Firya aulia

Firyati, S.Pd sering muncul dengan nama pena Firya Aulia. Lahir di Kerinci 06 Agustus 1981. Menikah dengan Hasril Apriyanto Putra dan Memiliki seorang putri ber...

Selengkapnya
Navigasi Web
Embun di Mata Jingga (part 13) cerber
24 Januari tagur hari ke 24

Embun di Mata Jingga (part 13) cerber

Kami berpelukan lama di bandara. Tak lama lagi, akan menaiki pesawat yang berbeda. Aku menghela nafas berkali-kali. Air mata Embun Jatuh berderai-derai. Ia seka, jatuh lagi. Oh Embun, betapa rapuhnya adikku itu. Lalu apa aku kuat? Tidak juga. Karena seluruh air mataku telah habis di masa lalu.

"Kamu jelek kalau menangis." Aku menyibak rambutnya dan menjepitnya disela telinga.

"Biar saja." Dia terus saja menangis.

"Kak ... aku menyayangimu. Aku tak memiliki yang lain. Tanpa kehadiranmu aku benar-benar sebatang kara."

"Dan kini kita menjadi dua batang kara." Aku tertawa mengusap kepalanya.

"Boleh aku memelukmu sekali lagi?"

Dan aku membentangkan kedua tangan mengabulkan satu keinginan.

"Kita akan saling berkabar. Jaga dirimu baik-baik. Bertemu atau pun tidak dengan Ayah ataupun Papaku, bulan depan kita tetap harus kembali. Aku akan menunggumu tanggal satu Januari, di sini. Kau mengerti?"

Embun mengangguk. Lalu kami berpisah. Bagiku ini luka ketiga karena kata berpisah. Yang pertama saat Papa pergi, lalu Mama meninggal dan sekarang dengan Embun.

Mengapa Nenek begitu memaksa aku mencari Papa dan Embun mencari Ayah. Disaat kami bahkan sudah lupa rasanya punya orang tua. Aku mengeluarkan secarik kertas yang diberi nenek.

Baysar, seperti apa wajah kota itu? Sebentar lagi aku benar-benar terdampar. Di kota asing dengan orang asing. Untuk beberapa saat aku merasa nenek kejam.

Turun di bandara aku sudah disambut dengan taxi yang berjejer rapi. Setelah menimbang-nimbang aku memilih salah satunya. Mudah saja ternyata. Ku perlihatkan alamat, lalu diantar langsung ke tempat.

Kota yang eksotis sekaligus romantis. Jalanan agak sedikit lengang. Lampu jalan dan bangku taman hampir ada di setiap ruas. Aku merasa ada yang berbeda. Ya aku berbeda.

Ting tong...ting tong. Suara bel dari rumah besar di hadapanku. Derap langkah mendekati pintu. Apa ia papaku? Lalu aku harus memeluknya dalam pertemuan pertama. Rasanya pasti akan canggung sekali. Tapi aku harus pandai mengambil hatinya. Aku tak mau terbuang di kota asing. Aku mungkin tak suka pada papa, tapi aku bisa berpura-pura sebentar saja. Ya aku akan memeluknya.

Aku menunggu sambil memainkan jemari pada pegangan koper. Mataku terpekur pada lantai ubin. Suara langkah mendekati pintu. Lalu sepasang sepatu muncul.

"Papaaaa." Aku memeluknya dengan rindu yang pura-pura. Dia diam tak membalas.

Aku mulai menatap wajahnya. Mata biru, rambutnya pirang kekuningan. Ia bukan papaku.

"Siapa kamu?"

Kami berdiri berhadapan bagaikan siang dengan malam. Putih hitam kenyataan bertabrakan. Aku benar-benar terbuang.

Bersambung ....

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Keren cerpennya

24 Jan
Balas

Terima kasih bunda. Telah setia mampir.

25 Jan



search

New Post