapa bekal yang diberi nenek di tabungan." Aku menarik tangan Embun menuju mesin ATM.

Tit, tit, tit, suara dari angka sandi yang ditekan.

"Hah?" Sontak kami terkejut. Mata melotot saling menatap.

"Kau bisa bantu baca? Ini berapa?" tanyaku pada Embun.

"Kak, kakak, apa tidak salah?" Ia mengucek mata.

"Bacakan untukku!"

"Ti ga pu luh du a mil yar." ejanya.

Oppss. Kami menutup mulut.

"Coba punyamu!" Kami berganti posisi. Dan sekali lagi terkejut.

"Dua puluh delapan milyar, opss." Dia kembali menutup mulutnya.

"Jangan-jangan nenek punya pesugihan dan kita adalah kutukan, huhuhu ..."

Embun mulai menangis, "Benar rupanya kau hantu, aku juga hantu." Lanjutnya di sela isak.

"Husss kau ini. Bisa nggak untuk tidak menangis." Aku memarahinya.

Malam itu kami menginap di sebuah hotel mewah. Makan malam paling lezat dan juga mengenyangkan. Aku makan banyak sampai sesak.

"Rakus." Celetuk Embun.

"Biarin!" Balasku ketus.

Ternyata susah sekali untuk bisa lelap di tempat baru, meskipun kasur empuk, selimut wangi. Kami memutuskan memesan satu kudapan ringan. Sebagai teman berbincang-bincang.

"Embun, ceritakan padaku seperti apa ayahmu?"

"Lihat saja aku, karena aku mewarisi segala rupanya."

"Wow... berarti ayahmu cantik dong."

Aku bergurau, tapi senyum di mata Embun tak ada. Bibir itu nyaris membentuk lengkungan duka. Ada perasaan bersalah.

"Maaf, aku tak bermaksud ..."

"Tak mengapa, dia adalah kekuatan yang membingungkan. Tegar tapi berantakan. Aku malah tak ingin bertemu dengannya setelah peristiwa di kolam malam itu. Bagaimana dia bisa menyayangi bunda tapi menjadikan aku taruhan cinta."

"Dia hanya khilaf." Aku menepuk pundak Embun.

"Bagaimana dengan Papamu, Kak?" Dia balik bertanya.

"Huuuuh ... aku tak mau cerita." Kupejamkan mata. Sosok papa menari liar diingatan. Rapuh yang membunuh. Dia mengajakku melompat dari gedung, dengan alasan di bawahnya telah menunggu surga. Hingga saat ini, aku takut dengan ketinggian. Rupanya semua hanya ancaman belaka agar Mama kembali bersama. Mana aku tahu, kala itu. Hatiku terlanjur beku.

"Kak, berapa lama kita akan tinggal di kota?"

"Sampai liburan usai, lalu kita pulang dengan bahagia."

"Kalau Nenek bertanya?"

"Katakan saja kita sudah bertemu mereka."

"Yakin Nenek bisa dibohongi?"

***

Hari ketiga di kota. Pada malam yang bertabur banyak bintang. Entah mana yang paling benderang. Bintang ataukah lampu jalanan.

Tut ... tut...tut. ponselku bergetar hebat.

"Ssstt ... Nenek." Aku memberi isyarat pada Embun untuk diam.

"Hallo Nek."

"Bocah edan. Berani kamu ya, mau coba jadi cucu durhaka? bohong pakai ngajak Embun."

Wajahku pias, menatap Embun.

"Kok Nenek tahu?" tanyaku.

"Nggak penting, besok pagi check out dari hotel, pergi. Jangan kembali sebelum bertemu dengan Bapak kalian."

Klik. Ponsel dimatikan.

Aku menatap Embun. Nenek ternyata melek teknologi. Sepertinya memang tak ada jalan lain. Kami harus berpisah di persimpangan. Ide gila akhirnya berhenti sia-sia.

Pergi, mungkin bukan pilihan terindah. Bisa jadi itu pilihan terbaik menghindari takdir yang lebih pahit. Mungkin ...

Bersambung.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Keren kisahnya Bun

23 Jan
Balas

Terima kasih bunda sudah mengikuti kisah ini. Terima kasih juga untuk kunjungannya bun. Salam literasi

23 Jan

Amazing Bun ceritanya salam literasi

23 Jan
Balas

Terima kasih bunda. Sudah mampir. Aku follow ya bun.

23 Jan



search

New Post